"Nenek dan kakek kalian terlibat kecelakaan. Di rumah hanya ada Mbok Imah dan satpam untuk menunggu kalian pulang. Tadi saya sudah memberitahukan kepada mereka mengenai berita Abel yang masuk rumah sakit dan nanti akan diberitahukan pada orangtua kalian. Ini karena orangtua kalian belum bisa dihubungi sampai sekarang," jelas guru itu dengan wajah merasa bersalah.
Guru itu tentunya harus memberitahukan kejadian yang sebenarnya kepada mereka agar tidak banyak berharap mengenai kehadiran orangtuanya. Terlebih nanti pikiran mereka pasti akan kemana-mana sehingga paling tidak harus dijelaskan sedemikian rupa agar tidak terjadi salah paham. Mendengar berita yang baru saja disampaikan, guru-guru yang ada disana langsung melihat kearah Anara, Arnold, dan Alan yang mematung ditempatnya.
Ketiganya tidak bisa lagi berpikir jernih karena mendengar kabar yang mengejutkan ini. Apalagi kabar ini bersamaan dengan Abel yang terkena musibah. Segera saja guru-guru itu langsung memeluk ketiganya yang terlihat linglung dengan mata yang berkaca-kaca.
"Tenang ya, kalian harus bisa sabar. Semua kejadian yang terjadi bersamaan ini pasti ada hikmahnya untuk keluarga kalian. Setelah ini, hubungan kekeluargaan kalian akan semakin terjalin dengan erat. Ibu yakin itu." ucap guru itu sambil memeluk Alan.
Anara sudah terisak dipelukan salah satu gurunya begitu juga dengan Arnold. Sedangkan Alan hanya menatap lurus kedepan seperti sedang memikirkan sesuatu yang sangat berat. Sebagai seorang anak kecil yang masih berumur 5 tahunan harus dihadapkan peristiwa seperti ini yang tak ayal membuat kejiwaannya tergoncang.
"Napa baleng-baleng, bu gulu? Napa macalah catu belum celecai api cudah ada yang lain? Ita ndak akal lho, tok dikacih ujian cepelti ini. Telus ini gimana?" ucap Alan lirih.
Mendengar ucapan Alan yang lirih namun syarat makna itu membuat guru-guru yang ada disana matanya mulai berkaca-kaca. Bahkan mereka langsung mengalihkan pandangannya kearah lain agar tidak memperlihatkan kesedihan didepan ketiganya. Mereka juga bingung harus melakukan apa, pasalnya untuk persetujuan segala tindakan Abel itu mengharuskan keluarganya yang tandatangan.
Hiks... Hiks...
Huaaa.... Hiks...
Alan langsung melepaskan pelukannya dari guru yang tak bisa menjawab pertanyaannya. Ia segera saja memeluk kedua kakaknya yang sama-sama melepaskan pelukannya dari guru-guru itu. Ketiganya saling memeluk hingga terdengar suara isakan dan tangisan yang menyayat hati. Ketiga bocah kecil yang kini tak tahu harus melakukan apa untuk menghadapi kejadian ini tanpa didampingi keluarga sama sekali. Bahkan guru-guru disana sudah meneteskan air mata karena melihat kejadian ini.
"Sabar... Sabar, nak. Berdo'a sama Allah, pasti dibantu nantinya dengan cara yang tak terduga," ucap guru itu dengan suara seraknya.
"Ya Allah, tita ndak natal agi lho ini. Ayo antu tami buwat kacih tau papa dan unda talo tita dicini uruh antuan," ucap Alan dengan nada memaksa.
Bahkan kini wajah ketiganya sudah memerah dengan air mata yang terus mengalir pada kedua pipi mereka. Beruntung ada orang yang mau mendonorkan darahnya kepada Abel setelah pihak rumah sakit memberikan pengumuman. Setidaknya nyawa Abel kini tidak berada diujung tanduk.
"Ini gimana. pak? Kita tak mungkin berada disini sampai malam. Tapi kasihan juga kalau tidak ada orang dewasa yang mendampingi," bisik salah satu guru kepada rekannya.
Hari memang sudah beranjak sore namun operasi yang dilaksanakan oleh tim medis sama sekali belum selesai. Mereka jadi kebingungan sendiri karena di rumah pasti keluarganya sedang menunggu kepulangan semuanya. Namun jika mereka meninggalkan ketiga bocah kecil itu disini tanpa ada orang dewasa menemani, tentunya tidak tega.
"Terimakasih sudah menemani kami. Bapak dan ibu guru bisa kembali ke rumah. Kami tak apa jika harus menunggu Abel disini bertiga," ucap Arnold yang mengerti kegelisahan guru-gurunya itu.
