"Cepeltina abang ada dicitu. Tu ada cepatuna telihatan," bisik Alan pada sopir keluarganya.
Ridho sedari tadi hanya menurut saja pada anak majikannya itu untuk berjalan ke segala arah. Bahkan sampai masuk dalam kebun-kebun belakang sekolah juga. Ingin protes, namun apalah daya jika anak majikannya yang satu ini sungguh keras kepala. Sangat susah baginya untuk memprotes sesuatu karena akan langsung ditolak mentah-mentah.
Ridho yang memang melihat ada sepatu di sebuah gubuk pun langsung saja mengikuti arahan dari Alan. Ia tak mengetahui bentuk dari sepatu yang digunakan oleh Arnold sehingga hanya menganggukkan kepalanya menyetujui ucapan Alan.
"Abang..." pekik Alan tertahan.
"Lho... Alan, ngapain disini?" tanya Arnold yang merasa bingung dengan kehadiran adiknya itu.
Alan diturunkan oleh Ridho kemudian berjalan masuk dalam gubuk itu dengan Ridho yang mengikutinya dari belakang. Gema yang melihat kehadiran Alan dan Ridho hanya bisa menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Rumahnya jadi sedikit sempit karena banyak orang di sini. Ia juga tak mempunyai makanan apa-apa untuk disuguhkan kepada para tamunya.
"Alan kan harusnya pulang saja ke rumah. Disini bahaya lho, apalagi orang yang mencelakai Kak Abel belum ketemu," ucap Arnold pelan kepada adiknya itu.
"Enang... Anti Alan antu buwat cali pelatuna," ucap Alan dengan percaya dirinya.
Melihat hal itu hanya bisa membuat Arnold menghela nafasnya pasrah. Tentunya dengan kehadiran Alan disini membuatnya semakin was-was dengan orang-orang yang ada di gudang tadi. Arnold khawatir jika nantinya malah membuat orang-orang itu curiga kepada adiknya itu.
Sedangkan Ridho yang mendengar hal itu langsung mengelus lembut punggung anak majikannya itu. Ia akan sekuat tenaga membantu dan menjaga anak-anak majikannya dari siapapun yang ingin melukainya. Terlebih keluarga Farda sudah ia anggap sebagai saudaranya sendiri.
"Den Arnold tenang saja, ada Mas Ridho yang paling tampan ini. Saya akan menjaga kalian selama misi ini berjalan. Asalkan kalian tidak lepas dari penjagaan Mas Ridho, semua aman." ucap Ridho dengan percaya dirinya.
"Maca cih? Adi aja citu akut cama cetan tok," ucap Alan dengan tatapan sinisnya.
Ridho hanya bisa tersenyum masam mendengar ucapan dari Alan yang seketika membuatnya down itu. Terlebih dia sudah teramat percaya diri dengan apa yang diucapkannya, namun ternyata semuanya musnah ketika Alan berucap. Memang bocah laki-laki ini tak bisa yang namanya membuat dia senang sedikit saja.
"Memangnya ada setan disini?" tanya Arnold yang sedari tadi hanya mengamati perdebatan keduanya.
"Ada. Nih cetanna," ucap Alan yang langsung menunjuk kearah Ridho.
Arnold dan Gema langsung saja terkekeh pelan mendengar apa yang diucapkan oleh Alan. Apalagi melihat wajah masam dari Ridho yang sudah seperti manusia yang teraniaya. Wajahnya saat ini sama sekali tak cocok dengan badannya yang besar dan tinggi juga kekar. Dulunya Ridho itu akan dijadikan satpam oleh Andre karena badannya yang cocok, hanya saja laki-laki itu menolaknya.
"Maaf tuan, saya menolak menjadi satpam walaupun badan saya kekar seperti ini. Saya lebih baik jadi sopir saja. Saya tak mau berhadapan dengan penjahat terlebih dahulu saat terjadi sesuatu. Saya takut wajah yang tampan ini nanti jadi biru-biru," tolak Ridho waktu itu memberi alasan.
Tentunya Andre hanya bisa memutar bola matanya malas mendengar ucapan dari sopirnya itu. Terlebih bibit-bibit percaya diri itu sudah seperti Alan, anaknya yang sampai saat ini belum bisa ia taklukkan.
"Alan, tak baiklah bicara seperti itu sama yang lebih tua. Jadi gini Mas Ridho..." ucap Arnold yang kemudian menceritakan apa saja yang ia temukan.
