"Jantung mbak dag..dig..dug... nih." Annisa memegang dadanya. Jemari tangannya merasakan degupan irama jantungnya yang tidak beraturan.
"Tenang saja mbak... Apapun hasilnya. Kita harus terima. Tapi, El yakin nih... Mbak itu pasti hamil." Mikaela memberikan semangat pada Annisa yang terlihat gugup.
Lima belas menit kemudian, keduanya keluar. Raut wajah Annisa terlihat tidak baik-baik saja, begitu juga dengan Mikaela.
"Maafkan El, Mbak ."
"Kenapa minta maaf? Ini bukan kesalahanmu El....," kata Annisa.
"Aku yang mengajak mbak periksa ke rumah sakit," kata Mikaela.
"Mbak tadi sudah mengatakan, bahwa mbak tidak hamil. Tapi aku tetap ngeyel yang mengatakan bahwa mbak hamil ."
"Sudahlah... Tidak ada yang salah. Mbak tidak kecewa koq. Mungkin Allah merasa bahwa mbak belum pantas untuk mengurus bayi. Mbak harus belajar untuk ikhlas. Jangan menyerah dan harus lebih banyak berdoa dan berbuat baik." tutur Annisa.
"Ini baru Mbak Nisa yang pantang menyerah. Lagipula usia pernikahan mbak juga baru seumur jagung, jangan di jadikan beban pikiran," kata Mikaela.
"Melihat teman-teman yang menikah, dan mereka banyak yang langsung hamil. Mbak merasa badan mbak ini ada yang salah. Apa Mbak man...."
"Mbak... Stop!!" Mikaela memotong ucapan Annisa, sehingga Annisa tidak melanjutkan perkataan apa yang sudah berada di ujung bibirnya.
"Jangan ucapkan apa yang ingin mbak ucapkan tadi. Apa Mas Damar menekan Mbak ? atau mertua mbak, karena mbak belum hamil?" Mikaela memicingkan matanya dan keningnya mengernyit, menunggu apa yang dikatakan oleh Annisa mengenai apa yang ditanyakan nya.
Annisa menggelengkan kepalanya.
"Jika mbak belum hamil, bukan salah mbak saja. Kenapa setiap wanita belum hamil, selalu wanita yang dicurigai tidak bisa hamil? mungkin saja sang pria yang tidak bisa membuat istrinya hamil," kata Mikaela.
"Jika Mas Damar dan keluarganya tidak menekan Mbak, kenapa Mbak stress?"
"Teman-teman Mama, teman mbak yang selalu bertanya setiap bertemu. Setiap Mbak ikut mama arisan. Teman-temannya mama selalu bertanya apa sudah ada kabar baik dan mereka selalu membanggakan cucu-cucunya," Annisa.
"Kalau hanya kenalan yang usil, biarkan saja mbak. Yang penting Mas Damar dan orangtuanya tidak mendesak, santai saja."
"Betulkan, Mas Damar dan orangtuanya tidak mendesak mbak ?"
Lagi-lagi Annisa menggelengkan kepalanya.
"Kalau mereka tidak menekan Mbak, untuk apa menjadi beban mbak. Bawa santai saja mbak. Jangan di jadikan beban. Baru menikah beberapa bulan, sudah stress. Orang yang bertahun-tahun menikah, tapi belum dianugerahi momongan banyak Mbak."
"Mbak yang tadi juga baru mendapatkan anugerah setelah menikah tujuh tahun. Lah... mbak baru beberapa bulan, sudah frustasi." Mikaela mengingat Annisa dengan wanita yang mereka temui di praktek dokter kandungan tadi.
"Mbak merasa tidak nyaman."
"Bawa rileks mbak. Pikiran yang tidak tenang bisa mempengaruhi tubuh kita, mbak. Mulai saat ini, mbak tenang dan dan banyak berdoa."
"Jangan dijadikan beban apa yang orang katakan," kata Mikaela.
*
*
Tiga orang gadis keluar dari gedung universitas. Ketiganya menunjukkan raut wajah yang gembira. Hari ini Ketiganya baru saja menjalani sidang skripsi dengan hasil yang memuaskan.
Ketiganya melangkah menuju mobil Aira, karena dari universitas mereka akan berkumpul di rumah Inara untuk merayakan keberhasilan mereka dalam menjalani sidang skripsi.
"Akhirnya, aku tidak perlu melihat wajah Mak Erot," ujar Inara yang tiduran di atas lantai ditutupi karpet warna coklat.
"Mak Erot? siapa Mak Erot?" tanya Mikaela.
