"Aku mungkin bisa memenuhi kewajibanku sebagai seorang suami. Tapi untuk hatiku, aku tidak bisa memberikannya,"
Senyum Hafsa yang semenit lalu masih tersemat lebar seketika memudar, demi mendengar perkataan ketus laki-laki yang baru semalam menjadi suaminya itu.
"Maksud njenengan bagaimana Gus?"
"Singkatnya, aku punya wanita lain yang ada dihatiku Sa," suara Gus Sahil terdengar tegas. "Aku tidak bisa lagi memberikan rasa cintaku padamu,"
"Tapi, saya istri njenengan Gus," Hafsa mati-matian menahan getar tangis pada suaranya. "Bagaimana kita bisa menjalani pernikahan ini kalau tidak ada cinta?"
"Dari awal, aku menikah sama kamu itu bukan karena cinta," Gus Sahil mengacak rambut gondrongnya gusar. "Kalau bukan karena Abah dan Umik yang menjodohkan kita, aku tidak akan menikah sama kamu,"
"Lalu, kenapa njenengan tidak menolak dari awal Gus?" Hafsa menggelengkan kepala, tidak habis pikir. "Kenapa baru sekarang? Kenapa harus di malam pertama kita?"
"Kalau bisa, pasti sudah kutolak!" intonasi Gus Sahil meninggi. "Abah dan Umik tidak bertanya padaku sama sekali, tiba-tiba aku sudah diajak pergi ke rumahmu, tiba-tiba disuruh melamar! Bagaimana bisa aku menolak?!"
Napas Gus Sahil terdengar naik turun, meredam emosi.
"Pokoknya, jangan pernah mengharapkan perasaan apapun padaku. Aku mungkin bisa melakukan kewajibanku sebagai seorang suami, tapi hanya sebatas itu. Selebihnya, aku tidak bisa bertanggungjawab,"
Habis berkata begitu, bahkan tanpa repot-repot memandang wajah Hafsa yang sudah dirias begitu cantik, Gus Sahil keluar dari kamar, meninggalkan suara pintu berdebam.
Usai kepergian suaminya, Hafsa lantas jatuh terduduk. Kakinya terasa lemas. Ya Alloh, apa yang barusan terjadi? Bagaimana hal menyakitkan ini bisa terjadi tepat di malam setelah pernikahan?
Hafsa mencoba mengingat-ingat, dari mana semua ini terasa salah?
Seingatnya, pertemuan pertamanya dengan Gus Sahil terasa indah. Saat acara pengajian di pondok pesantrennya, Gus Sahil datang bersama keluarga besar. Saling mengenalkan. Ini Hafsa, ini Sahil. Gus Sahil tersenyum, dan saat itu Hafsa merasa terhipnotis dengan senyum indahnya.
Ah, apa saat itu Gus Sahil sebenarnya hanya pura-pura tersenyum? Berusaha menjaga kesopanan di depan seluruh keluarga?
Lalu, sebulan yang lalu, saat Gus Sahil datang melamarnya. Bukankah saat itu senyum Gus Sahil terlihat sumringah? Malu-malu saat ditanya apakah mau menikahi Hafsa? Ah, apa itu juga hanya perasaannya sendiri? Mungkinkah sebenarnya saat itu Gus Sahil tersenyum pahit karena harus dijodohkan dengannya?
Lalu, apa gunanya senyum malu-malu Hafsa saat itu? Apa gunanya ia menghitung hari, menghitung detik demi detik hari pernikahannya? Apa gunanya ia memilih gaun terbaik, seharian mengelilingi kota, pindah dari butik satu ke butik lain, membuat semua orang repot? apa gunanya ia bangun pukul empat dini hari tadi, terkantuk-kantuk menahan diri demi merias wajah agar cantik seharian?
Ah, Gus Sahil juga pasti tidak tahu kalau Hafsa sudah merencanakan seluruh perjalanan bulan madu mereka, berusaha menjadikannya bulan madu terbaik seumur hidup.
