“Vindra….” Heyra menyebut nama Vindra dengan cukup panjang. Bibirnya ia manyunkan bersamaan dengan tatapan kesal yang tertuju pada Vindra
Vindra sudah merasakan hawa tak mengenakkan dari tatapan Heyra. Walaupun ia sudah memalingkan pandangannya, tatapan itu bagaikan jarum yang melesat menembus tubuhnya.
Karena merasa percuma saja memalingkan pandangan, ia dengan hati-hati kembali menatap Heyra yang sedang berlutut di hadapannya.
Setelah kedua pasang mata itu kembali bertemu, Heyra baru melanjutkan kalimatnya. “Kamu gak perlu minta maaf Vin, ini bukan salahmu. Lagian wajar juga kalau kamu kalah soalnya badan mereka kan besar-besar.”
Heyra berhenti sejenak, “Seharusnya aku yang bilang makasih ke kamu soalnya kamu dah bantuin aku.”
“Tapi kan uangmu tetep diambil sama mereka.”
“Uang gak penting, yang penting kamu udah baik sama aku, udah mau nolongin aku. Itu aja udah cukup.” Detik itu juga Vindra tertegun dengan ucapan yang baru saja keluar dari mulut Heyra.
Entah kenapa tiba-tiba bayangan ibunya muncul dihadapannya, menggantikan sosok Heyra yang sedang berlutut di depannya. Sejenak Heyra terlihat mirip sekali seperti ibunya. Bukan, bukan dari segi penampilan tapi dari segi perkataan.
Kalimat yang baru saja diucapkan Heyra mirip sekali dengan kalimat yang pernah diucapkan ibunya ketika ia tengah bersedih karena tidak berhasil dalam melakukan sesuatu, seperti memenangkan perlombaan atau mendapatkan nilai jelek yang jarang ia dapatkan saat ulangan.
“Hasil itu tidak penting, yang penting kamu udah berusaha.” Kurang lebih seperti itulah kalimat yang ibunya pernah ucapkan padanya.
Vindra merasakan kelegaan yang amat lega di dadanya yang secara otomatis mengembang senyum di wajahnya untuk mengekspresikan rasa bahagia sekaligus lega yang membludak dalam dirinya.
“Makasih ya,” ucapnya.
“Makasih buat apa?”
“Makasih aja soalnya kamu udah mau jadi temen aku.”
“Lah hubungannya sama yang tadi apa?”
“Ya… pokoknya makasih aja.”
Setelah perkelahian yang singkat namun menyakitkan, Vindra mengalami beberapa memar di tungkai kakinya sehingga ia tak bisa mengendarai sepedanya untuk pulang.
Maka dari itu untuk membantu Vindra, Heyra menelepon bibi Sumi yang masih berada di rumahnya untuk menjemput mereka ke sekolah menggunakan motor.
Rencananya, Vindra yang akan membonceng dengan Bi Sumi di motor sedangkan dirinya yang akan membawa sepeda Vindra.
“Maaf ya jadinya ngerepotin,” ucap Vindra setelah Heyra menutup teleponnya. Bukannya bantuin malah ngerepotin, batin Vindra saat itu. Heyra lalu menoleh ke belakang dan tersenyum.
“Gak apa-apa kok Vin, aku malah seneng bantuin kamu.” Ada rasa tidak enakan sekaligus bahagia yang dirasakan Vindra saat ini. Ia jadi bingung harus berekspresi seperti apa sehingga yang hanya bisa ia lakukan adalah tersenyum tak enakan kepada Heyra.
Setelah menutup teleponnya dengan Heyra, Bi Sumi tanpa ba-bi-bu lagi langsung bersiap-siap dan melesat pergi ke sekolah untuk menjemput mereka berdua.
“Bi Sumi bentar lagi otw ke sini, kamu tunggu bentar ya.” Bentar yang dimaksud Heyra ternyata memang hanya 10 menit.
Setelah mengonfirmasi kalau Bi Sumi sudah berada di halaman depan sekolah, Heyra membantu memapah Vindra berjalan menuju halaman depan.
Tak ada orang yang mereka temui selama perjalanan bahkan guru-guru sekalipun, kecuali satpam sekolah yang kebetulan muncul di persimpangan koridor.
“Eh itu mukamu kenapa nak?” tanyanya setelah melihat wajah Vindra yang dihiasi lebam warna merah, identik sekali dengan keadaan orang yang habis berkelahi.
“Ceritanya panjang pak, nanti aku ceritain.” Pak satpam tersebut dengan sigap membantu mereka berdua dan sembari melangkah menuju halaman depan sekolah, Heyra menceritakan kronologi kejadiannya. Raut wajahnya tampak serius sedangkan Vindra hanya cengengesan ketika Heyra bercerita kepada pak satpam.
