Vindra

Aroma rempah-rempah dan masakan tradisional menyambut Vindra begitu ia melangkahkan kaki ke dalam rumah. Di dapur belakang, kesibukan sudah dimulai sejak subuh. Dentingan alat masak bersahutan, menciptakan irama yang familiar di telinga Vindra.

"Nak, tolong ambilkan bawang merah dan bawang putih di keranjang sana," suara Ibu terdengar dari balik kepulan asap.

Vindra, masih mengenakan sarung dan peci sehabis salat Subuh berjamaah, bergegas menuju keranjang plastik besar di atas meja keramik. "Berapa banyak, Bu?" tanyanya.

"Bawang merahnya 30 siung, bawang putihnya 20 siung," jawab Ibu. "Jangan lupa dihitung dulu, ya."

Jemari Vindra dengan cekatan memilah dan menghitung bawang satu per satu. "Oh iya, cabainya juga 20 biji, ya, Nak," tambah Ibu lagi.

Ibu Vindra, seorang penjaja makanan di kantin SMA, selalu memulai harinya bahkan sebelum matahari mengintip di ufuk timur. Sejak ayah Vindra berpulang saat ia masih kelas 4 SD, Ibu harus menghidupi keluarga kecil mereka seorang diri. Namun tak pernah sekalipun ia mengeluh. Baginya, diberi pekerjaan saja sudah sebuah anugerah yang patut disyukuri.

Satu hal yang selalu membuat hati Ibu Vindra berbunga adalah putra semata wayangnya. Setiap pagi, selepas salat Subuh, Vindra selalu setia membantunya menyiapkan makanan untuk jualan di kantin sekolah. Meski hidup dalam keterbatasan, Vindra tak pernah mengeluh. Bagi Ibu, kebaikan hati Vindra adalah anugerah terindah yang pernah Tuhan berikan, memberinya kekuatan untuk terus berjuang.

Namun, di balik senyumnya yang hangat, ada sesuatu yang kerap mengganggu pikiran Ibu Vindra. Kenangan masa kecilnya, saat ia sering diejek karena ayahnya bekerja sebagai pengumpul kayu bakar, kembali menghantuinya. Kini, ia khawatir Vindra mungkin mengalami hal serupa di sekolah.

"Nak, kamu senang kan di sekolah?" tanya Ibu suatu hari, mencoba memancing kejujuran Vindra.

"Senang kok, Bu," jawab Vindra singkat, senyum tipis tersungging di bibirnya.

"Gak ada yang nakal sama kamu?" Ibu mencoba lagi.

"Enggak ada yang nakal, kok," Vindra meyakinkan.

Ibu tak yakin apakah anaknya berkata jujur atau hanya berusaha menenangkan hatinya. Ia hanya bisa berharap Vindra selalu diberi kemudahan dalam hidup.

Penghasilan sebagai penjaja makanan di kantin sekolah memang pas-pasan. Ibu Vindra tak bisa mematok harga tinggi, takut jika tak ada siswa yang mau beli. Apalagi, ada lima kantin lain yang menjadi pesaingnya.

Selepas jam 5 sore, ketika sekolah sudah lengang, Ibu Vindra kembali ke rumah dan membuka warung makan kecil di halaman depan. Penghasilannya dari warung ini juga tak seberapa, mengingat rumah mereka berada di area permukiman yang jarang dilalui kendaraan.

Pelanggan warung Ibu Vindra kebanyakan warga sekitar, sesekali juga siswa yang ingin jajan, atau pengendara yang ingin rehat sejenak. Warungnya biasa buka sampai jam 9 malam, meski terkadang tutup lebih awal jika suasana sudah terlalu sepi.

Karena kesibukannya yang padat, Ibu Vindra hanya bisa berbelanja di akhir pekan. Setiap Sabtu pagi, saat sekolah libur, ia menyempatkan diri untuk pergi ke pasar. Kadang-kadang, Vindra menemaninya. Tak pernah ada keluhan dari Vindra, ia selalu senang hati menerima ajakan ibunya untuk berbelanja bersama.

Bagi Vindra, menemani Ibunya ke pasar adalah liburan tersendiri. Suasana pasar yang ramai dan penuh hiruk pikuk memberinya hiburan, menjadi pelarian singkat dari rutinitas dan tumpukan tugas sekolah yang seolah tak ada habisnya.

Pagi itu, Vindra sudah rapi dengan seragam putih birunya, duduk di teras sambil mengikat tali sepatu. Sepeda ontel kesayangannya terparkir rapi di halaman depan.

"Vindra, kamu jangan lupa bawa bekal ya. Hari ini Ibu masak nasi goreng kesukaanmu," kata Ibu sambil tersenyum.

"Iya, Bu. Nasi goreng Ibu memang paling enak," jawab Vindra, memberi kecupan singkat di pipi ibunya sebelum mengayuh sepedanya pergi ke sekolah.

