Lomba Pidato pt. 2

Sinar mentari pagi menari-nari di permukaan jalan yang masih basah oleh embun, menciptakan suasana memesona yang berpadu dengan kabut pagi, suara kicau burung, dan kokok ayam yang saling bersahutan.

Heyra menatap gaun yang tergantung rapi pada hanger di daun pintu kamarnya. Gaun itulah yang akan menjadi penampilannya hari ini. Hari ini, di balai kota, dia sudah bertekad akan menampilkan versi terbaik dari dirinya.

Dari balik pintu mobil yang terbuka, sosok ibunya muncul dengan senyuman hangat. wajahnya mencerminkan rasa bahagia, tetapi juga terselip sedikit kekhawatiran.

Heyra selesai mengikat tali sepatunya, ia tatap wajah ibunya ketika ia sampai dihadapannya. Heyra melihat senyuman itu sebagai senyuman bahagia, tetapi ia tak melihat sebagian kecil dari senyuman itu yang mengisyaratkan rasa khawatir.

Namun bagi Heyra, setiap tatapan dan kata-kata dari ibunya selalu menjadi suntikan semangat baginya. Mobil SUV hitam itu segera melaju lincah di jalanan yang semakin ramai, membawa mereka menuju balai kota yang menjadi arena lomba.

Gedung-gedung menjulang tinggi, taman kota yang hijau, dan lampu merah yang setia menemani perjalanan, semuanya menjadi latar yang mempesona bagi perasaan yang sekarang bercampur aduk dalam diri Heyra. Sinar matahari yang memancar terang memberikan nuansa yang berbeda pada pagi yang istimewa ini.

Mobil yang ditumpangi Heyra mulai melambat saat memasuki kompleks yang mewah. Heyra, duduk di kursi penumpang depan, mengagumi bangunan megah yang semakin mendekat.

"Apakah kita sudah sampai?" tanya Heyra, mencoba menahan getaran kecil di hatinya.

Ibu tersenyum, berusaha menguatkan semangatnya, "Ya Nak, kita sudah sampai."

Mobil berbelok ke kanan, masuk ke pintu gerbang yang dijaga ketat oleh petugas berpakaian rapi. Ibu menurunkan jendela, berbicara dengan sopan kepada salah satu penjaga. penjaga gerbang, seorang pria berpakaian cokelat beaver, menganggukkan kepalanya sambil tersenyum saat mobil mendekati gerbang.

"Selamat pagi, Bu,” sapa penjaga gerbang dengan suara hangat.

"Mau ke mana pagi ini?"

Ibu Heyra tersenyum balik. "Selamat pagi, kami menuju ke balai kota untuk acara lomba pidato anak saya."

Penjaga gerbang mengangguk paham sambil memeriksa surat izin masuk yang ibu berikan, yaitu surat undangan lomba yang diberikan panitia saat technical meeting minggu lalu.

"Baik, Bu. Selamat datang dan semoga acaranya sukses."

Ibu Heyra membalas sapaan dengan ramah. "Terima kasih banyak. Semoga hari Anda menyenangkan juga."

Saat mobil melaju masuk, di dalam mobil, Heyra menatap ibunya dengan senyum, merasa bersyukur atas dukungan yang telah diberikannya.

"Semangat ya, Nak," kata ibunya sambil menepuk pelan pundak Heyra. "Ibu ada di sini untuk mendukungmu."

Heyra tersenyum, merasa lega atas kata-kata ibunya. "Terima kasih, Ma. Aku akan melakukan yang terbaik."

Setibanya di parkiran yang berdekatan dengan kompleks masjid, dengan hati-hati ibu memarkirkan mobilnya. Setelah memastikan mobil terparkir dengan rapi, keduanya turun lalu melangkah menuju balai kota. Mereka melewati jalan setapak dan lorong kecil, mencapai balai kota yang terlihat masih cukup tenang.

Heyra dan ibunya menemukan tempat duduk di antara peserta yang mulai berdatangan. Tatapan gugup dan senyum semangat bergantian menghiasi wajah Heyra dalam setiap langkah kakinya di lantai balai kota. Ibu, dengan senyumnya yang selalu memberikan dukungan, duduk di samping Heyra.

Heyra mengedarkan pandangannya ke sekeliling untuk melihat kondisi balai kota. Ketika ia menoleh ke arah kanan, dia melihat dua temannya yang sudah hadir, mereka melambaikan tangan kepadanya dengan antusias.

Heyra membalas dengan senyum hangat, merasa senang oleh kehadiran mereka. Heyra berjalan mendekati mereka dengan langkah bersemangat setelah pamit kepada ibunya untuk menyapa temannya sebentar.

"Woi, teman-teman! Gimana kabarnya kalian?"

Damar, yang duduk dengan santai, menyambutnya dengan senyuman. "Lu keliatan excited banget, mau

bikin kerusuhan apa hari ini?"

Rania, yang sibuk dengan buku di tangannya, tersenyum tipis. "Heyra, gaunmu keren banget! Pasti bakal bikin semua orang terpesona pas lu tampil nanti."

Heyra tertawa, merasa nyaman dengan kehadiran teman-temannya. "Makasih, persiapan kalian udah pada jadi belum?"

Damar mengangkat bahunya. "Aduh, Hey, jangan ditanya deh. Aku ini last minute banget, kayak biasanya. Tapi yakin deh, pasti bakal dapetin juara satu."

