SMA Dharma Jaya

Vindra hampir mencapai gedung sekolahnya. Dari kejauhan, bangunan sekolah bertingkat tiga itu tampak menjulang dengan megah, menantang gaya arsitektur zaman modern gedung-gedung di sebelahnya. Fasad bangunannya dipenuhi dengan kaca-kaca bergaya futuristik.

Vindra berdecak kagum melihat gaya bangunan sekolahnya yang begitu futuristik. Dulu, ia hanya bisa mengaguminya dari kejauhan, tapi sekarang ia akan bisa merasakan sendiri suasana bangunan tersebut dari dalam.

Sesampainya ia di sekolah barunya, Vindra memarkirkan sepedanya di bagian pojokan parkiran sepeda motor.

Parkiran itu berada di belakang sekolah dan dibagi menjadi 2 bagian, yang pertama parkiran untuk guru dan kedua parkiran untuk siswa.

Di bagian tengah parkiran tersebut dibuat blok semen sebagai pemisah antara parkiran siswa dan guru yang ditanami beberapa tanaman kecil seperti aglonema, sanseviera, beberapa jenis bunga dan pohon trembesi.

Parkiran yang bisa dibilang cukup luas itu terlihat sudah sesak oleh berbagai macam sepeda motor. Dari yang sekelas Nmax sampai Supra bapak pun ada.

Hal itu membuat Vindra berpikir apakah semua siswa di sekolah ini yang jumlahnya seribu lebih memakai sepeda motor untuk pergi ke sekolah?

Jika ditelisik lebih jauh, dulu saat SMP, teman-temannya lebih banyak menggunakan angkutan umum atau sepeda untuk berangkat dan pulang sekolah.

Dan sejujurnya Vindra juga cukup terkejut ketika mengetahui kalau sekolahnya menyediakan parkiran khusus untuk siswanya. Memangnya anak SMA sudah boleh naik motor ya? Tanyanya saat itu.

Terlepas dari semua itu, sepuluh menit lagi bel masuk akan berbunyi dan Vindra harus sudah berkumpul di lapangan untuk mendapat pengarahan dari OSIS.

Vindra berjalan melalui lorong pendek yang menghubungkan bangunan sekolah dengan parkiran siswa. Suasana berubah 180 derajat ketika ia memasuki lorong utama yang menghubungkan kelas-kelas.

Suasana di sana sudah cukup ramai dengan siswa yang berlalu-lalang, entah itu kakak kelas, teman seangkatannya, atau anggota OSIS dan MPK yang mengenakan jas berwarna biru dan merah.

Ketika ia tengah kebingungan mencari seseorang yang ia kenal di tengah keramaian ini, seseorang lalu menepuk pundaknya. “Oi.” Vindra lalu membalikkan badan dan terkejut melihat wajah Umar ada di belakangnya.

Ia langsung menyapa temannya tersebut. “Eh, tadi aku nyariin kamu. Ini pada mau ke mana kok rame banget?” tanya Vindra. Ia sudah tahu kalau Umar, temannya sejak SMP ini akan berada di satu sekolah yang sama lagi dengannya.

“Ini baru mau ke lapangan, tadi ngumpul dulu di kelas,” balas Umar.

“Owalah….”

Sembari berjalan menyusuri lorong untuk pergi ke lapangan setelah disuruh oleh salah satu anggota OSIS, Vindra melanjutkan obrolannya.

“Btw, kamu jadinya kelas berapa?” tanya Vindra basa-basi.

“Kelas 10-3, sekelas sama kamu,” balas Umar to the point.

“Beneran? Yess! Kita sekelas lagi dong.”

Vindra yang kegirangan merangkul Umar. Sedangkan Umar sendiri tidak bereaksi apapun seakan-akan satu kelas dengan Vindra adalah hal yang membosankan dan sudah biasa.

Sejak sampai di parkiran hingga berjalan di lorong, Vindra menyadari dinding sekolah ini kebanyakan bernuansa biru muda dan hijau muda, namun di beberapa tempat tetap dibiarkan berwarna putih dan abu-abu.

Ketika ia melewati tangga yang menghubungkan lantai satu dan dua bangunan tersebut, terdapat gambar stiker huruf aksara jawa di setiap anak tangganya dengan nuansa warna coklat dan jawa yang kental.

