"Amira, tolong jangan ungkit masalah itu lagi sekarang," sentak Demien.
"Iya Pa, maaf." jawab Amira sedih.
Ditatapnya tempat peristirahatan terakhir Rani. Demien berusaha untuk tidak marah, walaupun ucapan Amira membuat dirinya naik pitam. Seharusnya laki-laki itu mampu meredam amarahnya, tetapi karena rasa cintanya begitu tinggi dia merasa kesulitan untuk melakukannya. Hatinya masih berandai-andai bila saja waktu itu Amira menemani detik-detik genting, kemungkinan Rani masih bisa terselamatkan.
Keheningan melanda ditempat ini karena bibir mereka berdua sedang memanjatkan doa untuk almarhum Rani. Mata mereka terpejam mengeluarkan segalanya dari dalam hati.
"Ma, tenang disana ya ... Mama udah gak sakit lagi kan? Oh ya, Mama ... Amira udah nikah loh sekarang ... tapi, Mama jangan khawatir, walaupun Amira udah nikah, kuliahnya tetap Amira lanjutin sampai lulus kok." batin Amira tulus.
Disisi samping,
"Rani Sayang ... maafin Mas ya? sebenarnya sampai sekarang Mas belum bisa ikhlasin kepergian Kamu, dan malah benci sama Amira ... Mas gak tahu hati ini susah banget buat gak marah, kasih Mas waktu ya Sayang." tutup Demien mengecup nisan Rani sebagai rasa cintanya.
Setelah berakhir ungkapan serta doa yang mereka katakan, Demien langsung berdiri.
"Ayo, kita pulang sekarang!" ajak Demien datar.
Segera Amira berdiri, melambaikan tangannya kearah makam.
"Dah, Ma." ucapnya pergi.
Dijalan setapak sekitar makam, hati Demien sedikit lega. Ditatapnya langit luas itu.
"Aku tahu Ran, sekarang Kamu seneng kan?" imbuh Demien dalam hati. Dirinya tahu inilah yang diinginkan mediang istrinya untuk kembali dekat dengan Amira.
Walaupun tak terdengar jawaban, tetap saja Demien merasa senang dan bahagia karena telah berhasil menuruti keinginan sang mediang istrinya. Senyuman manis yang lama terpendam karena luka dihatinya kini terlihat lagi. Tetapi karena posisi tubuhnya membelakangi Amira, putrinya tak tahu tentang senyuman itu. Sehingga gadis ini berjalan sambil menunduk. Teringat akan kesalahannya tadi, mengungkit kejadian dulu.
Mereka ketempat dimana mobil Demien sedang terparkir. Hingga terdengar suara nada ponsel Demien berbunyi.
"Halo?" sapa Demien menerima sambungan telepon di ponselnya.
Wajahnya berubah lebih serius ketika mendengarkan penjelasan sang penelepon dengan seksama.
"Oh, iya baik ... sebentar lagi Saya akan datang ke Kantor." tukas Demien menutup sambungan telepon.
Sepertinya ada sesuatu yang penting telah menunggu, wajah serius Demien mampu dibaca oleh Amira.
"Ayo, naik ... Papa anterin kamu ke Kampus dulu ya?" seru Demien. Meskipun sedang terdesak dia tetap ingin mengantarkan Amira.
"Pa, mendingan Amira naik ojek online aja ... nanti Papa malah telat ...." tolak Amira lebih memikirkan kepentingan Demien.
"Gak papa, masih ada waktu kok." jawab Demien singkat hingga akhirnya tetap bersikukuh ingin mengantarkan Amira. Dirinya memang jahat tetapi tak ingin menambah citranya sebagai Ayah semakin buruk. Tetap bertanggung jawab penuh atas keselamatan Amira .
"Pa, beneran Amira gak papa ... nanti kalo urusan kerjaan Papa lebih penting gimana? jarak kampus ke Kantor Papa kan jauh banget gak mungkin waktunya ke kejar Pa," jelas Amira lagi, hanya akan membuang banyak waktu Demien saja.
Apa yang dikatakan Amira barusan memang ada benarnya, apalagi letak kampus dan kantor sangat berlawanan arah. Tentu saja itu akan sangat menyita waktu Demian, malah bisa jadi dia akan terlambat datang ke Kantor.
"Pa, serius aku nggak papa ...." tekan Amira secara lembut meyakinkan sang Papa.
Beberapa detik Demien berpikir, walaupun dia tak peduli bila harus datang terlambat asal bisa mengantarkan Amira. Tetapi putrinya malah terus menolak ajakannya itu, sehingga dirinya tak berani memaksa lagi.
"Ya udah kalau itu mau kamu, hati-hati dijalan." kata Demien pasrah mulai membuka pintu mobil hendak masuk kesana.
Namun, langkahnya terhenti mendongakkan kepalanya kembali keluar.
"Amira, kalau pernikahan kamu nggak bikin kamu bahagia bilang ya sama Papa ... jangan ragu buat pulang ke rumah kalau terjadi sesuatu sama kamu," seru Demien khawatir akan hubungan Amira.
Sungguh kata-kata yang mampu membuat Amira bahagia. Setelah tiga tahun mendapatkan perilaku dingin, akhirnya Demien kembali menunjukkan perhatian lagi padanya.