Tapi, sekarang apa gunanya itu semua? Lihatlah, mobil-mobil masih berjajar terparkir di luar sana. Tamu undangan yang sebagian besar para pimpinan pondok pesantren datang ke pesantrennya, memberikan kado terbaik, doa terbaik. Tenda-tenda besar masih terpasang, tanda acara belum usai. Para santri dengan giat membersihkan bekas lokasi pesta pernikahan, merasa suka cita karena putri sang pimpinan pondok akhirnya diambil mantu. Tidak peduli jika waktu sudah menunjukkan pukul 12 malam.
Tapi, itu semua percuma. Hafsa, yang seharusnya menjadi wanita paling bahagia, malam ini harus menahan duka, menangis sejadi-jadinya.
***
"Loh, Gus? Kok njenengan ada disini?"
Gus Sahil buru-buru menempelkan telunjuk pada bibirnya, mengisyaratkan diam. "Jangan keras-keras ngomongnya Brur,"
Mabrur, santri sekaligus sopir pribadi di pesantren Gus Sahil seketika merapatkan bibir, menuruti titah sang gus.
"Gus ngapain kesini malem-malem? Kok nggak di kamarnya Ning Hafsa?"
"Hush, aku malam ini nggak tidur di sana,"
"Lo emang kenapa Gus?"
"Sudah, ndak usah kepo! Mana kunci mobilnya?"
"Gus mau kemana malem-malem begini?"
"Nggak kemana-mana, cuma mau tidur di mobil,"
"Eh, jangan Gus!" Mabrur buru-buru menarik kembali kunci mobil yang sudah hampir ia ulurkan. "Dingin Gus, Gus tidur di ndalem saja,"
(ndalem \= rumah kyai)
"Nggak bisa Brur," Gus Sahil mulai kesal. "Sudah, cepat kasih kunci mobilnya sini," Gus Sahil merebut kunci mobil dengan cepat. Mabrur berusaha menariknya kembali. Gus Sahil tidak menyerah, ia menarik kembali kunci itu sekuat tenaga.
"Hil?" sayangnya, adegan tarik menarik kunci itu dengan cepat berhenti. Gus Sahil menoleh, beberapa rombongan kyai tampak berjalan ke arah ndalem, mungkin habis berkeliling melihat-lihat keadaan para santri.
"Eh, iya Bah," Gus Sahil buru-buru menyalami Abah Ali, mertuanya.
"Barokallah mantuku," Abah Ali terkekeh. "Loh, kenapa kok disini? Belum ngantuk toh?"
"Eh, itu tadi mau ambil barang di mobil Bah," Gus Sahil menggaruk kepalanya yang tidak gatal, mencari-cari alasan.
"Ya sudah, cepat di ambil itu barangnya, jangan biarkan istrimu sendirian di kamar,"
"Njeh Bah,"
"Mungkin masih malu Yai, namanya juga pengantin baru,"
Celetukan tersebut lantas mengundang gelak tawa semua orang, disusul celetukan godaan lainnya. Gus Sahil hanya bisa tersenyum simpul, lalu tanpa sempat mengambil kembali kunci mobil yang sudah disimpan Mabrur, kembali ke ndalem dengan dituntun sang mertua
Di depan pintu kamar, Gus Sahil merasa kikuk. Ia terdiam cukup lama. Bagaimana dirinya bisa masuk ke dalam kamar lagi setelah mengucapkan kata-kata yang cukup kasar pada istrinya? Ia menyadari perkataannya mungkin sangat menyakiti hati. Tapi ia tidak ingin membuat janji yang tidak dapat ia tepati. Ia ingin Hafsa mengetahui dengan jelas bagaimana perasaannya yang sebenarnya.
Gus Sahil mengetuk pintu perlahan, tidak ada jawaban. Mungkin Hafsa sudah tidur. Ia memberanikan diri membuka pintu. Sepi. Hanya terdengar suara dengkur halus seorang wanita.
Gus Sahil mencoba melihat sekeliling ruangan dari cahaya lampu yang remang-remang. Baiklah, sepertinya karpet di lantai masih bisa menjadi tempat tidurnya. Tubuhnya sudah terlatih tidur dimana saja selama nyantri di pondok pesantren.
