Keesokan paginya harinya Amira bersiap untuk berangkat ke kampus. Dia sibuk menyiapkan makanan didepan meja makan.
Suara langkah kaki Axel menuruni anak tangga melihat istri kecilnya disana.
"Kamu bikin sarapan?" tanya Axel melihat makanan telah berjajar rapi diatas meja.
"Hehe, iya Pak ... makan yuk!" ajak Amira mulai terbiasa.
"Kamu gak bikin seblak lagi kan?" tanya Axel sebab pagi tadi dia harus bolak-balik masuk kamar mandi karena semalam memakan makanan pedas itu.
Bahkan sekarang tangannya sedang mengusap perutnya.
"Ya gak lah Pak ... mana ada seblak buat menu sarapan?" jawab Amira tegas karena memang bukan seblak menu sarapan pagi ini.
"Nih, lihat dulu dong ... Aku tadi bikin roti sandwich isi kornet." jelas Amira menunjukkan makanan lapis yang telah dibuat sepenuh hatinya.
Kepala Axel sampai mendongak, walaupun jarak piring dari matanya sangat dekat.
"Oh, iya beneran roti ternyata." jawab Axel setelah memastikan sendiri.
Tanpa menunggu lagi, sebelum hari mulai siang. Axel menarik kursi dan lekas duduk. Melihat respon Axel bersedia tentu saja membuat Amira merasa senang bukan kepalang. Perjuangannya bangun pagi ternyata dihargai oleh suaminya ini.
Gigitan pertama mendarat sukses dimulut Axel, mata terbelalak setelah menikmati makanan lezat buatan Amira.
"Heumh, enak loh ternyata? Saya sih biasanya makan isi selai coklat atau kacang ... ternyata dicampur kornet jadi lebih beda ya?" puji Axel lagi-lagi Amira berhasil menambah menu baru makanan yang telah Ia coba.
Sorak dalam hati Amira meletup-letup seperti kembang api. Hatinya benar-benar telah hilang kendali sampai berbunga-bunga hanya karena ucapan yang terdengar sangat sepele dari bibir Axel.
"Syukur deh kalo Bapak suka ... tenang aja Pak, mulai sekarang Saya bakalan kenalin makanan yang enak-enak deh ...." janji Amira.
"Beneran?" timpal Axel langsung seakan siap menunggu.
Amira mengangguk yakin, sebab sekarang mulutnya sedang penuh mengunyah makanan.
Dua puluh menit lamanya mereka habiskan untuk melakukan kegiatan sarapan bersama. Jam dinding menunjukkan pukul setengah tujuh. Waktu yang cukup untuk mereka segera berangkat ke Kampus.
Tangan mereka berdua sibuk membawa peralatan masing-masing. Tetapi ada yang mengganggu hati kecil sang Dosen. Dilihatnya gadis kecil itu,
"Amira, berangkat sama saya aja ya?" ajak Axel akhirnya memberanikan diri.
"Emangnya boleh Pak?" tanya Amira tak yakin akan ajakan Axel padanya.
"Boleh lah, emangnya kenapa gak boleh?" tanya Axel sampai mengerutkan keningnya. Dia sendiri sedang lupa tentang perjanjian yang telah Ia buat.
"Tapi, nanti kalo orang-orang tahu gimana?" tanya Amira, barulah Axel sadar.
"Ah, iya ya? em ... nanti kamu turun di halte aja gimana?" kata Axel, menurunkan seseorang ditempat tersembunyi memang terkesan tak sopan. Tetapi mereka tak memiliki pilihan lagi.
"Gak usah deh Pak ... Saya pesen aja diaplikasi." tolak Amira. Mengira Amira menolak ajakannya karena akan diturunkan dipinggir jalan membuat Axel sadar diri telah melakukan kesalahan.
"Maaf ya Amira ... Saya gak bisa jadi Suami yang baik." tukas Axel sedih.
Manakala melihat reaksi sedih diwajah Axel, tak pelak Amira sedikit mengetahui tentang kenyataan baru yang Ia lihat.
"Pak Axel bisa sedih?" heran Amira. Tetapi bukan itu jawaban yang harus Ia katakan untuk menjawab ungkapan hati sang Suami.
"Eh, enggak gitu Pak ... duh, gimana ya? beneran Saya gak marah kok ... cuman untuk jaga-jaga aja Pak." jelas Amira sampai menggoyangkan tangannya.
