Nadia termenung didalam ruang rawat inap anaknya ini. Ketiga anaknya tengah tertidur dengan pulas sedangkan Abel masih belum sadarkan diri. Sopirnya tadi memberitahukan kepadanya kalau suaminya memberikan ponselnya yang tertinggal didalam mobil kepada satpamnya.
Suaminya juga bilang kalau ia tak bisa menemaninya dan juga anak-anaknya. Andre memang harus mempersiapkan semuanya dan pergi ke luar negeri demi menemani kedua orangtuanya. Berat... Mereka pikir sudah tidak ada lagi masalah besar yang menimpa keluarganya, namun ternyata seperti ini.
"Abel... Cepat bangun yuk. Bunda sedih lihat kamu kaya gini," gumamnya sambil mengelus punggung tangan Abel yang tidak terpasang infus.
Apalagi tadi sebelum Papa Nilam pergi, beliau menjelaskan kondisi Abel. Hal ini juga yang membuatnya kepikiran namun ia juga harus menjaga kewarasannya agar bisa memikirkan yang terbaik untuk anak-anaknya.
"Apa Abel sekalian dibawa keluar negeri saja? Pasti disana akan lebih intens perawatannya. Apalagi aku harus mengurus tiga anak lagi yang masih sekolah, tapi juga nggak mau kalau sampai dipisah sama Abel," lanjutnya.
Nadia kebingungan memikirkan bagaimana jika nantinya ia tak bisa standby di rumah sakit karena harus mengurus anak-anaknya. Tidak mungkin ketiga anaknya setiap hari akan menginap di rumah sakit, ini tidak baik untuk kesehatan mereka.
"Tidak. Bunda jangan pindahkan Kak Abel ke luar negeri. Kami selama ini selalu bersama, Arnold nggak rela jauh dari kakak. Masalah Kak Anara dan Alan, biar nanti Arnold yang urus mereka. Fokus sama Kak Abel aja, bunda." ucap Arnold tiba-tiba dari arah samping Nadia.
Nadia terkejut dengan kehadiran Arnold yang tiba-tiba itu. Pasalnya ia pikir anaknya itu sudah tertidur pulas, namun malah kini berdiri disampingnya dan mendengar ucapannya. Nadia langsung tersenyum tipis melihat Arnold yang kini menatapnya begitu tajam.
"Kalian nggak bisa lho kalau menginap disini terus-terusan. Anak kecil nggak baik kalau di rumah sakit lama-lama," ucap Nadia memberi pengertian.
"Arnol, Kak Anara, dan Alan akan di rumah saja. Kami akan datang menjenguk setiap minggunya. Arnold paham kalau sakit yang diderita Kak Abel ini tidak mudah disembuhkan, makanya aku siap mengurus yang lainnya saat tak ada bunda juga papa." ucap Arnold dengan tegasnya.
Nadia semakin bimbang dengan apa yang harus dilakukannya. Padahal niatnya untuk membawa Abel di luar negeri agar bisa sekalian bersamaan dengan Mama Anisa dan Papa Reza yang dirawat disana. Namun mendengar permintaan Arnold, dirinya juga tidak tega membiarkan anaknya berjauhan dengan saudaranya.
Nadia juga tidak tega harus membiarkan anaknya mandiri tanpa kehadirannya atau keluarga lainnya. Terlebih harus mengurus dua saudaranya yang sifatnya bertolak belakang. Ia paham kalau Arnold pernah menjaga Abel dan Anara juga Alan saat dirinya koma dahulu namun waktu itu masih ada nenek juga kakeknya.
"Huft... Baiklah. Nanti kalau abang ini udah capek, bilang ya sama bunda. Biar kita panggil saja orangtua bunda buat kesini. Ada Mbok Imah juga walaupun hanya sampai sore, nanti kalau malam biar sopir keluarga nginap di rumah ya," ucap Nadia sambil tersenyum.
Ia juga tak bisa jauh-jauh dari Abel. Walaupun Abel hanya anak sambungnya, namun kasih sayangnya sama dengan Alan. Nadia langsung memeluk Arnold dengan erat sambil mengusap lembut kepalanya. Ia tak menyangka, bocah laki-laki ini begitu dewasa walaupun didewasakan karena keadaan.
***
"Mbok Imah, tolong jaga Abel sebentar ya. Saya mau antar anak-anak ke sekolah," ucap Nadia sambil tersenyum tipis.
Mbok Imah datang pagi-pagi sekali untuk mengantarkan seragam sekolah juga sarapan untuk Nadia dan ketiga anaknya. Beliau diantar oleh satpam rumah dengan membawakan juga ponselnya. Nadia meminta kepada keduanya untuk menjaga Abel selama dirinya pergi mengantarkan anak-anaknya yang lain berangkat sekolah.
