Potongan-potongan kecil kenangannya kembali muncul menghiasi bagian memori otaknya. Wajah Vindra beberapa kali muncul diikuti wajah sang ibu, ayah, keluarga besar, dan teman-temannya. Air matanya masih menitik kala senyum mulai merekahkan bibirnya. Heyra menyadari betapa dekat dan akrabnya mereka dulu sebelum masa-masa SMA ini dimulai.
...----------------...
Sore itu hujan turun dengan intensitas sedang. Heyra yang saat itu masih mengenakan pakaian kebaya duduk di halte dalam diam. Kakinya dibiarkan telanjang tanpa alas kaki apapun.
Bagian bawah kebayanya terlihat basah terkena cipratan air hujan. Rambut lurus sepunggungnya juga tampak basah terkena guyuran hujan.
Matanya masih terfokus pada rintik-rintik air yang turun dari atap halte sembari sesekali menoleh ke kanan-kiri berharap ada angkot atau angkutan umum lainnya yang bisa ia naiki untuk pulang.
Heyra melihat ke jam tangannya. Jarum jamnya sudah menunjukkan pukul lima lebih lima belas menit. Heyra terlihat semakin panik. Terlebih sepertinya langit masih belum mau menyelesaikan tangisannya.
“Aduh… mana udah mau gelap lagi,” ucapnya sembari memeluk dirinya sendiri menahan hawa dingin yang terus menusuk kulitnya kala angin terus berembus.
Jangan tanya kenapa ia bisa terjebak di halte dengan pakaian kebaya seperti itu. Hari ini, Heyra ada jadwal latihan menari setelah pulang sekolah dari pukul tiga sampai empat sore.
Namun sesaat ketika ia hendak pulang ke rumahnya, ia melihat dengan mata kepalanya sendiri teman satu ekskulnya tertabrak motor saat hendak menyebrang jalan. Dan yang lebih mengejutkannya lagi, orang yang menabraknya adalah kakak kelas sembilan dari SMP nya sendiri.
Dengan begini, Heyra harus merelakan waktu pulangnya diundur untuk membantu merawat luka-luka temannya di UKS sementara kakak kelas yang mengendarai sepeda motor itu dimarahi oleh guru-guru yang kebetulan belum pulang karena harus mengurus beberapa urusan penting di sekolah.
Setelah selesai membalut luka yang ada pada kaki dan tangan temannya, Heyra juga harus menemani temannya tersebut menunggu orang tuanya menjemputnya di sekolah karena Heyra tak akan tega meninggalkan temannya sendirian di UKS tanpa ada yang menemani.
Hampir pukul 5 ketika hujan mulai turun dan mobil yang menjemput temannya datang hingga akhirnya Heyra harus terjebak di tengah hujan sendirian di halte menunggu angkot yang seharusnya sudah berhenti beroperasi sejak pukul lima sore tadi.
Di sini Heyra hanya bisa berharap kalau masih ada bapak sopir angkot yang masih keliling-keliling untuk menjemput penumpangnya di tengah hujan, walaupun kemungkinan tersebut sangatlah kecil.
Heyra lalu menangkup wajahnya dengan kedua tangannya. “Hah….” helaan napas pasrah keluar dari mulutnya.
“Kalau misalnya dah gak ada angkot lagi, aku pulangnya gimana coba?” batinnya panik sekaligus khawatir.
Heyra bisa saja pulang dengan naik ojek online. Tapi masalahnya, ponselnya sengaja ia tinggal di rumah karena kemarin ia sempat mendengar desas-desus dari seorang anak guru yang memberitahu tentang razia ponsel yang akan dilaksanakan hari ini.
“Haduh… harusnya aku bawa aja hp-nya, lagian gak ada yang aneh juga di hp-ku,” ucapnya menyesal masih dalam keadaan wajah yang ditelungkupkan di tangan.
Ditengah penyesalannya yang tak berujung, terdengar bunyi kecipak air disertai suara decitan sepeda yang hendak disandarkan berasal dari sisi kanannya .
Heyra mengangkat wajahnya dan terkejut mendapati seorang laki-laki berseragam batik sama dengan batik identitas SMP-nya tengah mengenakan jas hujan ponco berwarna orange. Ia berdiri tepat di sampingnya dengan senyum yang cukup hangat.
Dari wajahnya Heyra sudah cukup familiar dengannya karena ia adalah salah satu anggota OSIS di SMP-nya. Tapi Heyra hanya sekedar tahu wajahnya, tak sampai nama dan hal-hal lain tentang laki-laki itu.
Laki-laki itu lalu duduk di samping Heyra dan memulai pembicaraan dengannya. “Kamu tadi yang ikut ekskul nari ya? Kok belum pulang?” tanyanya dengan bahasa yang cukup ramah.
Ada jeda beberapa detik sebelum Heyra menjawab pertanyaannya. “Iya, tadi temenku ada yang kecelakaan. Jadi aku nemenin dia dulu sampai dijemput orang tuanya,” ucapnya dengan raut wajah sedih yang ditundukkan.
“Oh…, terus kamu sekarang lagi nunggu apaan? Nunggu dijemput?” tanyanya lagi.
“Enggak, aku lagi nunggu angkot.” Detik berikutnya, laki-laki tersebut mematung lalu tertawa terbahak-bahak setelah mendengar pengakuan Heyra.
Heyra yang merasa aneh karena merasa tidak ada yang lucu lalu bertanya, “Apasih kok ketawa, gak ada lucu juga,” ucapnya dengan nada yang sedikit lebih tinggi.
Laki-laki itu berusaha meredakan tawanya sebelum menjawab, “Mana ada angkot jam segini… angkot itu kalau dah jam lima pada bubar semua, pada istirahat,” ucapnya.