Arnold menceritakan tentang beberapa petunjuk yang telah ia dapatkan. Rekaman dalam ponselnya ia putar dihadapan Ridho, Alan, dan Gema. Sampai akhirnya ia diselamatkan oleh Gema karena kecerobohannya yang menyenggol tempat sampah. Mereka mendengarkannya dengan seksama untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.
Ridho dan Gema hanya mengangguk-anggukkan kepalanya mengerti. Mereka sudah bisa menarik kesimpulan tentang orang-orang yang tengah berusaha ingin mencelakai Abel dan kedua saudaranya yang lain. Sedangkan Alan sendiri hanya bisa mengerutkan dahinya bingung dengan percakapan yang ada didalam ponsel itu.
"Om Lidho, apa olang-olang yang adi tetemu dan tatap tita itu yang dimakcud?" tanya Alan.
"Bisa jadi," ucap Ridho sambil menganggukkan kepalanya.
Sepertinya Alan dan Ridho mencurigai orang-orang yang berpapasan di lorong tadi sebagai rombongan pelaku yang melukai Abel. Namun mereka tak bisa langsung menuduh karena Arnold hanya mempunyai bukti rekaman saja. Untuk foto atau gambar pelakunya belum ada karena Arnold tak sempat kepikiran sampai sana.
"Tepon Kak Pikli, minta nenek buwat antu. Tatana nenek yang puna cekolah ini tan? Itu lho minta yang ada di pipitivi," ucap Alan setelah berpikir begitu keras.
"Pipitivi?" tanya Arnold, Gema, dan Ridho secara bersamaan.
Alan hanya menganggukkan kepalanya dengan tegas. Ia yakin melalui alat itu, semuanya akan terungkap. Terlebih ini adalah sekolah besar dan mewah yang kemungkinan semua keamanannya juga terjamin. Kalau ada peristiwa seperti ink, seharusnya pihak sekolah bertanggungjawab. Bukan malah diam saja karena Alan menilai kalau sedari kemarin tak ada tindakan apapun.
"CCTV kali," ucap Gema yang berusaha untuk mencerna ucapan Alan.
"Iya, tul." ucap Alan sambil menunjuk kearah gema.
Astaga... Ridho dan Arnold hanya bisa geleng-geleng kepala mendengar hal itu. Kalau CCTV mengarah ke taman tak ada, kemungkinan besar di dekat gudang tersedia. Sepertinya ide Alan mengenai memeriksa CCTV yang ada itu memang harus segera dilaksanakan.
"Kalau kalian punya akses untuk itu, langsung saja hubungi orangnya. Di dekat gudang pasti ada CCTV, berikut juga di lorong sebelah sana. Kita bisa tahu wajah-wajah siapa yang ada di sana," ucap Gema memberi arahan.
Arnold menganggukkan kepalanya dan segera saja menghubungi Fikri. Namun sudah berulangkali ia coba, tidak diangkat sama sekali. Hal ini membuat Arnold sedikit gelisah karena tanpa campur tangan Nenek Hulim, semuanya akan terasa sulit. Terlebih mereka tak punya kekuasaan untuk berada di sekolah ini.
"Anti tita coba agi buwat ubuni Kak Pikli. Ebih baik, tita ulang bulu coalna Kak Nala pati cudah unggu di empat palkil," ucap Alan yang melihat jam dinding yang tergantung.
Arnold yang mendengar hal itu langsung saja melihat jam yang ada pada ponselnya. Benar saja, ini sudah waktunya jam pulang sekolah. Mungkin tinggal satu menit lagi, bel akan dibunyikan. Akhirnya Arnold memutuskan untuk mengakhiri diskusi ini dan segera pulang.
"Terimakasih Kak Gema, sudah membantu menyelamatkan Arnold. Suatu saat nanti, Arnold akan membalas kebaikan Kak Gema ini." ucap Arnold yang kemudian memeluk Gema.
Gema hanya menganggukkan kepalanya kemudian memeluk balik Arnold. Begitu juga Alan dan Ridho, yang setelahnya mereka segera pulang. Gema yang melihat kepergian mereka, diam-diam tersenyum tipis.
"Semoga semuanya segera terungkap," gumam Gema.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 116 Episodes
Comments
Rahma Wati
udah kasih bintang 5 malah akunya
2023-07-08
0
Rahma Wati
authornya ingkar janji katanya bln ini up 2x sehari tp nyatanya satu aja up nya
2023-07-08
2
khadizah thea
upnya banyakin thor
2023-07-08
0