Penolong

"Rasain tuh!" Fando berseru puas. "Makanya jadi anak jangan sombong amat!"

Setelah puas menertawakan, mereka berlalu, meninggalkan Vindra yang masih terduduk di sawah. Ia memeriksa sepedanya, bersyukur benda itu tidak rusak. Namun yang menjadi masalah adalah bagaimana caranya ia naik ke jalan lagi?

"Vindra! Are you okay?" Sebuah suara familiar membuatnya mendongak. Jemari lentik terulur dari atas, siap membantu.

"Ayo, Vin! Aku bantuin angkat sepeda kamu,” ucap Heyra.

"Tapi sepeda aku kotor," Vindra ragu-ragu.

Heyra mendengus, "Ya makanya diangkat, biar bisa dibersiin!"

"Iya, iya." Vindra mengangkat sepedanya, yang langsung dipegang oleh Heyra.

"Sekarang pegang tangan aku," Heyra kembali mengulurkan tangannya setelah menaruh sepeda Vindra di trotoar. Dengan satu tarikan kuat, Vindra berhasil keluar dari sawah. "Fiuh, akhirnya," ia menghela napas lega.

Vindra menatap Heyra heran, "Kamu ngapain di sini? Bukannya rumah kamu gak lewat sini?"

Heyra memutar bola matanya, "Minimal bilang makasih kek. Coba aja kalo gak ada aku."

Vindra nyengir, menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Eh iya, sorry. Makasih banyak ya, Heyra."

"Telat," balas Heyra jutek, tapi ada senyum tipis di sudut bibirnya.

Heyra lalu menjelaskan, "Tadi aku liat kamu diikutin Fando. Feeling aku udah gak enak, jadi aku ngikutin kamu deh." Ia mengeluarkan ponselnya, "Aku udah rekam kejadiannya. Besok mau aku laporin ke BK."

"Jadi kamu ngerekam doang, gak bantuin aku? Sengaja ya?" canda Vindra.

"Eh, kamu mau aku tolongin gak sih?" Heyra cemberut, tapi matanya berbinar geli.

"Iya, iya, bercanda doang. Jangan ngambek dong," Vindra tertawa kecil.

Heyra menoleh ke arah Vindra, melihat keadaan seragamnya yang penuh lumpur. Ia menghela napas panjang, lalu berkata dengan nada setengah bercanda, "Vin, kamu tuh kayak habis main gulat sama kerbau di sawah. Gimana sih?"

Vindra tertawa kecil mendengar perkataan Heyra. "Yah, mau gimana lagi? Namanya juga dijatuhin. Untung aja gak ada kerbau beneran di sawahnya."

Heyra menggelengkan kepala, senyum tipis tersungging di bibirnya. "Yaudah, ayo cari tempat buat bersihin baju kamu. Masa mau pulang kayak gini?"

Setelah mengeluarkan semuanya buku-buku Vindra yang untungnya hanya setengahnya yang basah, dari tasnya lalu memindahkannya ke tas milik Heyra, mereka berdua bangkit. Namun tiba-tiba Vindra meringis karena lututnya terasa nyeri.

Heyra menyadarinya dan bertanya dengan nada khawatir, "Lututmu kenapa? Sakit ya?"

"Ah, gak apa-apa kok. Cuma lecet dikit," jawab Vindra, berusaha terlihat tegar.

Heyra memutar bola matanya. "Dasar cowok. Selalu aja sok kuat. Ayo, kubantu dorong sepedanya."

Mereka berjalan perlahan, Heyra mendorong sepeda Vindra sementara Vindra berjalan di sampingnya.

Angin sore berhembus lembut, membawa aroma khas pedesaan yang menenangkan. Di kejauhan, matahari mulai condong ke barat, menciptakan gradasi warna oranye dan merah muda di langit.

"Hey, Vin," panggil Heyra tiba-tiba, memecah keheningan. "Kenapa sih Fando dan gengnya selalu nyari masalah sama kamu?"

