Johan sedang asyik bermain dengan Michele keponakannya yang lucu. Tony dan Anna yang berkunjung beberapa hari lalu belum juga pulang. Rencananya mereka akan tinggal di sini kurang lebih seminggu karena Tony sudah merindukan kedua orangtuanya.
Anna dan Amel sedang duduk di ruang tengah sambil memperhatikan Johan dan Michele yang sedang asyik di taman. karena rumah ini dominan dengan kaca maka sangat jelas bagi mereka untuk melihat ke arah luar.
"Mel, menurut kamu gimana.?" Anna memulai percakapan
"Gimana apanya kak?" tanya Amel bingung
"Johan. Menurut kamu gimana?"
"Ya ganteng lah kak. Tajir lagi, hanya saja dia sedikit angkuh ya." wajah Amel mulai cemberut
Mendegar perkataan sepupunya membuat Anna merasa geli sendiri
" Hahah.. Kamu harus sabar dong. Johan emang gak mudah untuk ditaklukkan, dia masih terbayang akan masa lalunya."
Amel langsung menatap Anna dengan serius
"Masa lalu? Apa dia pernah disakiti makanya dia mengunci hati sekuat itu?" lagi-lagi Anna merasa geli dengan pertanyaan Amel
"Ya gak lah. Cuma wanita bodoh yang mau menyakiti orang seperti Johan."
"Lantas?" Amel memotong perkataan Anna. membuat Anna gemas
" Pacarnya meninggal. Kanker otak" melihat kebingungan di wajah Amel, Anna melanjutkan ceritanya.
" Mereka sudah hampir bertunangan, sayangnya Jessika divonis dokter mengindap penyakit kanker otak. Tentu itu menjadi pukulan bagi Johan. Setelah segala upaya di lakukan demi kesembuhan Jessika, akhirnya dia kalah dalam menghadapi takdir. Dia meninggal 2 tahun yang lalu. Sebuah luka terbesar bagi Johan." suara Anna sedikit serak. Dia tahu persis seperti apa segalanya karena waktu itu dia sudah menikah dan kebetulan masih tinggal di rumah ini jadi dia tahu masa lalu Johan tentang Jessika.
"Amel, terus dekati Johan. Aku yakin dia akan terpukau denganmu. Memang bukan sekarang tapi nanti dia pasti akan menyukaimu." senyum jahat mulai tergambar di wajah keduanya.
Baik Anna maupun Amel sama-sama ingin menikah hanya karena harta bukan cinta. Beruntungnya sekarang Anna sudah berhasil tinggal mencari cara agar Amel juga menjadi bagian dari keluarga ini.
Setelah berbincang- bincang tentang cara untuk mendapatkan Johan, tiba-tiba suara telepon rumah berbunyi.
Pelayan yang berdiri tidak jauh dari sana langsung bergegas mengangkatnya. Anna melihatnya sepintas lalu kembali menatap Amel dan sibuk bercerita
Tiba-tiba sang pelayan berlari keluar menuju Johan yang sedang asyik dengan Michele putri kecil kakaknya yang berusia 4 tahun.
Pelayan itu menyampaikan berita yang di terima dari si penelpon yang mengaku sebagai pengurus panti asuhan Kasih Bunda.
Mendengar berita itu Johan langsung tersontak kaget. Dia menggendong Michele dan memberikannya pada Anna, tanpa banyak bicara lagi dia langsung bergegas mengambil kunci mobilnya siap menuju rumah sakit dengan kecepatan yang tinggi.
Ibu Tia dengan cemas menunggu kedatangan keluarga dari ibu Isma.
Beberapa saat kemudian Nini datang. Dia sudah berganti baju dan membersihkan darah yang tadi menempel pada tubuhnya.
Bu Tia dan Nini sangat cemas,beberapa menit kemudian Johan datang dengan napasnya yang tersenggal, tadi dia berlari keliling rumah sakit untuk mencari ruang operasi.
Dia melihat dua orang wanita yang tidak asing. Mendekati mereka dengan lemas, kali ini dia benar- benar takut. Dia takut kehilangan wanita yang paling berharga dalam hidupnya. Kepergian Jessika sudah sangat membuatnya menderita.
"Bu. Saya Johan anaknya bu Isma." Johan mendekat kemudian terduduk di lantai dengan lemas
" Ya nak. Dokter tadi baru saja masuk. Ibu berharap semuanya baik-baik saja" wajah ibu Tia terlihat sangat cemas.
Nini masih terpaku menatap lampu ruangan operasi yang masih saja menyala. Pertanda operasi masih berlanjut
" Sudah berapa menit bu?" tanya Johan pada bu Tia
"Hampir 15 menit nak. Pendarahan bu Isma cukup banyak."
"Apa sudah ada pendonornya?"
" Iya nak. Untung saja persediaan darah yang sama dengan ibu Isma masih ada di rumah sakit ini nak." ibu Tia mencoba menguatkan Johan yang nampaknya sudah sangat gugup.
