16. Umi Zahra Sakit

Pukul empat pagi.

Hafsa bangun dari tidur dengan keadaan perut yang luar biasa sakit, serta kepala pusing berputar-putar. Tangannya meraba meja di samping ranjang tempat tidur, membuka salah satu laci di sana. Sembari terhuyung-huyung, Hafsa mencoba menemukan obat yang tadi sore ia beli di apotek.

Aneh memang. Akhir-akhir ini sakit perutnya bukannya kunjung membaik, rasanya malah semakin parah. Bahkan meski sudah berlalu sepuluh hari sejak haid pertamanya, darah yang keluar tetap saja banyak. Padahal biasanya dia hanya haid seminggu. Karena itu, Hafsa membeli lagi obat yang sama yang diberikan puskesmas tempo hari, demi meredakan sakit perutnya itu.

Usai meminum obat dengan terburu-buru, Hafsa kembali merebahkan badannya di atas tempat tidur. Ia memejamkan matanya sebentar untuk menetralisir pandangannya yang berkunang-kunang. Setelah dirasa agak reda, ia memiringkan badannya ke arah kiri.

Saat membuka mata, Hafsa melihat wajah Gus Sahil yang tertidur pulas di sisi ranjang yang lain. Setelah pindah ke Darul Quran, Gus Sahil memang mau berbagi ranjang dengannya, tapi itu karena memang tidak ada tempat lain untuknya tidur. Kamar Gus Sahil termasuk sempit, belum lagi ada dua lemari baju besar di sana. Meski demikian, ada dua bantal guling yang menjadi pembatas area tidur mereka berdua.

Hafsa memandangi wajah suaminya dalam diam. Kapan lagi coba dia bisa menikmati memandang wajah Gus Sahil seperti ini? Apalagi saat ini dia sedang dalam masa menjauhkan diri, tidak mungkin memperhatikan wajahnya secara terang-terangan.

Jari telunjuk Hafsa perlahan mengukir pahatan wajah Gus Sahil dari jauh. Keningnya, bulu matanya yang lentik, hidung mancung, bibir tipis, dan dagu yang sedikit terbelah. Beberapa rambut halus terlihat mulai tumbuh disekitar dagunya. Rupanya Gus Sahil belum sempat mencukur jenggot, padahal ia biasanya rajin dalam hal itu.

Entah karena pengaruh obat yang mulai bekerja atau karena memandangi wajah Gus Sahil, sakit perut yang Hafsa rasakan tiba-tiba mulai reda. Meski berusaha keras menyangkal, Hafsa tidak bisa berbohong kalau ia masih sangat menyukai suaminya itu.

"Saya cinta sekali sama njenengan Gus," Hafsa berbisik lirih.

***

Gus Sahil terlihat sedang mengawasi para santri yang sedang diajarkan beberapa keahlian oleh para anggota PPI. Ada beberapa cabang bakat minat yang diajarkan di sana. Mulai dari membuat kue, mencukur rambut, membuat dekorasi pengantin, hingga tata rias. Sesekali, ia memotret kegiatan tersebut demi diunggah ke laman media sosial. Zaman sudah berubah. Sekarang pondok pesantren pun membutuhkan medsos sebagai tempat promosi.

Hafsa sendiri juga turut mendampingi para santri yang belajar membuat kue. Benar seperti kata Gus Ihsan, kemampuan Hafsa kembali muncul saat ia memegang bahan-bahan adonan. Ia pun dengan semangat membimbing para santri untuk mengikuti langkah-langkah yang diajarkan para anggota PPI.

Di sisi lain, Abah Baharuddin dan Umi Zahra juga ikut melihat-lihat. Merasa antusias melihat para santri belajar hal baru diluar aktivitas mereka sehari-hari.

Namun, keramaian itu dalam sekejap berubah menjadi keributan. Salah satu alat yang digunakan dalam praktik salon rambut meledak, membuat lampu satu pondok pesantren mati dalam sekejap. Tapi bukan itu bagian terburuknya. Suara ledakan itu memicu penyakit jantung Umi Zahra, membuat Umi Zahra tiba-tiba ambruk tak sadarkan diri.