"Iya Pa, itu pasti ... makasih ya Pa?" seru Amira membalasnya dengan senyuman merekah dibibir tipisnya itu.
Setelah mendengar dari jawaban putrinya, Demien pun berlalu. Mobilnya berjalan meninggalkan halaman parkir tempat pemakaman umum itu. Amira masih setia melambaikan tangannya menyapa kepergian sang papa dari sana.
"Ya Tuhan ini bukan mimpi kan?" guman Amira mengusap lembut dadanya karena jantungnya berdegup layaknya seorang yang sedang mengalami kasmaran. Sekalipun dirinya memang sedang kasmaran pada cinta pertama bagi seorang anak perempuan.
"Ah, kalo ke Kampus sekarang udah telat ... padahal hari ini cuma full setengah hari mata pelajarannya Pak Axel ... heumh, gimana ya? Aku pulang aja deh ...." kata Amira tak jadi pergi ke kampus malah memutuskan untuk pulang.
*
Amira sendiri tidak tahu, tentang kekhawatiran suaminya jauh di Kampus mereka. Disana, Axel sampai tidak bisa fokus mengajar dan terus saja memikirkan nasib istrinya.
"Gila sih suami macem apa Gue? bisa-bisanya nomer telpon istri sendiri sampai gak tahu?" sungut Axel memarahi dirinya sendiri.
Jam istirahat telah dimulai. Langkah Axel yang terburu-buru, hampir menabrak banyak orang akibat ulahnya ini.
Dicarinya semua tempat tanpa ada yang tertinggal. Axel membuka matanya melihat dengan tajam mencari sosok Amira.
Tidak ada tempat yang tidak Dia kunjungi, dari kantin dan banyaknya ruang praktek semua Axel asal masuki.
"Amira, kamu dimana sih?" keluhnya mulai putus asa.
Hingga dirinya mengingat tempat di mana Amira turun ketika datang.
"Ah, iya halte!" seru Axel langsung berlari menuju tempat itu.
Nafas tersengal-sengal tak Ia rasakan lagi, asal bisa menemukan Amira secepat mungkin.
Sayangnya, hal itu terlihat kosong tidak ada siapapun disana.
Seketika Axel tertunduk lemas tempat yang menjadi harapan terakhir baginya tidak membuahkan hasil.
"Ya Tuhan, kamu dimana Amira?" keluhnya lagi tak terhitung banyaknya. Tentu saja Axel masih tetap berusaha untuk mencari. Menyusuri trotoar sepanjang jalan. Panasnya matahari menyengat kulit sudah tidak dirasakan lagi olehnya. Amira, hanya satu nama itu yang terus terucap dari bibirnya.
"Ah, gimana ini? apa mungkin Amira pergi dari rumah karena terpaksa nikah sama Aku?" guman Axel mulai menerka-nerka kepergian Amira. Menyadari pernikahan mereka tidak didasari perasaan cinta.
"Goblok banget, Gue malah minta Dia turun dihalte lagi!" sesal Axel lagi.
Tatapan mata kosong, tetapi tetap fokus melihat kesekeliling sudut tempat. Hati kecil Axel terus berharap segera bisa bertemu Amira.
Lain halnya dengan Amira yang telah tiba didepan pagar. Menempelkan sidik jarinya ke layar. Hingga terdengar bunyi.
"Klak." kunci otomatis langsung terbuka, secara perlahan gerbang itu menggeser sendiri. Amira melangkahkan kakinya dan memasuki halaman,
"Aku kok kayak mimpi jadi Cinderella versi modern deh." gelak Amira seperti mustahil tinggal dirumah mewah juga dilengkapi peralatan modern.
Andai saja gadis lugu ini tahu, ada seseorang yang tengah gusar mencari keberadaannya diluar sana.
"Eum, laper ih ... makan apa ya?" kata Amira mengusap perut datarnya itu. Dia pun bergegas untuk keruangan memasak berencana membuat sesuatu yang lezat.
*
Satu jam lamanya Axel memutari tempat yang sama, padahal sebentar lagi waktu jam pembelajaran akan dimulai.
Dari dalam saku celananya, terdengar nada ponsel berbunyi nyaring. Tangan Axel merogoh lemas tak berdaya, dari layar tertulis pesan masuk dari anak didiknya Reyno.
"Reyno: Pak, udah lima belas menit kok tumben Bapak belum datang?" isi pesan Reyno.
Sebagai Dosen bertanggung jawab, Axel memaksa diri untuk menggerakkan jemari tangannya guna membalas pesan singkat dari Reyno.
"Reyno bilang sama teman-teman Kamu, Saya ada keperluan mendesak dan sekarang juga Saya harus pergi ... maaf gak bisa lanjut pembelajaran lagi." tukas Axel menekan icon kirim untuk pesan.
"Pak Axel, gak bisa datang? kenapa ya?" guman Reyno keras hingga semua teman-temannya mendengar.
"Woah ... asik banget deh ... ayok kita pulang aja." sorak mereka ketika Axel tidak hadir ke kelas lagi.
Meskipun kaki Axel mulai terasa pegal, otot-otot pergelangan kaki juga melemas digunakan berjalan. Tetapi, dirinya belum menyerah dan terus saja mencari.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 85 Episodes
Comments