Ia kembali berdecak kagum. Ia pikir sekolahnya akan membosankan, namun ternyata tidak.

Pernah dulu ketika ia mengikuti lomba waktu SMP, ia pergi ke sekolah lain dan melihat nuansa sekolah itu penuh dengan warna krem. Alhasil ketika ia menunggu giliran untuk tampil lomba, ia mengantuk dan terus menguap secara berkala.

Tapi sepertinya masa SMA nya akan lebih berwarna dan menyenangkan karena warna-warna dan gambar-gambar yang bervariatif. Ditambah lagi dengan lagu-lagu nasional yang sengaja diputar setiap paginya membuatnya lebih bersemangat untuk bersekolah.

Setelah berjalan selama beberapa saat, sampailah ia dan Umar di lapangan utama sekolah mereka.

Sekolah mereka memiliki dua lapangan, yang pertama lapangan yang paling luas yang biasa dipakai untuk bermain sepakbola dan upacara bendera, lalu lapangan yang lebih kecil yang biasa digunakan untuk bermain basket.

Vindra dan Umar mengedarkan pandangannya pada kerumunan manusia di sekeliling mereka.

Beberapa di antara mereka sudah ada yang berbaris sambil mengobrol santai dengan teman mereka, ada juga yang masih berjalan-jalan mencari barisan kelas mereka dan ada juga yang malah duduk-duduk di bawah pohon sehingga para anggota OSIS harus menegur mereka agar bisa segera ikut berbaris.

“Mar, kira-kira kelas kita di mana ya?” tanya Vindra sembari berjalan mencari barisan kelas mereka.

“Yang barusan itu kelas X-1, harusnya barisan kita di sebelah sana,” tunjuk Umar pada sekelompok siswa yang sedang berbaris dari kejauhan.

Vindra dan Umar segera berjalan menghampiri barisan kelas mereka, namun dunia seakan-akan berhenti bergerak ketika ia berpapasan dengan seorang gadis berwajah murung yang sudah tak asing di matanya.

Vindra mematung dan sedetik kemudian membalikkan tubuhnya ke belakang mencari sosok gadis yang berhasil memberikan efek time stopping padanya.

Di sana ia dapati punggung gadis itu masih nampak di antara kerumunan manusia yang hendak menelannya.

“Oi! Heyra!” teriaknya sambil melambaikan tangan memanggil gadis itu sebelum semakin tenggelam di dalam lautan manusia, namun sial, teriakkannya sama sekali tak ditanggapi gadis itu hingga akhirnya ia menghilang ditelan kerumunan siswa.

Wajah Vindra seketika kehilangan keceriaannya. Mata yang tadi berbinar-binar dengan kegembiraan kini tampak suram. Senyuman yang biasa terpampang di wajahnya sekarang menghilang, digantikan oleh ekspresi kesedihan dan kekecewaan.

Umar yang sudah sampai dibarisannya terpaksa harus kembali lagi karena temannya, Vindra sudah menghilang dari sisinya.

“Hah…” ketika menyadari temannya itu malah berdiri mematung memandangi sesuatu entah apa itu, ia hanya bisa menghela napas lalu segera menghampirinya. Ia menepuk pundak temannya itu beberapa kali sebelum akhirnya tersadar dari lamunannya.

“Jangan bengong nanti kerasukan setan,” kata Umar.

Vindra lalu tersentak pelan. “Eh, tadi aku liat Heyra, Mar,” ucap Vindra tiba-tiba.

“Heyra?” Umar langsung mengerti kalau penyebab mematung dan menghilangnya Vindra tadi dikarenakan kemunculan entitas misterius dan tidak dikenali bernama Heyra yang memiliki kemampuan untuk membuat seseorang menghilang dalam sekejap.

“Dia sekolah di sini juga? Bukannya katanya dia mau pindah ke luar kota?” lanjut Umar dengan ekspresi keheranan.

“Enggak jadi, sekarang dia jadinya sekolah di sini,” balas Vindra.

“Oh,” Umar hanya mengatakan ‘oh’ lalu membalikkan badannya tidak peduli, meninggalkan Vindra untuk kembali ke barisannya.