Seiring kayuhannya meninggalkan rumah, Vindra merasakan kebahagiaan yang tumbuh dari kesederhanaan hidup mereka. Warung kecil itu mungkin tampak sederhana, tapi di sanalah cinta dan harapan tumbuh. Setiap pagi yang dimulai dengan aroma rempah-rempah dan masakan Ibu, setiap akhir pekan yang dihabiskan berbelanja bersama di pasar, adalah momen yang membangun kenangan indah dalam hidupnya.

Di kantin, Ibu Vindra tak hanya melayani para siswa, tapi juga mengobrol dengan mereka layaknya teman. Dan Vindra, selalu siap membantu. Saat pulang sekolah, jika tak ada tugas yang menumpuk, ia membantu melayani pelanggan atau mengantarkan pesanan di warung ibunya. Keceriaan dan keramahan Vindra menjadi nilai tambah bagi warung itu.

Hari itu terasa biasa saja di sekolah, semua berjalan normal. Namun saat jam istirahat kedua, ketika Vindra, Bima, dan Umar duduk di meja kantin untuk makan siang, terdengar suara ejekan dari meja sebelah.

"Bu Yanti hobinya jajan terus."

"Karena apa?"

"Karena ibuku seorang ibu kantin, hahaha."

Bima menggerutu, "Mereka lagi, ada masalah apa sih sama kita?"

Vindra diam saja, sibuk menyantap makanannya. Umar memperhatikan gerak-gerik Vindra sebelum berbicara, "Cara terbaik buat ngadepin pembully ya gak usah peduliin mereka. Nanti juga mereka bosen sendiri."

Vindra mengangguk setuju, mulutnya penuh dengan untaian mie goreng. "Percuma ngelawan mereka, itu yang mereka pengen."

"Tapi kalau kita diam aja, mereka gak bakal kapok!" Bima berkata kesal, bahkan menabok meja di depannya.

"Hey, santai Bim! Kalem." Vindra mencoba menenangkan. "Tujuan mereka itu cari perhatian, mereka pengen reaksi dari kita."

"Kataku sih sabar aja, bikin mereka iri sama pencapaian kita, menyerang tanpa menyentuh," Umar berujar bijak.

Ibu Vindra tak pernah tahu bahwa profesinya sebagai ibu kantin menjadi alasan Vindra dibully di sekolahnya. Vindra memilih menyembunyikan hal tersebut, ia tak ingin menambah beban pikiran ibunya yang sudah lelah bekerja dari Subuh hingga malam hari. Vindra yakin bisa mengatasi masalah itu sendiri, atau mungkin dengan bantuan Umar dan Bima.

Meski hidup dalam keterbatasan, Vindra selalu bersyukur. Ia tahu, kebersamaan dengan Ibunya adalah harta yang paling berharga. Dan mungkin suatu hari nanti, kerja keras dan kesabaran mereka akan membuahkan mulai merayap, mewarnai langit dengan semburat jingga. Bel pulang sekolah berdentang nyaring, memecah keheningan kelas. Vindra bergegas memasukkan buku-bukunya ke dalam tas, jemarinya menari lincah di antara alat tulis yang berserakan.

"Vin, buruan! Aku udah pengen banget nyapa bantal," seru Umar sambil menguap lebar.

Bima menimpali, "Sama, bro. Aku juga pengen istirahat. Ntar malem baru deh belajar."

Kata 'belajar' membuat Vindra tersentak. Besok ulangan PKn, dan sebagian besar materinya hafalan. Ia mengeluh dalam hati, "Mampus aku. Yaudahlah, bismillah aja deh."

Mereka bertiga berjalan beriringan, melewati koridor sekolah yang mulai lengang lalu pergi melalui gerbang sekolah setelah mengambil sepeda mereka. Di persimpangan jalan, Vindra berpisah dengan Bima dan Umar. Ia mengayuh sepedanya perlahan, membiarkan angin sore membelai wajahnya yang lelah.

Hamparan sawah di kanan-kiri jalan menghampar bagai permadani hijau. Vindra membayangkan betapa nikmatnya menikmati pemandangan ini dengan secangkir kopi hangat. Ah, andai saja...

Lamunannya buyar oleh suara decitan sepeda dari arah belakang. "Halo, kita ketemu lagi," suara Fando terdengar mencemooh. Belum sempat ia menoleh, tubuhnya tiba-tiba terdorong keras.

"Eh!" Rangga, salah satu anak buah Fando, mendorong sepeda Vindra. Dalam sekejap, Vindra terjungkal ke aliran air sawah bersama dengan sepedanya. Tawa mengejek membahana di udara.

Vindra berusaha bangkit, lututnya berdenyut nyeri. Ia meringis, menatap seragamnya yang kini berlumur lumpur. "Sialan," desisnya pelan.

"Rasain tuh!" Fando berseru puas. "Makanya jadi anak jangan sombong amat!"

Setelah puas menertawakan, mereka berlalu, meninggalkan Vindra yang masih terduduk di sawah.

Ia memeriksa sepedanya, bersyukur benda itu tidak rusak. Namun yang menjadi masalah adalah bagaimana caranya ia naik ke jalan lagi?

"Vindra! Are you okay?"

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!