Mikaela dan Aira menatap wajah Inara. Keduanya menunggu. Siapa yang di maksudkan oleh Inara sebagai Mak Erot.
"Bu Erica... Aku sebel dengan Bu Erica...! selama aku bimbingan dengannya. Aku ini seperti kurir dibuatnya. Bukan seperti mahasiswa yang sedang bimbingan," ujar Inara.
Mikaela dan Aira tertawa ngakak.
"Bagus dong, sebagai kurir. Apalagi, jika diberi upah. Tebal isi dompet," kata Aira.
"Boro-boro dikasih upah, diberi ucap terima kasih juga tidak..!" kata Inara ketus.
"Aku dengar-dengar, Bu Elma judes habis pada mahasiswi dibawah bimbingannya. Dia itu hanya ramah pada mahasiswa saja," kata Inara.
"Mungkin Bu Elma pernah rebutan cinta dengan seorang mahasiswi," kata Mikaela.
"Mungkin." timpal Aira.
"Aku senang, kita akan lulus kuliah. Tapi aku juga sedih, kita tidak akan sering bertemu," kata Aira.
"Apa kau jadi meneruskan S2 di luar negeri ?" tanya Mikaela pada Inara.
"Itu dia, aku juga bingung," jawab Inara.
"Kalau aku sarankan ya, kau itu tidak usah S2 di luar negeri," kata Aira.
"Kenapa kau larang Inara S2 keluar negeri, Aira?" tanya Mikaela.
"Iya... kenapa kau larang aku melanjutkan kuliah keluar negeri. Apa kau akan merindukanku ?" tanya Inara pada Aira.
"Oh... tidak! untuk apa rindu padamu. Aku kasihan saja padamu, Inara. Di sini ada Mikaela yang selalu mengerjakan tugas kuliahmu. Jika kau sekolah diluar, siapa yang akan mengerjakan tugas kuliahmu?" kata Aira meledek Inara.
"Bushett.... !" umpat Inara.
"Apa yang aku katakan, benarkan? selama ini kau selalu dibantu menyelesaikan tugas kuliahmu. Skripsi saja kau dibantu," kata Aira.
"Kau bilang aku bodoh!" seru Inara dengan raut wajah jutek menatap Inara.
"Kau itu bukan bodoh sih... hanya kau itu, pe...ma...las !" kata Aira meledek Inara.
Lemparan diberikan Inara pada Aira. Guling mendarat sempurna menerpa tubuh Aira yang terbaring telentang.
"Menyebalkan.... !" gerutu Inara.
"He... he... sorry... just kidding ya... hal-hal ini nanti yang akan kita rindukan, saling meledek," kata Aira.
"Iya ," sahut Mikaela.
Dia tidak bisa membayangkan, bagaimana dia nanti berpisah dengan kedua temannya yang selalu setia mendengar curahan hatinya.
"Aku akan tetap di sini, kita cari kerja ditempat yang sama ya El," kata Aira.
Mikaela yang masih dalam keadaan melamun, tidak mendengar apa yang dikatakan oleh Aira.
"Mikaela!" panggil Aira dengan suara yang sedikit keras.
"Apa?" Mikaela melihat Aira dengan sedikit mengangkat kepalanya.
"Kau melamun? apa kau ada masalah?" tidak Aira.
"Iya El, kau koq sedikit irit bicara hari ini. Ada apa?" tanya Inara.
"Aku hanya merasa sedih, akan kehilangan dua sahabat. Kalian selama ini menjadi tempat aku berkeluh kesah, nanti kita tidak akan bisa saling curhat," kata Mikaela.
Inara bangun dan menggeser posisi tubuhnya mendekati Mikaela dan merebahkan tubuhnya di samping Mikaela, begitu juga dengan Aira merebahkan tubuhnya di sisi kanan Mikaela.
"Walaupun kita tidak bisa berkumpul seperti ini setiap hari, kita masih bisa berkumpul melalui video call. Melalui saluran virtual, kita bisa tetap saling menguatkan," kata Aira.
"Iya... kau juga bisa membantuku menyelesaikan tugas kuliah melalui sambungan virtual," kata Inara dengan tertawa.
"Enak bener lu Nona.... !" seru Mikaela.
"Enak dikau, rugi El," kata Aira.
Ketiga tertawa terbahak-bahak.
Next...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments
✒ Viee ✒
weleh ternyata dibantu mikaela
2023-07-09
0
Raflesia Gendhis
sabar el yg penting ga hilang komunikasi
2023-06-29
0
Ratu Wr
jangan mikir yang enggak enggak dong
2023-06-28
0