Vindra lalu segera menyusul Umar ketika beberapa detik kemudian terdengar suara teriakan ‘Siap grak!’ dari arah tengah lapangan.

...----------------...

Vindra memilih duduk di kursi bagian pojok kanan depan dekat pintu masuk kelas X-3 bersama Umar. Beberapa siswa yang akan menjadi teman sekelasnya untuk satu tahun kedepan juga tampak sedikit demi sedikit mulai mengisi kursi-kursi kosong yang ada.

Beberapa tampak sudah ada yang akrab satu sama lain. “Mungkin mereka satu SMP,” pikir Vindra.

Tak butuh waktu lama untuk kelas menjadi penuh dengan para siswa. Walaupun demikian, suasana kelas masih bisa dibilang cukup sepi. Kebanyakan dari mereka memilih untuk bermain dengan ponsel mereka ketimbang saling berkenalan satu sama lain.

“Ba!” Vindra yang sedang melamun tiba-tiba dikagetkan oleh Bima yang mengagetkannya dari arah belakang.

“Astagfirullah! Ya Allah bisa gak sih gak usah ngagetin gitu,” kesal Vindra.

Umar yang sebelumnya fokus pada ponselnya menoleh ke belakang untuk ikut nimbrung dengan keributan yang tengah terjadi. “Kamu kelas X-3 juga? Tadi dilapangan kok aku gak liat kamu?” tanyanya pada Bima.

“Hehehe, tadi aku telat. Pas aku dateng, ternyata upacaranya dah selesai, jadi aku langsung ke kelas aja,” balas Bima sambil cengar-cengir memegangi tengkuknya.

Vindra dan Umar hanya bisa menggelengkan kepala mereka.

“Perasaan dari SMP, kamu pasti datengnya paling akhir, kalo enggak ya telat,” ucap Vindra.

“Padahal kayaknya rumahmu yang paling deket di antara kita lho,” lanjut Umar.

Bima lalu membalas, “Kan emang ada pepatah yang bilang kalau yang rumahnya jauh itu paling gasik dateng ke sekolah, sementara yang rumahnya deket datengnya paling telat.”

Vindra yang mendengarnya langsung memasang ekspresi keheranan. "Mana ada pepatah kayak gitu, Bima." Vindra berusaha membantah.

"Ada," balas Bima sambil mengangguk yakin.

"Lalu yang nyiptain pepatah kayak gitu siapa?" tanya Vindra, berharap pertanyaan tersebut bisa memenangkan perdebatan ini.

"Akulah." Setelah mengatakan hal itu, Bima pun dengan penuh rasa bangga melipat tangannya di dada, membuat Vindra hanya bisa menerima kekalahan dengan mengatakan, "Dahlah."

Tak lama berselang, dua orang berjas biru dan satu orang berjas merah datang masuk ke dalam kelas membuat suasana kelas yang sebelumnya sempat ramai menjadi sunyi senyap.

Laki-laki berjas biru, berambut lurus menyamping dan berkacamata kotak dengan kerangka yang tebal mengambil tempat duduk di meja guru lalu membuka laptop dengan logo Apple lalu menyalakannya.

Sementara itu, perempuan yang mengenakan jas yang sama menurunkan layar LCD lalu menempatkan diri di samping laki-laki berjas merah yang berdiri di muka kelas.

Mungkin sebelumnya kalian bertanya-tanya apa perbedaan antara almamater SMA Dharma Jaya dengan PDL nya OSIS yang sama-sama berwarna biru tua.

Almamater SMA Dharma Jaya memiliki aksen garis-garis berwarna putih pada kerah, pundak, dan juga lengannya. Warna putih tersebut melambangkan kesucian dan kejujuran.

Sedangkan pada PDL OSIS, aksen garis-garisnya diberi warna biru muda dengan gaya yang berbeda, memberi kesan warna gradasi yang terasa menyala ketika dilihat.

Selain itu di bagian lengan kanan terdapat logo organisasi OSIS dan tulisan OSIS SMA Dharma Jaya pada bagian punggung.

Selain itu, biru tuanya PDL OSIS lebih terang dibandingkan dengan almamater SMA Dharma Jaya.

