Pacaran?

Setelah Vindra sudah benar-benar menghilang di belokan jalan, Heyra menutup gerbang pintu masuk rumahnya lalu berjalan masuk ke dalam rumah. Di dalam rumah, ia segera disambut oleh Bibi Sumi, pembantu di rumahnya

“Eh dek Heyra dah pulang. Tadi bibi sampai panik lho, udah mau maghrib tapi dek Heyra gak pulang-pulang. Udah sempet juga siap siap buat jemput dek Heyra di sekolah siapa tau dek Heyra masih di sekolah,” ucap Bibi Sumi sembari membantu Heyra mengeringkan rambutnya yang basah dengan handuk.

“Iya maaf Bi, tadi ada urusan mendadak di sekolah,” balas Heyra, ia berikan kembali handuknya kepada Bibi Sumi lalu segera pergi ke kamarnya untuk bersiap-siap mandi.

Selama Heyra mandi, di dapur Bibi Sumi menyeduh segelas susu coklat hangat untuk Heyra. Lima belas menit kemudian, Heyra selesai mandi. Kebayanya yang basah ia taruh di keranjang pakaian kotor.

Di kamarnya setelah ia menyisir rambut, Heyra segera mengeluarkan isi tasnya untuk menyelamatkan buku-bukunya dari tasnya yang basah. Dan untung saja, tak semua bukunya basah. Hanya sebagian kecil dan itu hanya dibagian ujung buku-bukunya saja.

“Hah… Syukurlah,” ucapnya menghela napas lega.

Setelah menyelesaikan kegiatannya di kamar, Heyra pergi menuju ruang tengah untuk rebahan di sofa sembari menonton televisi dan meminum coklat hangat yang sudah dibuatkan Bibi Sumi.

Di sana ia dan Bibi Sumi mengobrol kecil-kecil tentang apa yang ia lakukan di sekolah sampai pulang terlambat dan bagaimana ia bertemu dengan Vindra, orang yang sudah berbaik hati mengantarnya pulang di tengah hujan deras yang mengguyur kota.

Adzan maghrib mulai berkumandang saat sebuah mobil Xpander hitam berhenti tepat di depan gerbang rumahnya. Seseorang turun dari dalam mobil lalu membuka pintu gerbang tersebut.

Heyra berlari ke teras rumah ketika mendengar suara mesin mobil mulai memasuki halaman rumahnya. Di belakangnya juga tampak Bibi Sumi yang mengikuti langkah Heyra menuju teras.

Setelah mobil tersebut terparkir rapi di garasi. Heyra langsung disambut oleh pelukan bundanya yang baru saja pulang bekerja bersama ayahnya.

“Heyra anak kesayangan bunda… gimana tadi sekolahnya? Seneng?” tanya bunda. Heyra lalu membalas memeluk.

“Seneng bun,” ucap Heyra tersenyum. Setelah sekian detik saling berpelukan, dilepaskannya pelukan tersebut secara lembut oleh Heyra. Ia tahu bunda pasti kelelahan setelah seharian bekerja dan ingin segera beristirahat di dalam rumah.

“Oh ya bu, itu makan malamnya sudah saya siapkan di meja makan ya bu,” ucap Bi Sumi sedetik setelah pasangan ibu-anak itu melepaskan pelukan mereka.

“Makasih ya Bi Sum, sekarang kalau bibi mau pulang boleh,” ucap bunda lembut, tak lupa juga dengan senyumnya yang masih sanggup mengembang walaupun raut di wajahnya sudah mengisyaratkan akan kelelahan.

“Makasih ya bu, kalau begitu saya pulang dulu ya.” Bibi Sumi lalu berpamitan dengan bunda, Heyra, lalu ayah yang baru saja menutup pintu garasi.

Sekilas wajah bunda dan Heyra terlihat sama. Rambut sepunggung yang sedikit bergelombang, lesung pipi yang sama-sama terbentuk saat mereka tersenyum, warna mata yang berwarna cokelat gelap, ketebalan alis, lalu bibir yang berbentuk busur.