Gus Sahil dengan hati-hati meraih bantal di sebelah Hafsa yang tidak terpakai, melemparkannya ke lantai, lalu berbaring di sana. Bagaimanapun, ia tidak bisa menyentuh istrinya tanpa rasa cinta. Maka tidak mungkin bagi mereka berdua untuk tidur di atas kasur yang sama.
Sebelum memejamkan mata, Gus Sahil terlebih dulu membuka ponselnya. Membaca satu persatu ucapan selamat dari semua orang. Membalas mereka dengan ucapan terimakasih. Mengirim stiker lucu, menggoda teman-temannya yang masih jomblo. Jarinya kemudian berhenti lama pada sebuah chat. Balon pesannya cukup singkat, namun terasa menusuk ke hati yang terdalam.
"Barokallah Gus, semoga njenengan bahagia selamanya,"
"Qobiltu nikahaha wa tazwijaha bil mahril madzkur haalan" suara Gus Sahil mantap melafalkan akad nikah.
"Alhamdulillah," serentak semua orang mengucap syukur. Suara di bawah tenda-tenda besar itu bergemuruh, masing-masing berdecak kagum karena sang mempelai pria berhasil mengucapkan akad dengan lancar dalam sekali percobaan.
Tak terkecuali di ndalem, tepatnya di dalam kamar Ning Hafsa, putri pimpinan pondok pesantren Bahrul Ulum yang menjadi tokoh utama pada hari ini.
"Selamat ya nduk, akhirnya kamu jadi istri orang,"
"Selamat Ning, semoga menjadi keluarga yang sakinah mawaddah warohmah,"
Hafsa tersenyum sumringah. Ah, alangkah bahagianya. Boleh tidak ia berharap hari ini bisa terjadi selamanya?
Berjalan dengan anggun, Hafsa dikelilingi beberapa wanita bergaun senada keluar dari dalam kamar. Dengan cepat membuat semua orang menoleh. Menuai decak kagum karena kecantikannya yang sempurna.
Ah, itu dia. Suamiku.
Hafsa menerima uluran tangan Gus Sahil. Gus Sahil tersenyum, mencium kening Hafsa, membaca doa. Semua orang berseru menggoda, anak-anak muda sibuk mengabadikan momen itu, memotret dengan ponsel masing-masing.
Hari itu melelahkan, tapi bagi Hafsa, itu adalah hari yang membahagiakan.
Saat malam tiba, Hafsa segera membersihkan diri. Merias kembali wajahnya agar terlihat lebih cantik natural, memakai gaun malam yang sudah dipersiapkan. Agak terbuka memang, tapi tak apa demi ia persembahkan kepada sang suami.
Tanpa menunggu lama, Gus Sahil membuka pintu kamar. Terkesima melihat penampilan Hafsa.
"Cantik sekali istriku,"
"Terimakasih Gus," Hafsa tersipu.
"Aku mencintaimu Hafsa, jadilah milikku malam ini,"
Meski malu-malu, Hafsa mengangguk. Ia melingkarkan tangan pada leher Gus Sahil, menyambut ciuman pertama yang memang ia jaga selama ini, khusus ia berikan kepada sang suami kelak.
Tapi, tunggu, sepertinya ada yang salah.
Bukankah ini semua terlalu indah? Bukankah, ini semua terasa tidak nyata?
"Apa yang kamu fikirkan, Sa?" Gus Sahil menatap keheranan. "Kenapa memikirkan hal lain saat ada aku disini?"
"Saya merasa ini mimpi, Gus. Saya merasa ini tidak nyata,"
Gus Sahil tersenyum, "Biar aku buat semuanya terasa nyata,"
Gus Sahil meraih tubuh Hafsa, membimbingnya menaiki tempat tidur. Mulai mencium kening, mata, hidung hingga ke bibir ranumnya.
Tepat saat ciuman Gus Sahil mulai mendekati leher nya, saat jari jemari Gus Sahil perlahan membuka gaun malamnya, mata Hafsa seketika terbuka.
"Astaghfirullahalazim," Hafsa terperanjat dari tidurnya.
Tidak ada Gus Sahil yang tersenyum sambil menciumnya, tidak ada sentuhan lembut yang mendekap tubuhnya, hanya langit-langit kamar yang baru dicat putih dan ranjang besar tanpa ada siapapun di sisinya.