Gus Sahil yang melihat ibundanya tampak limbung bergegas berlari, melempar handphone ke sembarang arah, berseru memanggil nama sang umi. Roha yang berada di samping Umi Zahra pun berusaha sekuat tenaga menahan tubuh Umi Zahra agar tidak jatuh ke tanah.

Hafsa sendiri terpaku melihat kejadian yang berlalu begitu cepat. Ia pun dengan sigap berlari menuju Umi Zahra, ingin membantu bagaimanapun caranya.

"Minggir! Minggir!" Gus Sahil tergopoh-gopoh menggendong tubuh Umi Zahra. Menyibak kerumunan para santri yang berjubel melihat.

"Brur! Mabrur!" Gus Sahil sibuk meneriaki Mabrur yang sedang menjadi kelinci percobaan para santri yang belajar cukur. Tidak peduli rambut Mabrur masih terpotong separuh. Umi Zahra harus dibawa ke rumah sakit secepatnya.

Hafsa turut berlari mengikuti Gus Sahil. Wajah Umi Zahra sudah semakin pucat. Dengan gemetaran, ia melantunkan bacaan Al-fatihah untuk sang mertua.

Mobil dengan cepat dikeluarkan Mabrur. Roha buru-buru membuka pintu mobil belakang, ia masuk lebih dulu untuk menjadi orang yang memangku Umi Zahra. Setelah posisi Umi Zahra dirasa nyaman, Gus Sahil segera menutup pintu dan duduk di kursi samping Mabrur. Mobil pun melaju dengan cepat keluar dari pelataran pesantren.

Hafsa termenung. Sesaat, ia merasa menjadi orang yang tidak dianggap. Lihatlah disana, Roha dan Gus Sahil begitu sigap membantu Umi Zahra. Tidak seperti dirinya yang masih kebingungan mau berbuat apa.

Tidak boleh begini. Ini bukan waktu yang tepat untuk mengasihani diri sendiri Sa, Hafsa mencoba menguatkan dirinya sendiri. Ia lalu segera masuk ke ndalem, memasukkan barang-barang Umi Zahra yang mungkin diperlukan ke dalam tas. Tidak lupa membawakan pula baju ganti milik Gus Sahil. Untuk saat ini, dia ingin fokus melakukan apapun yang bisa membantu.

Tiga puluh menit kemudian, Hafsa dan Abah Baharuddin menyusul ke rumah sakit tempat Umi Zahra dirawat. Tampak Gus Sahil terduduk di kursi tunggu depan kamar pasien. Wajahnya tampak kusut. Kemejanya lecek.

"Bagaimana Hil?" Abah Baharuddin menghampiri putranya. "Apa kata dokter tadi?"

"Alhamdulillah, masa kritis sudah lewat Bah," Gus Sahil menjawab dengan suara lirih. "Tapi Umi masih harus dirawat selama beberapa hari,"

"Alhamdulillah," Hafsa dan Abah Baharuddin kompak mengucap hamdalah.

"Mas Gus, njenengan mau ganti baju dulu apa tidak? Saya bawakan baju ganti buat njenengan," Hafsa meletakkan tas besar berisi pakaian ganti di sebelah Gus Sahil. "Ada beberapa berkas yang saya bawa juga buat melengkapi administrasi,"

Gus Sahil mengangguk. "Terimakasih Sa. Sini berkasnya, biar aku yang urus administrasinya,"

Hafsa mengeluarkan berkas yang diminta Gus Sahil dari tasnya yang lain. Dengan langkah gontai, Gus Sahil pergi ke tempat administrasi rumah sakit.

Hafsa kemudian mengangkat tas besar itu, bermaksud menaruhnya di dalam kamar. Karena jika Umi Zahra harus dirawat beberapa hari di sini, sudah pasti mereka akan menginap. Roha sudah berada di dalam ruangan itu, berdiri agak jauh dari ranjang pasien. Sementara Abah Baharuddin duduk di kursi sebelah ranjang Umi Zahra. Sibuk berdzikir mendoakan.