“Oke, Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,” ucap laki-laki berjas merah mengawali dan dengan segera pula dibalas oleh seluruh penghuni kelas.

“Jadi sebelumnya saya dan teman-teman saya ingin mengucapkan selamat kepada kalian semua yang telah diterima di SMA Dharma Jaya ini.”

“Sebelumnya perkenalkan saya Muhammad Fauzan Sholih, panggil aja kak Fauzan. Dan disamping saya…”

“Ainun Diba, panggil aja kak Ainun,” ucap perempuan itu sambil tersenyum.

Kak Fauzan kembali melanjutkan. “Dan yang sibuk main laptop itu namanya kak Ridwan.”

Setelahnya kak Ridwan mengangkat tangan-melambaikannya sembari tersenyum singkat sebelum kembali fokus pada laptopnya.

Secercah cahaya pada LCD mulai muncul sedikit demi sedikit, yang lama kelamaan berubah menjadi proyeksi tampilan PPT yang isinya akan menerangkan tentang acara MPLS yang akan Vindra dan teman-temannya jalani selama 3 hari kedepan.

Sudah hampir setengah jam Vindra dan teman-temannya mendengarkan ocehan dan penjelasan dari kakak kelas mereka.

Beberapa dari mereka tampak memperhatikan dan mencatat penjelasan dari kak Fauzan dan kak Ainun seperti halnya Vindra dan Umar, dan beberapa lagi tampak mengantuk seperti Bima yang sudah merebahkan kepalanya di meja.

“Nah kalau tidak ada yang ditanyakan, setelah ini kalian pergi ke Aula untuk mendapatkan materi dari Bu Vivin.”

Vindra meregangkan tangannya ke atas dan berdiri, menutup bukunya lalu membangunkan Bima yang sudah tertidur di belakangnya.

“Oi Bima, bangun, One Piece udah tamat,” ucapnya sambil menggoyang-goyang tubuh Bima.

Bima mengangkat kepalanya dengan mata yang masih tertutup lalu mengulet sebentar sebelum bangkit mengambil bukunya dari dalam tas lalu pergi menuju aula bersama Vindra dan Umar untuk nobar episode terakhir One Piece. Eh, maksudnya mengikuti acara MPLS selanjutnya.

Letak aula tak terlalu jauh dari teritori wilayah kekuasaan kelas 10. Tepatnya di sebelah barat ruangan kelas 11 MIPA 3, mendempet pintu masuk parkiran siswa.

Vindra dan teman-temannya hanya perlu berjalan ke utara lalu keluar melalui pintu sebelah barat dan berjalan ke kiri melewati pintu masuk parkiran. Di sanalah letak Aula berada.

Terlihat pintu masuk aula yang seperti pintu masuk mall tersebut terbuka lebar.

Di bagian tengah aula telah dipasangi kursi aluminium lipat yang diarahkan menghadap sebuah panggung yang cukup besar.

Di sana telah dipasangi banner bertuliskan MPLS SMA Dharma Jaya, podium, sound system dan dekorasi-dekorasi lainnya.

Vindra terpana selama beberapa saat. "Ini mah lebih mirip konser daripada acara MPLS," katanya dalam hati.

“Eh itu kursi depan panggung masih kosong, kita duduk di sana yuk.” Lamunan Vindra seketika buyar ketika Bima menarik tangannya dan tangan Umar, berlari menuju kursi kosong yang ada di depan panggung. Bima berniat mengisi kursi kosong tersebut sebelum keduluan oleh siswa lain.

Vindra berusaha menyelaraskan langkah kakinya dengan langkah kaki Bima ketika sesosok perempuan dengan rambut lurus sepunggung yang sedang membawa satu buah buku bernuansa pink sekilas terlihat dalam pandangannya.

Setelah proyeksi tersebut diproses oleh otaknya yang menangkap itu adalah Heyra, Vindra segera melepas genggaman tangan Bima lalu berlari ke arah yang berlawanan dari arah yang dituju Bima, alias kembali ke posisi letak pintu masuk aula.

Bima menghentikan langkahnya ketika genggaman tangannya pada lengan Vindra terlepas, ia menatap kepergian Vindra dengan raut wajah bingung, begitu juga dengan Umar yang sama-sama membatin, "Vindra mau ke mana sih?"

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!