Rania menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum. "Beda banget sama Damar, aku udah latihan keras dari sejak seleksi. Nggak mau deh nyesel gara-gara persiapan dadakan."

Heyra mengangguk paham. "Sama, Rania! Semangat banget, ya. Kita pasti bisa bikin juri terpukau sama kita."

Mereka bertiga terus berbincang-bincang, meskipun sedikit tegang menghadapi lomba, kehadiran Damar dan Rania membuat Heyra merasa lebih tenang dan siap menghadapi lomba.

Setelah selesai berbincang dengan kedua temannya itu, Heyra kembali melangkah ke kursinya dengan hati yang berdebar.

Sebagai peserta termuda dalam lomba pidato tahunan kota ini, dia merasa campur aduk antara gugup dan bersemangat. Tema lomba pidato tahun ini adalah "Masa Depan Pendidikan: Tantangan dan Harapan", sebuah topik yang begitu relevan bagi masa depan Heyra sendiri.

Suasana di balai kota cukup terasa tegang. Pada satu sisi ruangan, beberapa peserta terlihat berdiskusi antara satu dengan yang lain, menyemangati satu sama lain sebelum tampil di depan publik.

Namun, di sudut lain, ada juga kekhawatiran yang terasa, terutama di antara peserta yang ada, sudah ada yang berpengalaman dalam kompetisi seperti ini.

Heyra kembali duduk di barisan depan bersama ibunya, merapal doa dalam hati. Sejenak, matanya terpaku pada papan pengumuman yang menampilkan jadwal lomba, yang dengan cermat menunjukkan waktu yang mundur dari yang dijadwalkan.

Namun, ketika pembawa acara akhirnya memulai acara dengan doa bersama, suasana tegang itu sedikit

mereda.

Ketika giliran Heyra tiba, langkahnya mantap saat berjalan menuju panggung, sorotan lampu yang memancar dari atas menyoroti wajahnya. Dengan suara yang sedikit gemetar di awal-awal, Heyra mulai menyampaikan pidatonya, mencoba untuk menangkap hati dan pikiran semua orang yang hadir di ruangan itu.

Tentu saja, pada saat yang sama, di balik sorotan lampu yang terang, ada perasaan gugup yang tidak bisa dia sembunyikan. Namun, Heyra membiarkan semangat dan keinginannya untuk menyampaikan pesan yang penting mengalahkan rasa takutnya.

Baginya, momen ini tidak hanya tentang memenangkan lomba, tapi juga tentang memberikan suara bagi generasi muda seperti dirinya, yang mungkin memiliki pandangan unik dan ide-ide segar tentang masa depan pendidikan.

Momen lomba pidato ini bukan hanya tentang penghargaan atau prestise, tapi juga tentang menghadapi tantangan dan meraih harapan. Bagi Heyra, ini adalah langkah pertamanya dalam sebuah perjalanan yang panjang, yang akan membentuk tidak hanya masa depan pendidikan, tetapi juga masa depannya sendiri.

Setelah beberapa menit berpidato dengan penuh semangat, Heyra tiba pada bagian pidatonya yang paling menggugah perasaan.

“Dan itulah mengapa kita harus berjuang bersama untuk masa depan pendidikan yang lebih baik!" serunya, mata penuh semangat memandang ke arah penonton.

Dia mulai berbicara tentang pengalaman pribadinya dalam menghadapi tantangan pendidikan seperti pembullyan yang pernah dihadapinya saat SMP. Cerita tentang bagaimana dia mengatasi hal tersebut dan menginspirasi teman-temannya untuk tetap bersemangat membuat banyak penonton terkesima.

Saat Heyra dengan tulus menceritakan perjuangannya, suara tepuk tangan riuh pun pecah, memenuhi ruangan dan memberinya semangat tambahan untuk melanjutkan pidatonya dengan penuh keyakinan.

Sementara itu, di meja juri, para juri dengan cermat mencatat setiap kata yang diucapkan Heyra. Meskipun terlihat serius dan dingin, mereka tidak bisa menahan senyuman kecil saat mendengarkan pesan yang disampaikan dengan begitu bersemangat oleh Heyra.

Namun, mereka juga tidak luput untuk menandai beberapa kekurangan dalam pidato Heyra, seperti kurangnya penggunaan data dan statistik yang mendukung argumennya.

"Dia memiliki semangat yang luar biasa," ujarnya pada rekan juri di sebelahnya. "Tapi sayangnya, kurangnya data dan statistik membuatnya sedikit lemah dalam mendukung argumennya."

Setelah mengakhiri pidatonya dengan kuat dan penuh semangat, Heyra turun dari panggung dengan perasaan lega. Meskipun ada rasa gugup yang masih tersisa, dia merasa puas telah memberikan yang terbaik dari dirinya.

"Kamu luar biasa, Heyra!" teriak Damar dan Rania dari kerumunan penonton.

Heyra tersenyum dan mengangguk sebagai tanda terima kasih, hatinya penuh dengan kebahagiaan dan rasa puas.

Saat dia mendekati ibunya yang tersenyum bangga dari kursi penonton, mereka berpelukan erat, merayakan momen penting dalam perjalanan Heyra sebagai seorang pembicara muda yang berbakat.

"Kau luar biasa, Sayang," kata ibunya sambil menepuk punggung Heyra dengan penuh kebanggaan.

"Aku sangat bangga padamu." Heyra tersenyum lebar.

"Terima kasih, Bu," katanya dengan suara lirih, tetapi penuh makna.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!