Melihat kedatangan Hafsa, Roha dengan sigap membantu Hafsa membawa tas-tas nya yang berat. Menaruhnya hati-hati di pojok kamar.

"Terimakasih ya mbak," Hafsa tersenyum. Matanya kemudian tidak sengaja melihat ke arah baju Roha yang kotor terkena adonan kue. Roha juga ikut kelas masak bersamanya tadi.

"Aduh, aku lupa tidak minta Mbak Zulfa ambilkan baju ganti sampeyan," Hafsa menyesali kelalaiannya. "Setelah ini sampeyan ikut pulang saja bersama Mabrur, biar aku yang gantikan sampeyan di sini,"

Roha tampak menjawab ragu-ragu. "Mohon maaf Ning, biasanya saya yang menemani Umi Zahra di rumah sakit. Saya jadi nggak tega kalau harus pulang meninggalkan Umi begitu saja,"

Hafsa terkesiap. Memang benar kata Roha. Kalau dipikir-pikir, sudah tiga tahun Roha mengabdi kepada Umi Zahra. Sudah pasti Roha selalu berada di dekat Umi Zahra yang keluar masuk rumah sakit selama ini.

"Kalau begitu, sampeyan bisa disini sampai nanti sore. Kalau malam, biar aku dengan Gus Sahil saja yang menginap," Hafsa memberikan opsi lain.

"Jangan," Gus Sahil muncul dari balik pintu. "Kamu pulang saja Sa, biar Mbak Roha yang menjaga Umi di sini,"

Terpopuler

Comments

Bzaa

Bzaa

deuh si gus

2025-01-01

0

Hafifah Hafifah

Hafifah Hafifah

maksud jaga ama kamu gitu gus.lebih baik tuh mertua dijaga ama menantunya si roha juga dah tau si sahil udah punya istri masih aja caper

2024-12-22

2

Eti Alifa

Eti Alifa

kamret emang... lah mending tinggal lunga hafsa msh ada gus ihsan yg tulus.

2024-10-06

0

lihat semua
Episodes
1 1. Aku Tidak Mencintaimu
2 2. Jangan Sentuh Aku
3 3. Untuk Siapa Senyuman Itu Gus?
4 4. Namanya Roha
5 5. Dua : Kosong
6 6. Kenyataan Pahit
7 7. Memberi Hadiah
8 8. Aku Tidak Mau Menyentuhmu
9 9. Mengobrol dengan Sahabat
10 10. Dirawat oleh Suami
11 11. Membuka Kotak Pandora
12 12. Kasih Sayang Umi
13 13. Ditolak Dua Wanita
14 14. Kedatangan Gus Ihsan
15 15. Mas Gus
16 16. Umi Zahra Sakit
17 17. Periksa ke Dokter
18 18. Terombang-ambing
19 19. Istri Kedua?
20 20. Minta Izin Poligami
21 21. Pergi Dari Rumah
22 22. Mengungkapkan Perasaan
23 23. Jangan Sampai Menyesal
24 24. Hasil Pemeriksaan
25 25. Kamu Minta Apa?
26 26. Pulang
27 27. Permintaan Maaf Roha
28 28. Berbahagialah Ning
29 29. Misi Gus Sahil
30 30. Suapi Aku
31 31. Cuma Mimpi Kan?
32 32. Alhamdulillah?
33 33. Selamat Tinggal Cinta Pertamaku
34 34. Bestie?
35 35. Kedatangan Syahla
36 36. Foto Bersama
37 37. Ketulusan Gus Sahil
38 38. Ibadah
39 39. Malam Pertama yang Bukan Malam Pertama
40 40. Undangan dari Gus Ilham
41 41. Surga yang Tak Dirindukan
42 42. Bukit Bintang dan Kembang Api
43 43. Mual
44 44. Dua Garis
45 45. Kehamilan Dua Minggu
46 46. Jatuh!
47 47. Badai
48 48. Orang Yang Pantas
49 49. Aku Sayang Kamu
50 50. Innalillahi Wa Inna Ilaihi Rojiun
51 51. Tidak Apa Mencintainya
52 52. Sampai Kamu Bosan
53 53. Berjuanglah
54 54. Ahlan Wa Sahlan
55 55. Pertanda?
56 56. Aisha
57 57. Aku Ibunya!
58 58. Nenek Yang Baik
59 59. Ibu-ibu Sejati
60 60. Ajwa dan Mabrur (1)
61 61. Ajwa dan Mabrur (2)
62 62. Ajwa dan Mabrur (3)
63 63. Ajwa dan Mabrur (4)
64 64. Ajwa dan Mabrur (5)
65 65. Ajwa dan Mabrur (6)
66 66. Tedak Siten
67 67. Perceraian Ning Arum (1)
68 68. Perceraian Ning Arum (2)
69 69. Perceraian Ning Arum (3)
70 70. Perceraian Ning Arum (4)
71 71. Takdir Tak Pernah Salah
72 72. After Ending
73 Akhir Kata
74 Juara
75 novel baru
76 Permaisuri Pengganti
Episodes