Walaupun Arnold juga sama bingungnya dengan kedua saudaranya, namun ia masih bisa berpikir jernih. Ia tak mau merepotkan oranglain karena masalah dalam keluarganya. Ia yakin kalau dirinya dan kedua adiknya bisa melewati kejadian ini dengan baik.
Arnold melepaskan pelukannya dari kedua saudaranya itu kemudian mengusap air matanya kasar. Ia tersenyum melihat guru-guru yang langsung salah tingkah setelah mendengar ucapan darinya itu. Guru-guru itu saling pandang seakan sedang berdiskusi untuk menentukan langkah yang tepat.
"Emm... Nak, maafkan kami karena tidak bisa menemani kalian sampai malam karena keluarga sedang menunggu di rumah. Oh ya... Untuk tas Arnold dan Abel di sekolah itu ada didalam mobil bapak. Sekalian tadi bapak membawakan kalian baju ganti dari rumah. Untuk biaya rumah sakit, tadi Mbok Imah memberikan sebuah ATM yang disimpan pada tas kecil. Katanya Arnold tahu pin ATM itu," jelas salah satu guru.
Arnold hanya menganggukkan kepalanya kemudian mengikuti guru-guru itu kearah parkiran mobil untuk mengambil barang-barangnya. Anara dan Alan memilih untuk duduk didepan pintu ruang IGD yang masih tertutup rapat itu sembari terus berdo'a. Mereka tak bisa mengikuti Arnold karena harus berjaga-jaga jika ada informasi yang didapatkan.
Guru-guru tadi akhirnya memutuskan untuk pulang karena ponsel yang terus berbunyi sebab keluarganya sudah menghubungi. Dengan berat hati, mereka berpamitan kepada ketiga bocah kecil itu dengan mata yang menatap kasihan pada semuanya. Namun salah satu guru akan menemani Arnold mengurus administrasi Abel terlebih dahulu sebelum meninggalkan mereka.
"Angan angis telus don, Kak Nala. Anti Alan itutan angis lho," tegur Alan yang melihat kakaknya terus terisak.
"Gimana nggak nangis? Itu Kak Abel lho sakit didalam sana," kesal Anara yang langsung menghapus air matanya kasar.
Alan hanya bisa menggaruk tengkuk kepalanya yang tak gatal karena tiba-tiba saja malah membuat kakaknya kesal. Padahal niatnya itu adalah menghibur kakaknya yang masih sedih, namun malah dirinya jadi pelampiasan kekesalannya. Kini Alan sedang merutuki dirinya sendiri karena ternyata apa yang dilakukannya itu salah.
"Cekalang caja angis, temalin-temalin temana? Nomelin Kak Bel telus tan keljaanna," kesal Alan menyindir saudaranya itu.
"Iya, aku salah karena ngomelin Kak Abel terus. Udah dong, nggak usah diingatkan lagi," kesalnya sambil mengerucutkan bibirnya.
Akhirnya Alan lebih memilih diam daripada berdebat dengan kakak perempuannya yang sama tak mau mengalahnya seperti dirinya itu. Mereka berdua terduduk diam didepan ruang IGD sambil menunggu kedatangan Arnold. Tak berapa lama, Arnold datang dengan membawa barang-barangnya diikuti oleh salah satu gurunya. Setelah menyimpan semua barang yang dibawanya, guru itu segera saja berpamitan pulang dan memberikan nomor ponselnya jika ada sesuatu yang darurat.
"Lebih baik kalian mandi. Aku sudah meminta bagian administrasi untuk membuka salah satu tempat istirahat sementara disini," titah Arnold.
Keduanya pun menganggukkan kepalanya. Mereka segera membawa barang-barang menuju ruang istirahat khusus keluarga yang menunggu bersama dengan salah satu petugas administrasi yang baru saja datang. Sedangkan Arnold masih menunggu didepan ruang IGD untuk mengetahui kondisi kakaknya.
"Bunda, papa, kakek, nenek... Cepatlah kalian datang kemari. Kami butuh kalian" gumamnya lirih sambil menatap sendu kearah pintu ruang IGD.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 116 Episodes
Comments
🍃🦂 Nurliana 🦂🍃
rasanya beneran nyesek banget, musibah datang disaat bersamaan, aku pernah mengalaminya... 😢😭😭😭
2023-09-04
0
Elizabeth Zulfa
harusnya ada salah 1 guru aja donk zg rela nungguin disitu... kan kejadiannya disekolah, entah itu bullying/ kecepakaan jdi secara gak langsung kn jdi tanggungjwab guru dan juga sekolah... ini mlah ditinggal pulang semua... soal kluarga mereka zg nelponin krna blm pulang2 juga kn bisa diberitahu klo lagi ada insiden psti mreka ngerti lah... klo g pngertian za kebangetan...
2023-08-26
0
Endang Werdiningsih
hadeehhhh musibah datang bertubi",,
siapa yg sdh jahatin abel...
2023-07-20
0