Vindra terdiam sejenak, matanya menerawang ke arah sawah yang terbentang luas. "Entahlah," jawabnya akhirnya. "Mungkin karena aku gak mau ikut geng mereka. Atau mungkin karena aku dapet ranking terus di kelas. Padahal aku gak pernah cari masalah sama mereka."

Heyra mengangguk pelan. "Iya, aku tahu. Kamu kan orangnya kalem banget. Tapi kadang justru itu yang bikin mereka tambah kesel kali ya?"

"Bisa jadi," Vindra mengangkat bahu. "Tapi mau gimana lagi? Masa iya aku harus berubah jadi orang lain cuma buat mereka?"

"Jangan!" seru Heyra cepat. "Jangan pernah berubah cuma karena orang lain. Kamu tuh udah baik apa adanya."

Vindra menoleh, sedikit terkejut mendengar kata-kata Heyra. Ia bisa melihat rona merah samar di pipi gadis itu. "Makasih, Heyra," ucapnya tulus.

Mereka berhenti di dekat sebuah pancuran air di pinggir jalan tepat di samping pematang sawah. "Nah, di sini aja kamu bersihin bajumu," kata Heyra. "Aku tunggu di sana ya," ia menunjuk ke arah pohon rindang tidak jauh dari situ.

Saat Vindra membersihkan seragam, tas, dan dirinya sendiri, pikirannya melayang ke kejadian hari ini. Dari kesialan dijahili Fando, hingga keberuntungan bertemu Heyra. Mungkin memang benar kata orang, di balik setiap kesulitan selalu ada hikmah yang tersembunyi.

"Udah beres?" tanya Heyra saat Vindra menghampirinya.

Vindra mengangguk. "Udah lumayan bersih. Makasih ya udah nunggu. Sama sebenernya agak dingin sih."

"Sama-sama, sorry juga aku gak ada baju buat cowok."

Heyra tersenyum. "Gak apa-apa, yang penting udah agak bersihan dikit. Yuk, pulang. Udah sore nih."

Mereka berjalan beriringan, kali ini Vindra yang mendorong sepedanya sendiri. Langit semakin gelap, udara juga semakin dingin hingga membuatnya sedikit menggigil. Tapi entah kenapa ia tak terlalu menghiraukan hal tersebut. Mungkin karena kehadiran Heyra di sampingnya, atau mungkin karena ia sadar masih ada orang yang peduli padanya sehingga ia merasa hangat.

"Oh iya, Vin," Heyra memecah keheningan lagi. "Besok ulangan PKn kan? Udah belajar?"

Vindra menepuk jidatnya. "Aduh, iya! Aku lupa gara-gara kejadian tadi. Belum belajar sama sekali lagi."

Heyra tertawa kecil. "Dasar. Yaudah, nanti malem aku video call ya. Kita belajar bareng aja."

Vindra menatap Heyra, terkejut sekaligus senang. "Beneran? Wah, makasih banyak, Heyra! Kamu emang penyelamat banget deh hari ini."

Heyra hanya tersenyum, matanya berbinar dalam cahaya senja yang semakin redup. "Itu gunanya temen kan? Saling bantu."

Mereka terus berjalan, ditemani gemerisik daun yang tertiup angin dan kicauan burung yang mulai pulang ke sarang. Meski hari ini penuh kejutan tak terduga, Vindra merasa bersyukur. Karena di tengah kesulitan, ia menemukan teman yang benar-benar peduli.

Mereka terus berjalan dalam diam yang nyaman. Lampu-lampu jalan mulai menyala satu per satu, menciptakan titik-titik cahaya yang membelah kegelapan.

"Hey," Vindra memecah keheningan, suaranya lembut seperti desir angin malam. "Makasih ya, udah nolongin aku hari ini."

Heyra menoleh, senyumnya mengembang seperti bunga yang mekar di pagi hari. "Sama-sama, Vin. Udah sewajarnya kan?"

Tiba-tiba, perut Vindra berbunyi keras, memecah atmosfer romantis yang baru saja tercipta. Wajahnya memerah, malu bukan main.

Heyra tertawa geli, suaranya bagai melodi di telinga Vindra. "Laper ya? Yuk mampir dulu, beli gorengan kek apa gitu."

