Bullying

Tanpa pikir panjang lagi, Vindra berjalan masuk ke kelas 7E dengan langkah yang dihentak-hentakkan. Setelahnya, ia segera memukul wajah salah satu laki-laki yang memalak Heyra hingga terpental beberapa langkah.

“Apa maksud lu malak-malak anak perempuan hah?! berani kok sama perempuan!” Vindra berteriak kepada ketiga anak laki-laki itu dengan nada dan ekspresi penuh amarah.

Sebelum melewati kelas 7E, ia mendengar ada sayup-sayup suara anak laki-laki yang memaksa meminta sejumlah uang kepada seseorang dan mengancam akan memukul jika tidak memberikan apa yang ia mau.

Pemalakan, itulah yang dipirkirkan Vindra. Tapi saat itu ia tidak tahu kalau yang menjadi korban pemalakan adalah Heyra, temannya sendiri.

Jadi setelah ia mengintip ke kelas 7E yang ia duga sebagai sumber suara tersebut dan melihat Heyra dipojokkan di dinding dengan tiga orang laki-laki tengah memaksanya memberikan uang, ia langsung naik pitam dan menghajar para pelaku tersebut.

“Eh maksud lu apa mukul gua tiba-tiba?!” ucapnya sembari mengelus pipinya yang baru saja menjadi tempat pendaratan pukulan Vindra.

“Lu barusan malak anak perempuan! Cepet pergi atau gua pukul lagi!” ancam Vindra. Tangannya terkepal sempurna. Namun tanpa diduga ketiga laki-laki tersebut malah pasang badan di depan Vindra dengan percaya diri.

“Kamu kira kamu kelas berapa hah? Gua kelas 8, jadi suka-suka kitalah mau diapain adik kelas kita,” ucapnya.

Vindra lalu membalas, “Harusnya kakak kelas itu memberikan contoh yang ba-”

PLAK! Satu tamparan berhasil mendarat di pipi Vindra, meninggalkan jejak kemerahan di sana. Heyra yang melihatnya hanya bisa menutup mulutnya sembari memekik tertahan, “Vindra!”

Heyra berusaha menolong Vindra dari situasi yang semakin memanas namun malah berakhir di dorong oleh kakak kelas yang memalaknya hingga ia menabrak kursi di dekatnya.

Vindra semakin marah ketika Heyra mengaduh kesakitan ketika punggungnya tak sengaja mengenai bagian pinggiran kursi.

“Dibilangin jangan kasarin anak perempuan!” Perkelahian pun menjadi tak terhindarkan sekarang, namun malah berakhir begitu cepat dengan telak dimenangkan oleh ketiga kakak kelas tersebut.

Tak butuh sampai lima menit bagi Vindra untuk jatuh tersungkur ke lantai dengan kepala yang benjol dan hidung yang mengeluarkan darah.

Tentu saja Vindra kalah telak karena lawannya sendiri adalah tiga kakak kelas yang badannya jauh lebih besar dari Vindra itu sendiri.

“Masih mau lawan atau udahan?” tanya kakak kelas itu lengkap dengan senyum penuh kesombongannya.

Vindra tak menjawab tapi masih berusaha untuk berdiri. Ia merasakan sakit disekujur tubuhnya. Tangannya nyeri karena digunakan untuk menangkis, perutnya nyut-nyutan setelah sempat ditendang, dan kepalanya pusing setelah ditabrakkan ke meja.

Heyra berusaha menolong namun malah ditahan oleh salah satu rekan mereka di dinding.

Karena sudah tidak tahan melihat Vindra yang babak belur, ia berteriak akan memberikan semua uangnya asalkan mereka melepaskan Vindra, “Hentikan!” teriaknya.

Semua mata seketika tertuju pada Heyra. “Ini uangnya! Tapi lepaskan dulu Vindra!” Heyra menyodorkan beberapa lembar uang dengan mata yang berkaca-kaca.

Kakak kelas tersebut lalu menghampiri Heyra dan mengambil uang tersebut dari tangan Heyra dengan kasar. “Kalau dari tadi ngasihnya kan gampang.”

Setelah menghitung jumlah uangnya dan memasukkannya ke saku celana, ketiga kakak kelas tersebut lalu pergi begitu saja dari kelas 7E membiarkan Heyra dan Vindra yang terkapar di lantai tak berdaya.

Heyra mengelap air mata yang menumpuk di kelopak matanya sebelum menghampiri Vindra untuk membantunya duduk di salah satu kursi di dekatnya.

“Kamu gak apa-apa Vindra?” tanya Heyra khawatir dengan suaranya bergetar sembari merangkul Vindra untuk berdiri.

“Aku gak apa-apa, kamu sendiri gimana?” tanya balik Vindra, terlihat sekali wajahnya yang berantakan dan hidungnya yang sedikit demi sedikit mengalirkan darah segar.