Jika pasangan ibu-anak itu berjalan berdampingan dengan riasan dan pakaian yang sama, maka orang-orang akan mengatakan sedang melihat Heyra versi dewasa di masa depan atau kloningan bunda versi remaja dulu.

Heyra duduk di sofa ruang tengah sembari menonton tv dan scroll-scroll beranda instagram menunggu bunda dan ayahnya berganti pakaian lalu membersihkan diri masing-masing sebelum makan malam bersama.

Sebelumnya bunda sudah menyuruh Heyra untuk makan malam duluan tapi ia menolak dengan alasan kalau makan malam bersama itu lebih enak. Ia rela membiarkan perutnya keroncongan hanya agar bisa merasakan keluarga kecilnya makan malam bersama.

Di ruang makan, Heyra bercerita soal kejadian tadi sore selepas ekskul menari di sekolah. Dari bagaimana kronologi temannya bisa kecelakaan dan bagaimana ia bisa mendapatkan teman baru yang bernama Vindra yang ternyata rumahnya tidak jauh dari rumahnya sendiri.

Hari di mana ia dan Vindra pertama kali bertemu mungkin akan menjadi hari terindah yang pernah Heyra alami. Karena setelahnya, untuk pertama kalinya Heyra memiliki teman laki-laki yang begitu dekat dengannya. Bukan hanya sekedar teman, tapi mungkin lebih ke lingkaran sahabat yang tidak sembarang orang bisa masuk ke dalam lingkaran itu.

Hari-hari di sekolahnya, kalau ia tidak jajan ke kantin bersama teman-temannya, ia akan jajan ditemani Vindra. Mungkin jika orang lain melihatnya, mereka berdua seperti sepasang kekasih yang baru saja jadian.

Tapi apa itu cinta saat masih kelas tujuh SMP? Bagi Heyra, ia hanya menganggap Vindra sebagai salah satu sahabat dekatnya. Ia tidak peduli dengan cerita cinta monyet teman-temannya atau omongan orang lain tentang dirinya yang berpacaran dengan Vindra.

Baginya omongan orang hanyalah angin lalu saja, bukan urusan dirinya. Dan Vindra sepertinya sependapat juga dengannya.

Ia tetap menyapanya, membantunya mengerjakan pr, membantunya memahami rumus matematika, dan menjadi pendengar yang baik disaat ia mencurhati isi hatinya tentang masalah-masalahnya di saat Vindra sendiri tahu desas-desus tentang dirinya dan Heyra yang berpacaran.

-

Malam itu Heyra bervideo call dengan Vindra. Ia meminta Vindra untuk membantunya mengerjakan pr matematika yang menurutnya sudah diluar akal pemahamannya dan hanya bisa dikerjakan oleh Stephen Hawking, Nikola Tesla dan para manusia yang diyakini memiliki hubungan darah dengan mereka.

“Sumpah deh, Bu Tutik kalau jelasin pake bahasa apa coba sampe aku sendiri gak mudeng dia ngomong apa. Pake bahasa para dewa kali ya?” curhat Heyra tentang betapa sulitnya ia memahami apa yang dijelaskan oleh guru matematikanya di sekolah.

“Hahaha.” Vindra tertawa pelan di seberang sana.

“Tapi aku mudeng kok sama apa yang dijelasin Bu Tutik. Masa’ kamu gak mudeng? Padahal kita sama-sama manusia lho. Ya… walaupun sebenarnya Bu Tutik kalau jelasin kadang suka agak galak plus jutek sih,” ucapnya.

“Ya kamu kan emang manusia keturunan dewa jadi bisa mudeng sama apa yang dijelasin Bu Tutik. Kalau aku kan manusia keturunan monyet jadi gak bisa dibanding-bandingin sama kamu yang keturunan dewa.” ucapnya lagi dengan sedikit berteriak.

Vindra lalu menghela napas, bingung harus menjawab apa lagi. “Iyadeh, kamu keturunan monyet dan aku keturunan dewa. Sekarang masih mau aku bantu gak pr nya?” Vindra kembali menggiring pembicaraan ke topik awal, yaitu membahas pr matematika Heyra.