"Boleh deh," Vindra nyengir, menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Tapi aku yang traktir ya. Anggep aja balas budi."

Mereka berbelok ke sebuah warung kecil di pinggir jalan. Aroma gorengan yang menggoda menggelitik hidung, membuat perut semakin keroncongan.

"Beli apa nih?" tanya Heyra, matanya menjelajahi etalase penuh gorengan yang menggiurkan.

Vindra berpikir sejenak. "Gimana kalo pisang goreng sama tahu isi? Terus minumnya... teh panas?"

"Wah, kita sehati nih," Heyra tertawa kecil. "Aku juga lagi pengen yang gitu-gituan."

Setelah membeli makanan, mereka duduk di bangku kayu di depan warung. Langit malam bertabur bintang menjadi atap mereka, sementara obrolan ringan mengalir bagai sungai yang tenang.

"Vin," Heyra memulai, sambil mengunyah pisang goreng. "Aku boleh nanya sesuatu gak?"

Vindra mengangguk, mulutnya penuh dengan tahu isi.

"Kamu... pernah gak sih, ngerasa capek? Maksud aku, capek selalu jadi anak baik-baik?"

Pertanyaan itu cukup menohok Vindra. Ia terdiam sejenak, matanya menerawang jauh ke cakrawala.

"Pernah sih," akhirnya ia menjawab, suaranya pelan namun tegas. "Kadang aku ngerasa kenapa aku harus selalu jadi anak baik, nurut sama aturan, padahal yang lain bisa bebas. Tapi..."

"Tapi?" Heyra mendekat, penasaran.

"Tapi aku sadar, ini pilihanku sendiri. Bukan karena orang tua atau siapapun, tapi karena aku pengen jadi versi terbaik dari diriku sendiri."

Heyra terdiam, mencerna kata-kata Vindra. Angin malam berhembus lembut, membawa aroma dedaunan masuk ke indra penciumannya.

"Kamu keren banget sih, Vin," Heyra akhirnya berkata, matanya berbinar kagum. "Aku jadi malu sama diriku sendiri."

Vindra menggeleng, "Jangan gitu, Hey. Kamu juga keren kok. Liat aja tadi, kamu berani nolongin aku dari Fando. Itu butuh keberanian yang gak semua orang punya."

Mereka saling pandang, tersenyum. Ada sesuatu yang tak terucap di antara mereka, sesuatu yang hangat dan menggetarkan hati.

Tiba-tiba, ponsel Vindra berdering nyaring, memecah momen itu. Nama "Mama" tertera di layar.

"Halo, Bu?" Vindra menjawab panggilan itu. "Iya, ini udah mau pulang kok. Tadi ada... urusan dikit. Oke, oke, bentar lagi nyampe."

Vindra menutup telepon, menatap Heyra dengan pandangan menyesal. "Sorry, Hey. Kayaknya aku harus pulang sekarang."

Heyra mengangguk paham. "It's okay, Vin. Aku juga udah harus balik. Nanti ortu aku khawatir."

Mereka bangkit, membereskan sisa makanan dan bersiap pulang. Langit malam kini dipenuhi bintang-bintang, seolah ikut merayakan persahabatan yang semakin dalam di antara mereka.

"Jadi," Vindra berkata saat mereka sampai di persimpangan jalan, "ntar malem jadi ya, belajar bareng?"

Heyra mengangguk mantap. "Jadi dong. Aku video call kamu ntar ya."

Mereka berpisah dengan lambaian tangan dan senyum yang tak lepas dari wajah. Vindra mengayuh sepedanya pulang, hatinya ringan seringan angin malam yang membelai wajahnya.

Hari ini memang penuh kejutan, tapi Vindra tahu, ini baru permulaan. Masih banyak halaman kehidupan yang belum ia baca, dan entah kenapa, ia merasa Heyra akan menjadi bagian penting dalam ceritanya.

Dengan senyum yang tak lepas dari bibirnya, Vindra mengayuh sepedanya lebih cepat. Besok adalah hari baru, dan ia tak sabar untuk menyambutnya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!