Hafsa mengusap wajahnya. Ya Alloh, jadi semua itu cuma mimpi? Apa sebegitu besar harapannya untuk dicintai oleh suaminya sendiri?
Allahuakbar.. Allahuakbar..
Suara adzan subuh berkumandang. Baiklah, tidak usah memikirkan yang tidak-tidak. Ayo lekas berwudhu agar hilang semua bekas mimpi-mimpi itu.
Kaki Hafsa menuruni peraduan. Alangkah kagetnya ia saat pandangannya mendapati seorang laki-laki tertidur di atas lantai kamar beralaskan karpet.
"Gus Sahil?" Hafsa menggumam lirih. Astaga, sejak kapan laki-laki itu tertidur di sana? Begitu hinakah dirinya sampai Gus Sahil pun tidak sudi tidur di sampingnya? Apakah karpet dingin itu jauh lebih baik daripada harus satu kasur dengan istrinya sendiri?
Hafsa berniat mengabaikannya, kata-kata tajam Gus Sahil semalam masih menyayat hatinya. Namun, demi melihat laki-laki bertubuh gagah itu meringkuk kedinginan, ia jadi merasa tidak tega. Dengan hati-hati, ia meraih selimut dari atas dipan, menyelimuti tubuh Gus Sahil.
"Loh, kok keluar sendiri Sa? Suamimu mana?" Umi Hana yang melihat Hafsa turun dari tangga sendirian bertanya keheranan.
"Gus Sahil masih tidur Mi, capek kayanya," Hafsa memberi alasan.
"Loh, loh, loh, ya dibangunin to nduk. Ini para santri loh nungguin suamimu jadi imam. Sudah sana cepat dibangunkan!"
Hafsa ragu-ragu kembali menaiki anak tangga. Umi Hana memberikan kode mengusir, seolah berkata 'hush hush cepat sana!'
Mau tidak mau Hafsa menuruti perkataan sang ibunda meski sebenarnya sangat enggan. Aduh, bagaimana caranya dia membangunkan Gus Sahil?
Hafsa duduk diam di sebelah suaminya. Lama sekali.
"Gus.." bisiknya lirih. "Bangun Gus sudah subuh,"
Tidak ada reaksi. Gus Sahil sama sekali tidak bergeser dari tempatnya satu senti pun.
"Gus," perlahan, Hafsa mengulurkan tangan. Menepuk lembut bahu sang suami.
"Gus, bangun Gus," bisiknya lagi.
"Iya Brur, lima menit lagi.." Gus Sahil meracau. Sepertinya ia mengira yang membangunkannya adalah Mabrur, santri sekaligus supir pribadi di pondok pesantrennya yang sering mengikuti kemana-mana.
"Ini Hafsa Gus, Umik suruh bangunkan Gus buat jadi imam sholat para santri,"
Lima menit berlalu tanpa ada reaksi. Selanjutnya, Gus Sahil tampak bangun dengan terburu-buru.
"Kenapa tidak bangunkan aku dari tadi?!"
"Gus kelihatan capek banget, jadi saya tidak berani bangunkan njenengan,"
"Sudahlah," Gus Sahil beranjak, agak berlari menuju kamar mandi yang berada di dalam kamar.
"Oh ya satu lagi," Gus Sahil masih sempat melongokkan kepala dari balik pintu kamar mandi, menatap Hafsa dengan tatapan menusuk. "Aku tidak pernah setuju kamu menyentuhku tanpa izin. Dengan alasan apapun, jangan pernah mencoba menyentuhku,"
"Tapi Gus, saya cuma—"
Belum sempat Hafsa menjawab, Gus Sahil menutup pintu kamar mandi rapat-rapat.
...****************...
Sholat subuh berjamaah berakhir dengan khusyuk. Abah Ali dan Umi Hana tidak henti-henti memuji kemampuan membaca Alquran Gus Sahil yang sangat merdu dan fasih. Gus Sahil yang mendengar pujian itu hanya senyam-senyum saja, merasa malu sekaligus bangga.
"Ayo ikut Abah keliling asrama para santri,"
Gus Sahil mengangguk, mengikuti sang mertua dari belakang.