Heyra langsung terdiam setelahnya, ia benar-benar lupa soal pr nya dan malah membahas guru matematikanya yang menurutnya menyebalkan. “Eh iya iya, mau.” Heyra kembali membuka buku coret-coretannya dan buku matematikanya untuk mencatat semua penjelasan Vindra.

Sebelum ia melakukan video call dengan Vindra, Heyra terlebih dahulu mengirimkan foto soal matematikanya kepada Vindra dan Vindra langsung menyetujuinya untuk membantu mengerjakannya bersama-sama.

Kata Vindra, “Yang penting kamu tau caranya, kalau kamu tau caranya, ngerjainnya pasti gampang.”

“Lalu kamu tau caranya dari mana?”

“Ya belajarlah!”

Ketika Heyra tengah menulis step by step cara pengerjaan soal matematikanya, ia tiba-tiba meletakkan bolpoinnya-berhenti menulis lalu menidurkan kepalanya di atas meja dengan wajah yang tepat berada di depan layar ponselnya. Di seberang sana, Vindra terlihat tengah asyik membaca sebuah komik di meja belajarnya.

“Vin,” panggil Heyra. Vindra lalu mendongakkan kepalanya ke depan.

“Ya kenapa? Udah selesai?” tanya Vindra.

Ada jeda beberapa detik sebelum Heyra membalas.

“Itu… kamu tau kan akhir-akhir ini,” pandangan mata Heyra mengarah pada buku matematikanya, bibirnya cemberut dan tangannya sibuk mencoret-coret hal yang tidak jelas di buku coret-coretnya.

“Akhir-akhir ini apa?” tanya Vindra bingung. Ia letakkan komiknya di meja belajar, memilih fokus pada ucapan Heyra selanjutnya.

“Itu… kamu tau kan kalo akhir-akhir ini temen-temen kita bilang kalo kita itu lagi… pacaran.” Heyra mengucapkan kata terakhir dengan sangat lirih namun masih dapat ditangkap oleh pendengaran Vindra.

“Oh yang itu,” Vindra hanya berujar pelan. Suasana kembali hening.

“Kamu- sebenarnya aku gak keberatan dengan ucapan temen-temen kita, cuma aku mau nanya. Kamu… keberatan gak dengan itu? Kalau misalnya kamu merasa keberatan aku mau kok kita jauha-”

“Gak kok aku gak keberatan, itu kan cuma omongan orang, gak usah didengerin, lagian kita emang gak pacaran, ngapain juga harus jauhan buat nyangkal omongan mereka.”

Heyra tertegun, ia cukup terkejut ketika mengetahui kalau ia dan Vindra ternyata sepemikiran. Ya, omongan orang bukanlah urusan mereka dan mereka hanyalah sahabat, itu saja.

“Biarin aja mereka ngomong kayak gitu, nanti lama-lama mereka juga pada bosen lalu lupa kalau pernah ngegosipin kita. Tapi…”

Tapi?

“Tapi… kalo kamu mau pacaran sama aku juga boleh kok.” Vindra memasang senyum di wajahnya dengan niat mengerjai Heyra.

“Eh! Eh! Maksud lu apa heh!” Heyra hendak memukul Vindra, namun mengingat mereka sedang video call dan takut ponselnya yang malah menjadi korban pukulannya, ia lebih memilih mematikan video call nya. Ada semburat merah tipis di pipinya sekarang.

Tak lama setelahnya, notifikasi pesan Whatsapp dari Vindra muncul. “Kok dimatiinnn, udah gak butuh bantuan buat ngerjain soalnya yaaa???” ketiknya.

Heyra dengan segera membalas pesan tersebut. “Tapi kamu jangan bercanda kayak gitu dong! Aku gak suka! 😤.”

“Iyadeh 😁, tapi kamu jangan marah ya, oke 👍.”

Vindra menekan lagi logo kamera dan panggilan video call nya segera diterima oleh Heyra. Tepat ketika wajah Heyra muncul di layar ponselnya, Heyra langsung berteriak, “Jangan gitu lagi!” membuat Vindra harus mengecilkan volume ponselnya untuk meredam suara Heyra yang melengking.

“Iya iya ah.”

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!