Heyra dengan segera membalas, “Aku juga tau kok!”
“Kalo dah tau kenapa masih nunggu angkot?”
“Ya berharap aja siapa tau masih ada angkot yang lewat.”
“Ealah, gak usah berharap sama yang gak pasti, nanti nyesel!”
Heyra termenung sesaat menatap laki-laki itu. “Kok malah ngebucin sih?”
“Siapa juga yang mau ngebucinin angkot? Mending ngebucinin cewek cantik.”
“Gak lucu tau!” Heyra berusaha memukul laki-laki yang ada di sampingnya, namun tak berhasil karena laki-laki tersebut sudah menghindar duluan.
Heyra memasang wajah kesal sekarang. Kepalanya ia palingkan ke arah lain asalkan tak perlu menatap wajah laki-laki itu. Bisa-bisanya ia bercanda di saat dirinya tengah panik karena tak bisa pulang ke rumah. Apalagi ditambah cahaya matahari yang semakin menghilang karena waktu yang terus mendekati maghrib.
Laki-laki itu lalu duduk kembali di samping Heyra. “Oh ya by the way namaku Vindra, salam kenal.” ia lalu mengulurkan tangannya yang basah pada Heyra.
Heyra melirik sebentar lalu kembali menghadapkan tubuhnya pada laki-laki itu. Ia lalu membalas uluran tangan tersebut. “Namaku Heyra, salam kenal juga,” ucapnya sambil tersenyum kecil.
Selanjutnya mereka mulai mengenalkan diri mereka masing-masing mulai dari asal kelas hingga alamat rumah mereka yang ternyata cukup berdekatan.
“Lah, rumahmu ternyata di sana? Kok aku gak pernah liat kamu?” tanya Vindra keheranan.
Heyra mengendikkan bahu sembari tersenyum kikuk. “Yah… mungkin karena aku lebih suka di dalem rumah daripada keluar-keluar,” ucapnya.
“Yaudah kalau gitu kita pulangnya bareng aja gimana? Sepedaku bisa buat bonceng kok,” Vindra menawarkan.
“Ta-tapi aku gak bawa mantol.”
"Gak apa-apa, aku kan pakai jas hujan ponco.”
“Ehm… yaudah deh, ayo,” Heyra pun menerima tawaran dari Vindra.
Vindra terlebih dahulu naik ke atas sepeda disusul Heyra yang berlindung dari guyuran hujan di balik jas hujannya. Setelah mereka berdua siap, Vindra mulai mengayuh pedal dan menyusuri jalanan kota menembus derasnya hujan dengan sepeda onthelnya.
“Heyra,” ucap Vindra setelah sekian lama mereka berdua diam.
“Ya?” balas Heyra dari balik jas hujan Vindra.
“Maaf ya,” ucap Vindra tiba-tiba.
Heyra terkejut mendengar pernyataan maaf tiba-tiba dari Vindra. Baru ketemu kok udah minta maaf? “Buat apa minta maaf?” tanya Heyra setelahnya.
Vindra bisa membayangkan raut bingung gadis di belakangnya walaupun ia sendiri tak bisa melihatnya. “Maaf kalau sepedaku jelek,”
“Lalu?”
“Ya… siapa tau kamu malu dibonceng karena sepedaku jelek,”
Heyra reflek menggeleng, sempat juga tergelak karena alasan yang tidak masuk akal dari Vindra. “Enggak kok, siapa bilang aku malu,” balasnya.
“Ya… biasanya kan kalau cewek-cewek pengennya itu apa-apa baguskan?”
“Enggak semuanya Vindra… kamunya aja yang mainnya kurang jauh,” balas Heyra lalu memukul pelan punggung Vindra sebagai balasan telah menyamakannya dengan wanita-wanita yang dipikirannya penuh kesombongan akan kekayaan dan memiliki standar kehidupan yang tinggi.
“Oi! jangan main pukul gitu dong, nanti kalau jatuh gimana?” kata Vindra setengah berteriak.
Gara-gara pukulan Heyra yang tak seberapa, barusan saja ia hampir kehilangan keseimbangan dan masuk ke jalan yang berlubang. Untung Vindra yang sudah sedari kecil hobi bersepeda bisa mengendalikan sepedanya dengan cepat sehingga tidak jadi terjungkal akibat jalan yang berlubang.
“Hehehe biarin, nanti aku tinggal nyalahin kamu." Heyra tanpa sadar tersenyum.
“Kok gitu sih, nanti aku tinggalin kamu di tengah jalan baru tau rasa!”
“Eh eh eh! Jangan dong.” Dan begitu seterusnya, perjalanan pulang mereka diwarnai dengan canda dan tawa yang seakan-akan stoknya tak pernah habis.
...----------------...
“Yakin gak mau mampir dulu? Aku bisa buatin teh anget lho.” Vindra dan Heyra sudah sampai di gerbang pintu masuk halaman rumah Heyra. Hujan yang turun cukup deras tadi sekarang berubah menjadi rintik-rintik hujan.
Vindra yang masih duduk di sepedanya kembali menggeleng, “Gak usah makasih, aku udah ditunggu ibu di rumah,” balas Vindra.
“Oh yaudah, hati-hati dijalan, kapan-kapan mampir ya,” ucap Heyra setelahnya.
Vindra kembali ke posisi siap mengayuh sepeda. Dikembangkannya kembali senyumnya kepada Heyra. “Yaudah kalau gitu aku pulang dulu ya.”
Sembari mengayuh sepedanya, Vindra melambaikan tangannya pada Heyra. Begitu juga sebaliknya, Heyra membalas lambaian tangan Vindra dengan lambaian tangan juga.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 51 Episodes
Comments