Setelah Heyra mengatakan, “Gitu ceritanya pak,” pak satpam tersebut lalu mengatakan akan melaporkan kejadian ini ke guru-guru. Heyra berterima kasih kepada pak satpam lalu membiarkan Bi Sumi dan Vindra pergi untuk pulang sedang dirinya pergi menuju parkiran untuk mengambil sepeda Vindra.
Malam itu setelah Heyra mempersiapkan buku-buku yang akan ia bawa ke sekolah keesokan harinya, ia ber-video call dengan Vindra. Mereka berbincang soal keadaan Vindra yang mungkin tidak akan masuk sekolah dua hingga tiga hari, kelanjutan kasus pemalakan yang akan berlanjut di ruang bk keesokan harinya, dan diselingi candaan-candaan receh yang mencairkan suasana.
Itu adalah pengalaman pertama Heyra mengalami pemalakan. Tapi untungnya kasus tersebut tak berbuntut panjang dan dapat diselesaikan dengan cepat. Ketiga anak kelas delapan yang menjadi pelaku pemalakan berhasil diketahui identitasnya dan diberi hukuman skors selama 3 hari dan catatan sikap buruk di rapor.
Orang tua Heyra juga sudah mendengar kabar pemalakan yang terjadi pada anaknya tepat malam hari setelah Heyra mengalaminya. Heyra langsung menceritakan kepada orang tuanya sesaat setelah kedua orang tuanya baru saja pulang bekerja.
Ibu Heyra yang mendengar peristiwa tak mengenakkan yang terjadi pada putri semata wayangnya langsung menelepon wali kelas Heyra. Wali kelas Heyra mengatakan juga sudah mendengar hal ini dari satpam sekolah dan mereka sudah mengetahui pelakunya melalui cctv yang terpasang di lorong dekat kelas 7E.
Ia juga menambahkan agar orang tua Heyra datang ke sekolah keesokan harinya untuk membahas soal pemalakan yang terjadi pada anaknya.
Keesokan hari pun tiba. Tepat saat bel istirahat berbunyi, Heyra dipanggil ke ruang BK oleh wali kelasnya. Heyra bagai anak bebek yang mengikuti induknya ketika ia terus mengikuti langkah wali kelasnya yang mengantarnya menuju ruang BK.
Sesampainya di depan pintu ruang BK, Heyra melihat sosok ibunya sedang berbincang bersama seorang ibu yang ia duga sebagai ibunya Vindra di salah satu kursi tamu yang ada di ruang lobi.
Heyra menghampiri ibunya lalu menyalami ibu Vindra yang bernama Budhe. Ibu lalu memperkenalkan putri semata wayangnya kepada Budhe lalu berterima kasih atas bantuan Vindra yang sudah melindungi putrinya.
Sesaat kemudian mereka dipersilakan masuk oleh guru BK yang mengampu kelas Heyra. Di dalam sudah nampak tiga siswa yang Heyra kenali sebagai orang yang telah memalaknya tempo hari.
Wajahnya tertunduk malu dan kalut akan rasa khawatir. Heyra, ibunya dan budhe duduk di sebuah sofa panjang bermotif bunga dan berhadapan langsung dengan para pelaku pemalakan. Sementara sebagai penengah, wali kelas Heyra dan guru BK duduk di sisi yang berbeda.
Dalam bayangan Heyra, dalam beberapa detik lagi ibunya akan berubah menjadi monster mengerikan yang akan mengamuk, mengeluarkan amarahnya bagaikan gunung meletus lalu mengutuk ketiga siswa yang sudah memalaknya kemarin menjadi batu.
Namun dugaannya salah besar ketika ibunya mengatakan dengan tenang dan penuh wibawa kepada wali kelas dan guru BK untuk memberikan hukuman yang setimpal dan pembelajaran akhlak kepada ketiga siswa tersebut.
Selanjutnya Ibu Heyra menyuruh mereka bertiga meminta maaf kepada Heyra dan ibu Vindra karena sudah menyakiti anaknya hingga tidak masuk sekolah. Budhe menambahkan kalau mereka bertiga juga perlu minta maaf kepada anaknya karena yang menjadi korban di sini adalah Vindra, anaknya.
Kejadian pemalakan itu mungkin akan menjadi kenangan yang buruk bagi Heyra dan Vindra, tapi berkat kejadian tersebut, orang tua mereka jadi saling mengenal dan semakin dekat, sehingga semakin memudahkan mereka untuk sering bertemu satu sama lain.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 51 Episodes
Comments
cocondazo
Semoga thor selalu diberikan inspirasi untuk membuat cerita-cerita yang luar biasa 👌
2023-07-21
1
Gato Piola
Ngerti banget, bro!
2023-07-21
1