Secangkir Teh

Heyra meletakkan sendoknya, menunggu dengan cemas.

"Pertama, kamu harus pulang sebelum jam sepuluh malam. Kedua, hati-hati, selalu lihat sekitar. Jangan sampai pisah sama temen-temenmu. Ketiga, jangan lupa bawa HP, biar bisa buat kabar-kabaran," terang ayah.

Sorot mata Heyra berbinar saat mendengar persetujuan dari ayahnya. Dia mengucapkan terima kasih dengan bahagia, "Ok, makasih ya, Ayah, Ibu! Aku janji bakal pulang sebelum jam sepuluh."

Bunda tersenyum melihat antusiasme Heyra. "Baiklah, sayang. Kamu boleh pergi, tapi jangan lupa tetap hati-hati, ya?" ujar Bunda dengan penuh perhatian.

Setelah selesai makan malam, Heyra bergegas menuju kamar. Ia segera mengambil ponselnya, merebahkan tubuhnya di atas kasur lalu mengirim pesan kepada Vindra.

Heyra: "Vindra.”

Heyra: “Aku udah dibolehin sama orang tuaku."

Heyra: “Tapi nggak boleh kemalaman, cuma sampai jam 10 doang.”

Tanpa diduga Vindra langsung membalas.

Vindra: “Beneran?”

Vindra lalu mengirim stiker seseorang yang sedang mengepalkan tangan dengan teks bertuliskan ‘Yess!’.

Vindra: “Santai aja, gabakal sampai jam 9 kok.”

Heyra tersenyum gembira membaca balasan dari Vindra. Ia merasa senang bahwa rencana malam ini berjalan lancar dan ia dapat menghabiskan waktu bersama teman-temannya.

Dengan semangat, Heyra mulai menyiapkan diri untuk malam yang menyenangkan di alun-alun kota.

-

Heyra melangkah dengan riang menuju rumah Vindra.

Kaos lengan panjang berwarna abu-abu dengan warna biru tua pada lengan, dilapisi dengan jaket parka berwarna biru terang yang tudungnya ia kenakan, membiarkan rambutnya yang sepunggung tergerai sedikit di sela-sela tudung jaketnya, dan celana training panjang berwarna hitam dengan aksen garis putih-biru pada bagian sampingnya ia pilih sebagai paduan pakaian yang ia kenakan untuk pergi ke alun-alun malam ini.

Vindra terpana dengan Heyra yang sedang berjalan memasuki pekarangan rumahnya sambil memasukkan tangan ke saku jaket, tudung jaket yang tampak tebal sehingga membuat wajahnya terlihat lebih berisi, rambut yang tergerai di sela-sela tudung jaketnya, dan celana training longgar yang ia kenakan membuat keimutan Heyra semakin terlihat jelas di mata Vindra.

Vindra segera menggelengkan kepalanya pelan untuk menyadarkannya kembali dari pesona Heyra yang terlihat begitu imut dan cantik.

Vindra hendak menyapa Heyra, namun sudah keduluan oleh Bima.

Entah kenapa Bima yang sedari awal sejak datang ke rumah Vindra, terlihat paling semangat untuk pergi ke alun-alun di antara mereka semua.

Umar yang sedang bersandar pada pagar rumah Vindra hanya memberikan sapaan melalui senyum dan kata ‘hai’ yang cukup bersahabat.

Vindra bersalaman akrab dengan Heyra setelah kedua temannya menyapanya duluan.

Mereka lalu berbincang sebentar. “Eryll belum datang ya?” tanya Heyra, heran karena tidak melihat sosoknya.

“Iya, sebentar lagi dia pasti datang.”

Vindra melanjutkan, “Mau masuk dulu nggak, sambil nunggu Eryll? Udah aku buatin teh anget lho di dalem.”

Heyra mengangguk setuju diikuti Umar dan Bima yang sama-sama menyahut setuju.

Mereka masuk ke dalam rumah Vindra, menghampiri ruang tamu yang terlihat sederhana namun nyaman. Langit-langit rendahnya dihiasi lampu gantung bergaya simpel, sementara warna dindingnya berwarna putih memberikan kesan kesederhanaan yang menyegarkan.

Di sana terdapat dua sofa memanjang dan satu sofa kecil yang sudah agak lecet, tetapi masih cukup nyaman untuk diduduki. Meja kayu dengan ukiran bergaya klasik menghiasi ruangan dengan bagian atasnya diisi oleh toples-toples berisi makanan ringan.