Updated 76 Episodes

1
1. Aku Tidak Mencintaimu
2
2. Jangan Sentuh Aku
3
3. Untuk Siapa Senyuman Itu Gus?
4
4. Namanya Roha
5
5. Dua : Kosong
6
6. Kenyataan Pahit
7
7. Memberi Hadiah
8
8. Aku Tidak Mau Menyentuhmu
9
9. Mengobrol dengan Sahabat
10
10. Dirawat oleh Suami
11
11. Membuka Kotak Pandora
12
12. Kasih Sayang Umi
13
13. Ditolak Dua Wanita
14
14. Kedatangan Gus Ihsan
15
15. Mas Gus
16
16. Umi Zahra Sakit
17
17. Periksa ke Dokter
18
18. Terombang-ambing
19
19. Istri Kedua?
20
20. Minta Izin Poligami
21
21. Pergi Dari Rumah
22
22. Mengungkapkan Perasaan
23
23. Jangan Sampai Menyesal
24
24. Hasil Pemeriksaan
25
25. Kamu Minta Apa?
26
26. Pulang
27
27. Permintaan Maaf Roha
28
28. Berbahagialah Ning
29
29. Misi Gus Sahil
30
30. Suapi Aku
31
31. Cuma Mimpi Kan?
32
32. Alhamdulillah?
33
33. Selamat Tinggal Cinta Pertamaku
34
34. Bestie?
35
35. Kedatangan Syahla
36
36. Foto Bersama
37
37. Ketulusan Gus Sahil
38
38. Ibadah
39
39. Malam Pertama yang Bukan Malam Pertama
40
40. Undangan dari Gus Ilham
41
41. Surga yang Tak Dirindukan
42
42. Bukit Bintang dan Kembang Api
43
43. Mual
44
44. Dua Garis
45
45. Kehamilan Dua Minggu
46
46. Jatuh!
47
47. Badai
48
48. Orang Yang Pantas
49
49. Aku Sayang Kamu
50
50. Innalillahi Wa Inna Ilaihi Rojiun
51
51. Tidak Apa Mencintainya
52
52. Sampai Kamu Bosan
53
53. Berjuanglah
54
54. Ahlan Wa Sahlan
55
55. Pertanda?
56
56. Aisha
57
57. Aku Ibunya!
58
58. Nenek Yang Baik
59
59. Ibu-ibu Sejati
60
60. Ajwa dan Mabrur (1)
61
61. Ajwa dan Mabrur (2)
62
62. Ajwa dan Mabrur (3)
63
63. Ajwa dan Mabrur (4)
64
64. Ajwa dan Mabrur (5)
65
65. Ajwa dan Mabrur (6)
66
66. Tedak Siten
67
67. Perceraian Ning Arum (1)
68
68. Perceraian Ning Arum (2)
69
69. Perceraian Ning Arum (3)
70
70. Perceraian Ning Arum (4)
71
71. Takdir Tak Pernah Salah
72
72. After Ending
73
Akhir Kata
74
Juara
75
novel baru
76
Permaisuri Pengganti

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!