"Siap..." ucap Mbok Imah sambil mengusap bahu majikannya.
Mbok Imah sangat paham dengan pergolakan hati dari majikannya itu. Tanpa didampingi oleh suami dan orangtua atau mertuanya, harus berdiri tegak demi anak-anaknya. Dari semalam, Andre juga belum bisa dihubungi bahkan nomor ponselnya tidak aktif. Kemungkinan besar masih berada didalam pesawat atau sedang mengurus administrasi di rumah sakit sana.
Nadia segera saja menggandeng tangan Anara dan Alan sedangkan Arnold sudah berjalan didepan. Mereka berangkat ke sekolah dengan diantar oleh sopir keluarga yang memang semalaman ikut berjaga di rumah sakit. Tak berapa lama, mobil yang dikendarai telah sampai didepan sekolah Anara dan Arnold.
"Abang Arnold, Kak Anara... Jaga diri kalian baik-baik ya. Kalau ada sesuatu yang mencurigakan, langsung lapor guru. Sebaiknya saat istirahat nanti, kalian berdua selalu bersama," pesan Nadia dengan raut sedikit khawatir.
"Bunda tenang saja, abang akan jagain Kak Nara kok," ucap Arnold dengan yakin.
Nadia menganggukkan kepalanya kemudian mencium kening kedua anaknya secara bergantian. Nadia masih sedikit khawatir membiarkan anaknya bersekolah karena pelaku yang melakukan pemukulan pada Abel itu belum ditemukan. Terlebih tak ada CCTV yang mengarah pada taman belakang sekolah itu.
"Napa Alan ndak catu cekolah cama abang dan Kak Nala caja cih? Tan atu adi ndak bica again meleka uga," kesal Alan dari dalam mobilnya.
"Mending Alan jagain Cia dan Ega saja di sekolah. Kami sudah besar, nggak perlu dijagain anak kecil kaya kamu," ledek Arnold membuat Alan kesal.
Arnold dan Anara langsung saja pergi berlalu setelah berpamitan dan mencium punggung tangan bundanya. Sedangkan kini Nadia langsung masuk kedalam mobil sambil memperhatikan Alan yang masih cemberut. Tentunya hal ini membuat Nadia gemas melihat wajah anaknya yang cemberut.
***
"Tatana Kak Bel macuk lumah cakit ya, Alan?" tanya seorang gadis kecil yang sudah menyambut kedatangannya didepan kelas, yang tak lain adalah Cia.
Alan hanya menganggukkan kepalanya lesu. Ia sangat sedih melihat keadaan kakaknya yang sampai saat ini belum sadar. Namun saat didepan kedua saudaranya dan sang bunda, ia sama sekali tak mau menunjukkannya. Ia tak ingin membuat semuanya bertambah khawatir padanya terutama sang bunda.
Kini Alan sudah duduk dikursinya yang disampingnya ada Cia. Cia hanya memperhatikan Alan yang kini menelungkupkan wajahnya diatas meja. Tiba-tiba Cia melihat bahu Alan bergetar membuatnya tahu kalau sahabatnya itu tengah menangis. Cia sedikit bingung karena selama ini tak pernah ia melihat Alan sampai menangis seperti ini.
"Tenapa macalah telus ada buat kelualga Alan? Kelualga Alan itu baik lho, napa dikacih tayak dini? Tacian unda, halus tapek olak-alik ngulus kami yang halus di lumah dan Kak Bel yang di lumah cakit," ucapnya lirih.
Mendengar ucapan lirih dari sahabatnya itu membuat Cia juga ikutan sedih. Alan yang biasanya selalu menghiburnya, kini tengah dalam keadaan sedih. Ia ingin menghibur, namun bingung harus melakukan apa. Akhirnya Cia lebih memilih menjadi pendengar yang baik untuk sahabatnya itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 116 Episodes
Comments
Nora Indrawati
yang sabar ya dedek Alan....
semua cobaan itu pasti ada hikmahnya...
dedek Alan harus terus banyak berdoa untuk kesehatan semua keluarga adek Alan, kesehatan mama, papa, kakek, nenek, 2 KK nya kak Alan ...
semangat dedek Alan 💪
2023-10-11
0
Nora♡~
Semangat terus.. thor.. doa, sabar dan tabah menghadapi ujian yaa... Alan, Arnold, Anara dan kesemua keluarga Andre.. sembuhkan Abel dan kedua orang tua Hadi... lanjuutt..
2023-07-04
1
readers
perasaan tiap baca koq mewek mulu ya pas baca, ga tega anak2 sekecil itu jadi ngerasain cobaan yang berat 😢😭
2023-07-03
1