"Kalo gitu sekarang tolong Amira, turutin apa mau Saya," pinta Axel sampai memohon.
Siapalah yang mampu menolak, apalagi Axel sudah mengulang ajakannya itu sebanyak dua kali. Sorot matanya terlihat sangat tulus tanpa mengada-ada tentang ajakannya.
Amira terdiam, kedua bola mata mereka berdua saling bertemu. Tidak seperti kemarin, kali ini mereka tampak bersikap tenang dan biasa saja.
"Yaudah Pak, Saya mau." tukas Amira setuju.
Senyuman manis langsung tergambar jelas dibibir Axel. Tangannya membawa beberapa map dan tak lupa mengambil kunci mobilnya ditempat biasa.
Mereka akhirnya berangkat bersama menuju kampus.
*
Dimeja makan rumah Demien Raharja.
Suasana tenang tanpa ada satupun yang berbicara. Sunyi sekalipun ada tiga orang yang sedang duduk bersama. Sebelum Amira pergi, awal pagi hari Demien akan disambut salam sapa manis yang selalu Amira ucapkan. Sekalipun tak pernah direspon oleh Demien. Dan sekarang hati Demien merasa kehilangan, matanya terus saja melirik ketempat duduk Amira dulu.
Karena didesak waktu, Demien segera menghabiskan menu sarapan dimeja makan tepat didepan matanya.
Semua orang berpisah. Angel menyalami tangan Demien bergantian dengan Eva juga.
"Angel, berangkat dulu ya Ma, Pa." pamit Angel pergi melewati pintu utama.
Sekarang tiba Demien untuk berangkat. Pandangnya seperti kosong, lupa dengan ciuman pipi atau kening yang selalu dilakukan Demien kepada Eva. Ketika dirinya akan berangkat kekantor.
"Mas, kamu lupa?" tanya Eva ketika Demien melangkahkan kakinya.
"Gak tuh! lupa apa?" jawab Demien ketus tanpa menoleh malah terus saja berjalan meninggalkan Eva diruang makan.
Perasaan sakit dihati Eva setelah pagi ini dicampakkan oleh Demien. Namun, mulutnya tetap diam. Ia tahu watak keras Demien ketika sedang mengalami sesuatu masalah. Jika ada yang berani menganggu maka, dijamin hanya akan menjadi sasaran amukan dari laki-laki itu.
"Huh ...." keluh Eva menghembuskan nafas berat, sejujurnya Ia menahan diri untuk tidak menangis.
Mbok Darmi menutup mata masih berlagak sibuk menyapu lantai. Meskipun beberapa kali matanya mencuri pandang kearah sang majikan.
"Emangnya enak? dikira Non Amira pergi terus bisa hidup bahagia gitu? jangan mimpi deh Nyonya." gumannya.
*
Melupakan kesedihan Eva si wanita jahat. Di dalam mobil Demien memikirkan untuk bertemu dengan Amira.
"Aku kok malah kepikiran terus sama Amira ya? hah! semenjak mimpi Rani, perasaanku kok gak enak." gumannya sambil menatap jalan mengendalikan kemudi mobil.
"Ah, apa Aku ajak Amira ke makam aja ya? lagian udah lama kita gak jenguk Rani." imbuh Demien mengubah arah laju mobilnya untuk menemui putrinya si Amira.
Memang ironis ketika Ayah kandung malah tak menyimpan nomor putrinya sendiri. Jika saja Demien sudi, maka dia tak perlu serepot ini menghampiri Amira sampai kekampusnya.
Sedangkan disebuah halte tempat pemberhentian angkutan umum. Axel tepaksa menurunkan Amira disana.
"Kamu yakin, mau turun disini?" tanya Axel memastikan pilihan Amira.
"Iya Pak, gak papa ... eh, sekarang Bapak langsung pergi aja, keburu ada yang lihat." titah Amira melihat kesekeliling takut ada mahasiswa lain yang tahu.
Dengan sangat terpaksa Axel menginjak gas mobilnya, meninggalkan Amira sendiri.
Tetapi, tepat ketika Amira turun dari jauh Demien melihat mereka berdua.
"Itu kan Amira? kenapa dia turun disana?" guman Demien akhirnya memutuskan untuk melihat secara dekat.
Amira bersiap untuk menyebrang jalan, hingga terdengar bunyi klakson mobil dari arah Barat.
"Eh, itukan mobilnya Papa?" seru Amira mengenal kendaraan roda empat milik sang Papa.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 85 Episodes
Comments