"Syukurlah." Johan mengatupkan kedua tangannya memejamkan matanya kepalanya tertunduk sangat dalam.
Nini memperhatikan gerakan Johan. Ia membayangkan kalau saja hal ini terjadi pada ibunya, mungkin saja dia akan melakukan hal yang lebih gila. Mungkin saja dia akan berlari menuju gereja. Berlutut dan menangis agar Tuhan menyembuhkan ibunya. Entah bagaimana air mata Nini jatuh sungguh ia tak sanggup jika itu terjadi pada ibunya.
Nini menghapus air matanya dan berjalan menjauh dari bu Tia dan Johan.
Ibu Tia memperhatikan Nini dengan kebingungan.
Nini yang merasa jaraknya sudah aman, mengangkat ponselnya lalu menelpon sang ibu. Air matanya kembali terjatuh kali ini ia sadar kesibukannya mengejar karir membuatnya kelelahan sehingga jarang baginya untuk berkomunikasi dengan orang-orang kesayangannya.
Bunyi telepon tersambung mulai terdengar. Tidak berapa lama suara hangat sang ibu mulai menyapa
"Hallo selamat siang." terlihat senyum bahagia di wajah sang ibu. Selama ini dia sudah berusaha mengerti dengan kesibukan anaknya. Rasa rindunya harus bisa di tahan hingga hari ini.
"Ibu.. Apa ibu baik-baik saja?" pertanyaan Nini membuat ibu kaget.
*A*nak ini kenapa? Bukannya menjawab salam dariku malah langsung menanyakan keadaan. Apa dia mimpi buruk?
"Ya sayang. Ibu baik-baik saja." belum habis ibunya selesai berbicara, Nini langsung memotong pembicaraan ibunya.
"Bu. Kalau mau ke kamar mandi hati-hati ya. Jaga pola makan ibu juga." Nini mengeluh pada ibunya tentang kekhawatirannya.
"Ada apa denganmu nak?" ibunya benar-benar bingung dengan Nini yang bersikap aneh. Nini memang sangat perhatian pada siapa saja, tapi masa dia menelpon siang-siang begini untuk menasehati ibunya?
"Aku hanya takut terjadi sesuatu pada ibu." suaranya mulai terdengar lemah menahan tangisnya.
"Baiklah nak,ibu akan menuruti mu." ibunya menjawab mengerti "Tapi apakah ibu bisa bertanya sesuatu nak?" suara ibunya terdengar memohon
"Kapan kamu akan ke sini? Keluarga di sini sangat merindukanmu. Sudah hampir 7 tahun kamu tidak pulang." Nini makin terharu mendengar permintaan ibunya. Dia pun menahan rindunya pada keluarganya hanya saja dia sangat sibuk. Mendapat cuti pun tidak mudah baginya.
Setelah menyampaikan alasannya dan berbicara hal-hal lain akhirnya Nini menutup teleponnya. Ada perasaan lega dalam hatinya mendengar kabar ibu dan keluarganya baik-baik saja.
Nini kembali mendekati Johan dan bu Tia. Sudah hampir 1 jam. Akhirnya lampu ruangan operasi padam. Dokter dan beberapa perawat keluar dan menanyakan siapa kerabat ibu Isma.
Johan mendekat,dokter mulai menjelaskan penyebab mengapa ibunya harus segera di operasi. Johan yang juga lulusan kedokteran langsung mengerti tanpa butuh penjelasan panjang lebar.
Ibu Tia mendekati Johan dan menanyakan keadaan bu Isma.
" Nak, bagaimana keadaan bu Isma?" tanya bu Tia dengan was- was
" Ibu sudah selamat bu. Tadi ibu harus di operasi karena pendarahan ibu cukup banyak. Tekanan darah ibu juga tidak stabil." terlihat wajah Johan sedikit lega. Dia tahu ibunya sudah selamat
Hanya saja ada sesuatu yang mengganjar di hatinya kata dokter tadi ibunya sedikit tertekan dan itu cukup berbahaya. Takut saja bisa berakibat fatal sampai stroke dan meninggal.
Johan tertunduk, dia tahu penyebab batin ibunya tertekan. Hanya saja hatinya tidak bisa terbuka untuk siapa pun.
Nini hanya berdiri terpaku menatap Johan prihatin. Setelah beberapa saat menunggu suami bu Ismi, dan keluarganya yang lain datang. Melihat suasana yang sudah membaik akhirnya ibu Tia dan Nini pamit pulang.
Kepergian bu Tia dan Nini diantar oleh Johan sampai depan rumah sakit. Amel yang melihat langsung merasa cemburu. Dia menatap Nini dengan sinis, dia takut gadis ini akan menjadi saingannya. Karena setelah di perhatikan gadis ini cantik dan sepertinya bukan orang biasa.
Bersambung....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 85 Episodes
Comments
Roman Militan
keren
2020-11-03
1
Esti. W
cuuss...
2020-11-01
0
Puan Harahap
masih melanjutlan baca aku nih
2020-10-31
0