“Aku gak apa-apa.” Setelah membantu Vindra duduk di atas kursi, Heyra segera mengambil kotak tisu di depan meja guru untuk membersihkan luka-luka dan darah yang keluar dari hidung Vindra. Heyra membersihkannya dengan begitu telaten dan teliti.

“Mau aku bantu ke UKS?” tanya Heyra disaat-saat ia sedang membersihkan darah mimisan Vindra.

“Gak usah gak apa-apa, lagian di UKS udah gak ada siapa-siapa,” balas Vindra.

“Mending ke UKS aja sekarang, biar aku bisa obatin lukamu pake obat merah.”

“Tapi emang UKS nya gak dikunci?”

“Enggak.” “Kok tau?”

“Ya karena aku yang bawa kuncinya Vindra….” Heyra memayunkan bibirnya menatap Vindra kesal.

Vindra yang melihatnya hanya bisa tersenyum kikuk. “A-aku baru tau kalau kamu PMR Ra.” Vindra memilih untuk tak menatap wajah Heyra di depannya.

“Yaudah mau anterin ke UKS gak?” tanya Heyra sekali lagi.

Vindra lalu menjawab, “Yaudah deh gak apa-apa, makasih ya.”

Vindra masih bisa tersenyum kepada Heyra walaupun dalam keadaannya yang seperti itu. Dan senyumannya berhasil menghangatkan hati Heyra sehingga secara otomatis Heyra membalas senyuman Vindra dengan senyuman pula.

“Iya sama-sama.” Heyra lalu membantu Vindra berdiri lalu memapahnya menuju UKS yang letakny berada tepat di sebelah perpustakaan sekolah dan berhadapan langsung dengan lapangan basket dan taman sekolah.

Sesampainya mereka di depan pintu UKS yang masih terkunci rapat, Heyra merogoh saku roknya mengambil kunci pintu ruang UKS lalu membuka kunci tersebut dan segera membawa Vindra ke dalam.

Ia membantu Vindra duduk di pinggiran ranjang. Setelahnya ia bergegas membuka lemari penyimpanan untuk mengambil plester dan obat merah dan segera mengobati luka-luka yang dialami Vindra.

“Ehm… Ra,” panggil Vindra dikala Heyra sibuk menempelkan plester di luka-lukanya.

“Ya?” balas Heyra dengan tatapan masih terfokus pada tangannya yang sibuk memasang plester.

“Tadi gimana sih ceritanya kamu kok bisa dipalak?” tanya Vindra penasaran. Sudah sejak tadi ia memendam pertanyaan itu untuk ia ajukan di suasana yang tepat.

“Oh…” tangan kecilnya terdiam sejenak namun kembali bekerja mengoleskan obat merah pada luka di kaki Vindra.

Sembari telaten mengobati luka Vindra, Heyra bercerita, “Tadi kayak biasa sebelum pulang sekolah, aku pergi dulu ke kantin ingin jajan. Tapi selama aku di kantin, aku emang udah ngerasa hawa-hawa kayak ditatap dari jauh gitu makanya aku cepet-cepet pergi dari kantin biar bisa cepet pulang. Tapi pas itu aku keinget kalo botol minumku ketinggalan di kelas jadinya aku ambil dulu botol minumnya. Tapi pas aku balik badan, tiba-tiba udah ada mereka di depan kelasku.” Heyra menceritakannya dengan sedikit nada sendu dan pandangan yang sedikit ditundukkan. Vindra merasa tak tega ketika melihat ekspresi itu terbentuk di wajah Heyra.

Heyra yang bertubuh mungil, pemalu dan selalu bersikap baik terhadap orang di sekitarnya tiba-tiba dipalak oleh berandalan kakak kelas yang tubuhnya besar-besar dan berperilaku buruk. Entah kesalahan apa yang ia perbuat sehingga Heyra yang baik itu diperlakukan buruk oleh orang-orang yang buruk juga.

“Maaf.” Ucapan tersebut berhasil membuat pergerakan Heyra terhenti sesaat. Penasaran kenapa Vindra tiba-tiba meminta maaf kepadanya, Heyra lalu bertanya, “Kenapa minta maaf?”

“Maaf tadi aku gak cukup kuat buat lawan mereka, jadinya sekarang uangmu diambil.” Ada rasa penyesalan di hati Vindra. Kenapa ia tak cukup kuat untuk melawan ketiga kakak kelas tersebut sampai setidaknya ia dan Heyra bisa melarikan diri.

Tapi sebelum itu bisa terjadi, ia malah sudah jatuh tersungkur di lantai dengan luka dan memar di sekujur tubuhnya hanya dalam hitungan menit.

Terpopuler

Comments

Syaoran

Syaoran

Aduh, abis baca ini pengen kencan sama tokoh di cerita deh. 😂😂

2023-07-18

1

Cata_UchihaUzumaki

Cata_UchihaUzumaki

Semangat nulis thor, kamu bisa membawa reader ke dunia yang kamu ciptakan!

2023-07-18

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!