Pondok Pesantren Bahrul Ulum adalah pusat hafalan Alquran yang cukup terkenal di daerah tersebut. Santrinya sudah bukan di level ratusan lagi, sudah hampir mencapai sepuluh ribu. Tidak heran jika asrama yang dibangun berdiri di atas tanah yang cukup luas. Dengan masjid pondok sebagai pembatas antara asrama putra dan putri.
"Nduk Hafsa paling suka ngajar di sana," Abah Ali menunjuk sebuah saung yang berdiri di sekitaran masjid pondok. "Katanya hawanya adem, bikin perasaan jadi nyaman,"
Gus Sahil menoleh ke arah yang ditunjuk Abah Ali. Tampak Hafsa sedang duduk di antara para santri putri, menyimak hafalan Alquran mereka.
"Hari ini adalah hari terakhir istrimu mengabdi di pesantren ini. Besok-besok, dia akan gantian mengabdi di pesantren mu,"
Gus Sahil menganggukkan kepala, matanya masih tertuju pada Hafsa di sana.
"Kalau kamu sudah tidak ada lagi rasa cinta pada Hafsa, kembalikan saja dia pada kami nak,"
Gus Sahil sontak terkejut mendengar kata-kata itu, menatap Abah Ali dengan tatapan penuh tanya.
"Hafsa itu putri kami satu-satunya. Benih yang kami tunggu sedari lama selama sepuluh tahun, dan sekarang saat telah dewasa kami serahkan dia padamu,"
"Maka orangtua ini ingin meminta tolong padamu nak, tolong bahagiakan Hafsa. Tolong jagalah dia dengan sebaik-baiknya,"
"Kelak, ada masanya saat kau mungkin mulai bosan padanya. Saat itu tiba, tolong jangan sakiti Hafsa, kembalikan saja dia pada kami disini,"
Jantung Gus Sahil serasa jatuh ke tanah. Perkataan mertuanya jelas langsung menohok ke hatinya yang terdalam.
"Saya.. akan berusaha membahagiakan Hafsa Bah,"
Gus Sahil bahkan tidak tahu. Apakah perkataan itu adalah janjinya atau hanya sekedar pemanis mulut untuk menyenangkan hati mertuanya. Dia tidak tahu, apakah bisa memenuhi perkataan itu, atau malah sudah melanggarnya sejak malam setelah pernikahan.
Satu hari berlalu dengan cepat. Tiba-tiba saja, Hafsa sudah harus berangkat menuju Pondok Pesantren Darul Quran, Pondok Pesantren yang telah dibesarkan oleh Abah Yai Baharuddin, ayah Gus Sahil.
Sejak subuh, Umi Hana sudah kalang kabut menyiapkan segala sesuatu. Memberi perintah kepada para santri untuk melakukan berbagai hal.
"Ayo cepat, bawa itu kue-kue nya ke dalam mobil,"
"Eh, eh, Hati-hati. Nanti kuenya rusak,"
"Nduk, kamu sudah siap belum to?" Umi Hana membuka pintu kamar Hafsa yang sedari pagi belum terbuka.
"Sudah Mi," Hafsa tersenyum menyambut kedatangan Umi Hana yang datang tergopoh-gopoh, mematut wajahnya yang sudah selesai dirias. "Gimana? cantik to aku?"
"Masyallah, cantik sekali anak Umi," Umi Hana memberikan jempol pada mbak santri yang bertugas merias Hafsa. "Mbak Leila memang pinter kalo suruh dandanin,"
"Maturnuwun Mi," Mbak Leila, santri yang dimaksud tersenyum puas.
(maturnuwun: terimakasih)
"Yasudah, ayo segera turun. Sudah ditunggu sama Abah dan Gus Sahil,"
Hafsa mengangguk, berjalan dengan penuh ragu. Hatinya tiba-tiba terasa berat. Sebelum keluar dari kamar, ia pandangi dulu satu persatu perabot di dalam ruangan itu. Ah, bagaimana bisa ia meninggalkan kamar yang sudah dua puluh tahun ia tempati? Apa ia bisa betah tidur selain di tempat tidurnya sendiri nanti?