Menghirup aroma harum teh yang menyebar di udara, mereka merasa semakin rileks. Vindra telah menyiapkan segelas teh hangat untuk masing-masing dari mereka.

Walaupun rumahnya terlihat sangat sederhana, Vindra senantiasa berusaha membuat suasana tetap hangat dan menyenangkan bagi para tamunya.

Umar dan Bima duduk berjejeran di sofa panjang sementara Heyra memilih duduk di sofa kecil yang menghadap ke arah bagian dalam rumah.

Vindra menuangkan teh dari teko ke dalam cangkir yang sudah ia sediakan sebelumnya.

“Makasih ya Vin. Ayo diminum temen-temen, jangan sungkan, anggap aja rumah sendiri.” ucap Bima berniat mengerjai Vindra.

Vindra lalu mendengus, “Rumah yang punya siapa juga.”

Umar mulai menyeruput tehnya ketika Bima dan Vindra masih sibuk bercanda. Pada tegukan pertama, ia langsung terkesima dengan kualitas yang diberikan pada teh yang baru saja ia minum.

“Hmmm, ini teh buatanmu, Vin?” tanya Umar, menghentikan obrolan Vindra dengan Bima.

“Iya, kenapa?” tanya balik Vindra.

“Aku suka tehnya.Teh ini memiliki aroma yang menakjubkan, memiliki rasa yang seimbang dan harmonis. Rasa pahit yang tepat, tidak terlalu kuat, tidak terlalu lemah, dan diimbangi dengan kelembutan manis yang menyelaraskan rasa teh. Keharmonisan rasa ini memberikan kenikmatan yang menyeluruh pada setiap tegukannya. Teh ini juga diseduh dengan teknik yang tepat. Waktu, suhu air, dan kadar gula yang digunakan dalam proses penyeduhan telah diatur dengan cermat. Selain aspek rasa dan aroma, pengalaman keseluruhan saat menikmati teh ini sangat memuaskan. Teh ini disajikan dengan sempurna dalam lingkungan yang nyaman, memungkinkan penikmat teh untuk merasakan ketenangan dan relaksasi. Pengalaman keseluruhan ini meningkatkan kenikmatan minum teh secara menyeluruh.” ucapnya, membuat suasana yang sebelumnya ramai menjadi sunyi senyap karena semua mata sekarang tertuju padanya.

Mereka tercenung dengan ucapan Umar yang bak juri Master Chef Indonesia ketika menilai hasil masakan pesertanya, namun kali ini yang dinilai adalah secangkir teh.

“Bilang aja enak apa susahnya,” ujar Bima, lalu dibalas Umar,

“Mendramatisir bro.” sambil mengayunkan tangannya membentuk gestur punk.

Vindra mengalihkan perhatiannya dari kedua temannya yang sedang mengobrol ke Heyra yang duduk terdiam sambil menyeruput cangkir teh di tangannya.

Satu hal yang ia ketahui sejak pertama kali mengenal Heyra saat kelas tujuh dulu, yakni Heyra cenderung anak yang pendiam, pasif, tidak banyak bicara, dan tidak banyak tingkah.

Namun ia sangat enak ketika diajak bicara dan ramah kepada sesama, apalagi senyumnya.

Entah kenapa ia sangat menyukai senyumnya itu, selain senyum ibunya ketika melihat putranya berhasil memenangkan kejuaraan atau mendapatkan ranking kelas ataupun paralel.

Alangkah baiknya ia mengajak Heyra mengobrol.

"Gimana ra? Enak tehnya?" tanya Vindra. Heyra menoleh ke arah Vindra dengan senyuman lembut di wajahnya.

"Iya, enak banget tehnya," jawabnya lalu kembali menyeruput tehnya.

"Makasih ya Vin, aku suka tehnya. By the way, kamu belajar buat teh seenak ini darimana?" tanya Heyra. Melihat antusiasme Heyra pada obrolannya, Vindra pun merasa senang.

"Ibuku yang ngajarin. Ibuku kan jualan soto, kan biasanya kalau jualan soto pasti minumannya ada tehnya kan? Nah itu, kadang aku suka bantuin ibuku jualan. Jadi ibuku ngajarin aku gimana caranya buat teh yang enak," jelas Vindra.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!