"Nduk.." Umi Hana rupanya menyadari perasaan putrinya. "Ndak usah sedih begitu. Toh kamu juga masih bisa pulang ke rumah to, masih bisa kembali lagi ke kamar ini," Umi Hana mencoba menghibur.
"Iya Mi, tapi rasanya beda. Rasanya ada yang hilang di sini," Hafsa menyentuh dadanya. "Apa semua pengantin yang pergi ke rumah mertua merasakan hal yang sama ya Mi?"
"Ya jelas lah," Umi Hana meraih kedua tangan putrinya. "Dengarkan Umi. Umi dulu juga begitu Nduk. Merasa berat harus meninggalkan rumah, meninggalkan suasana yang sudah bertahun-tahun dirasakan. Tapi lama kelamaan, Umi jadi terbiasa. Umi mulai dengan kesibukan-kesibukan baru, hobi baru. Umi juga punya Abah yang selalu menghibur Umi,"
Umi benar. Dia bisa mulai dengan hal-hal baru di sana. Sayangnya, di poin terakhir, Hafsa tidak akan punya kesempatan untuk itu. Dihibur Gus Sahil saat sedang rindu rumah? Bermimpi pun ia tidak berani. Lalu bagaimana ia bisa bertahan di sana seumur hidup?
"Semuanya akan baik-baik saja Nduk," Umi Hana mengeratkan pegangan tangannya. "Kalau ada masalah, kamu bisa tinggal pulang ke rumah. Ada Abah dan Umi yang selalu menunggumu,"
Perkataan Umi Hana seketika menghempaskan batu besar yang menindih hatinya. Ayolah Hafsa, jangan jadi lemah. Ada Abah dan Umi yang selalu ada di sisimu.
"Terimakasih karena sudah membesarkan Hafsa selama ini ya Mi,"
Hafsa memeluk sang ibunda erat-erat.
...----------------...
Perjalanan menuju pondok pesantren Darul Quran berjalan lancar. Tidak ada satu orang pun yang curiga jika Gus Sahil dan Hafsa tidak saling bicara. Tidak ada yang menyadari kalau Hafsa menjadi satu-satunya istri yang menangis di hari pertama pernikahannya. Tidak ada yang tahu kalau Gus Sahil tidak mencintainya.
Rombongan mereka segera berbelok menuju gang pesantren. Mabrur melambatkan laju kendaraan karena iring-iringan para santri yang membawa rebana sambil bersholawat ramai menyambut. Gus Sahil menurunkan kaca jendela mobil, tersenyum pada semua orang.
Hafsa yang berada di sisi lain juga melakukan hal yang sama. Melambaikan tangan pada para santri putri yang memanggil namanya. Merasa bahagia karena disambut dengan sangat meriah.
Turun dari mobil, semua santri putri berebut bersalaman. Mencium tangan Hafsa. Astaga, ada pula yang sampai dorong-dorongan. Hafsa berusaha menyalami mereka semua, sembari mendoakan mereka di dalam hati.
"Barokalloh.. Barokallah.."
Berjalan di sampingnya, Gus Sahil juga melakukan hal yang sama. Sibuk menyalami santri putra. Mereka berdua kemudian dituntun menuju kursi pelaminan yang telah dipersiapkan.
Di daerah ini, ada adat pernikahan yang disebut ngunduh mantu. Ngunduh mantu sendiri berarti memetik atau mengambil menantu. Biasanya hal ini dilakukan oleh keluarga mempelai laki-laki yang mengambil menantu perempuan untuk tinggal bersama mereka.
Upacara adat ini juga berlangsung cukup lama, sama seperti pernikahan. Ada sambutan dari pihak keluarga mempelai wanita, lalu disusul sambutan dari keluarga mempelai laki-laki. Bedanya tidak ada akad nikah di acara tersebut. Biasanya acara dilanjutkan dengan pengajian dari seorang kyai yang sudah diundang oleh keluarga mempelai laki-laki.
Kali ini, kyai yang diundang adalah kyai kondang yang sudah sering mondar mandir di acara televisi. Maka wajar saja jika tamu undangan pada hari ini cukup membludak.
Gus Sahil yang semula duduk tenang di samping Hafsa tiba-tiba beranjak dari tempatnya. Seorang wanita paruh baya keluar dari arah ndalem dituntun oleh seorang santriwati, ikut duduk bersama mereka di atas panggung pelaminan.
"Umi.." Hafsa menyalami wanita tersebut dengan takzim. Wanita itu adalah Umi Zahra, ibu kandung Gus Sahil. Umi Zahra memang memiliki penyakit jantung yang membuat tubuhnya lemah. Tidak heran beliau sangat jarang keluar rumah, bahkan kemarin Umi Zahra tidak hadir di pernikahan mereka karena kondisi badannya yang tiba-tiba drop.
"Nduk Hafsa.." Umi Zahra memeluk menantunya erat-erat. Lanjut memeluk Umi Hana dan menyapa Abah Ali.
"Umi sehat kan Mi?" Hafsa duduk berjongkok, memastikan mertuanya itu tidak perlu mendongak untuk melihatnya.
"Alhamdulillah, Umi jadi semakin sehat kalau lihat kamu,"
"Umi di dalam saja ndak papa, nanti disini dingin," Gus Sahil membujuk. "Bawa Umi ke dalam saja mbak," perintah Gus Sahil pada santriwati yang sejak tadi mendampingi Umi Zahra.
"Nanti lah, Umi masih mau lihat kalian gandengan," Umi Zahra berseloroh. "Lagian kata dokter kondisi Umi juga udah tambah sehat. Iya to, Ha?" Umi Zahra bertanya pada santriwati di sampingnya, meminta dukungan.
"Njeh Gus, kata dokter begitu," santriwati tersebut menjawab dengan suara lembut.
"Yasudah, tapi nanti kalau sudah ndak kuat jangan dipaksa ya Mi,"
"Iya, iya, kamu itu cerewet sekali,"
Hafsa mengulum senyum. Meski masih terlihat lemas, rona wajah Umi Zahra terlihat bersemangat. Beliau pasti senang bisa berada di acara pernikahan putranya meski bukan acara yang utama.
Tapi, ada satu hal yang membuat Hafsa terpaksa menelan senyumannya sendiri. Di sampingnya, Gus Sahil tampak tersenyum sepanjang waktu, tapi sepertinya senyumnya tidak tertuju untuk acara ini, apalagi untuk dirinya.
Senyum Gus Sahil tertuju pada seorang wanita, santriwati yang sedari tadi duduk di samping Umi Zahra. Bahkan saat tadi Umi Zahra keluar dari ndalem bersamanya, raut wajah Gus Sahil tampak lebih cerah, sorot matanya bahkan terlihat berbinar.
Siapa sebenarnya santriwati itu? Hafsa akui, gadis itu sangat cantik. Perawakannya tinggi kurus, tapi bukan kurus yang cungkring, lebih ke ideal. Wajahnya lonjong, matanya besar dengan hidung mancung menghiasi wajahnya. Bibirnya juga tampak berwarna merah muda alami, karena sepertinya wajahnya tidak tersentuh make up sama sekali. Pakaiannya cukup sederhana, baju tunik berwarna biru muda yang dipadukan dengan rok hitam. Jilbab biru muda bermotif tulisan Arab tampak ayu ia pakai, membuatnya terlihat sederhana tapi juga mempesona.
Siapa wanita itu Gus? Hafsa kembali melirik suaminya, yang pada saat itu pula juga melirik santriwati itu.
Untuk siapa senyuman itu Gus? Apakah wanita itu yang mengunci hatimu? Yang membuat cintamu habis tak bersisa untukku?
Hafsa buru-buru memalingkan muka, mencoba pura-pura tidak terganggu. Menahan sekuat tenaga agar air matanya tidak jatuh.
Jangan sampai Umi tahu. Jangan sampai Abah tahu. Jangan sampai semua orang tahu.
Untunglah, fokus semua orang kini tertuju pada ceramah sang kyai yang melontarkan kalimat-kalimat lucu.
Semua orang tertawa. Umi dan Abah tertawa. Gus Sahil tertawa. Hafsa juga tertawa, meski dalam hatinya ia tersayat berdarah-darah.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!