...¶ ¶ ¶ ¶ ¶ ¶ ¶ ¶ ¶...
Mendengar jawaban ku barusan, bunda pun terdiam sesaat. Lalu menggenggam tangan ku erat, aku tahu beliau saat ini tengah khawatir akan diriku. Karena ini kali pertama aku akan pergi cukup jauh, meninggalkan beliau sendirian di rumah. Meskipun ada mba Ani yang sehari-hari bantu pekerjaan bunda di rumah.
"Apa kamu yakin, akan memilih untuk tinggal mandiri bersama Lulu? Bunda khawatir nak,"
"Aku yakin bunda, aku sudah bicarakan hal ini bersama Lulu sejak lama."
"Terus apa kamu sudah tahu akan tinggal dimana nantinya?" Tanya bunda kembali.
"Kata Lulu, ada saudaranya di sana. Dia tahu tempak kost yang dekat dengan sekolah ku nantinya."
"Tapi bunda pun akan menghubungi teman bunda tante Vina itu, sewaktu-waktu beliau bisa jenguk kamu di sana."
"Iya bunda,"
"Aku tahu bunda khawatir sama aku, tapi aku janji bisa jaga diri aku baik-baik di sana."
"Aku harus belajar mandiri,"
"Baiklah, bunda percaya sama kamu."
"Ya sudah, takutnya kamu mau meneruskan kembali belajarnya. Bunda juga mau tutup toko, kebetulan mba Ani masih belum pulang juga."
"Iya.....''
...¶ ¶ ¶ ¶ ¶ ¶ ¶ ¶ ¶...
Keesokan paginya, seperti biasa Lulu sudah menunggu ku di depan rumah. Tidak lupa sebelum berangkat, aku pamitan sama bunda yang masih sibuk di dapur.
"Yuk......" Ajak ku.
"Eh iya, aku mau cerita. Ini hanya untuk jaga-jaga saja, aku sudah menyiapkan senjata buat nanti di jalan. Takutnya si Dea sama Hera masih dendam sama kita, gara-gara masalah kemarin itu." Jelasnya.
"Senjata apa maksud kamu?" Tanya ku penasaran.
"Ini aku bawa semprotan milik adik ku.''
"Tahu sendiri, mereka berdua paling anti sama air. Kalau aku semprotkan ini air ke wajah mereka, aduh langsung lah mereka bakalan ketakutan karena make up mereka luntur."
"Ya ampun, sampai segitunya kamu."
"Habisnya sih, kalau nggak di gitu kan mereka pasti akan terus gangguin kita."
"Ya udah, terserah kamu saja."
Kami berdua pun berjalan kaki untuk pergi ke sekolah, jaraknya sendiri hanya berjarak 1 kilo saja dari tempat tinggal kami berdua. Sebenarnya di rumah aku punya motor yang tahun lalu di belikan bunda untuk ku, namun karena aku merasa tidak pede untuk membawanya ke sekolah, jadinya aku dan Lulu memutuskan untuk jalan kaki saja.
Dia sendiri pun jauh lebih dulu punya motor di banding aku, namun karena pernah kecelakaan dia tidak mau lagi bawa motor.
Di pertigaan, benar saja kami bertemu dengan Dea. Namun anehnya dia hanya sendirian tanpa ada Hera yang biasa bareng dengan dia.
"Tumben banget dia sendirian, kemana perginya si Hera." Ucap Lulu sedikit berbisik.
"Ya udahlah, biarkan saja. Anggap saja kita nggak lihat dia,"
Aku dan Lulu pun berjalan mendahuluinya, anehnya Dea sama sekali tidak menegur kami berdua dan malah menundukkan kepalanya.
"Aneh banget," bisik ku.
"Iya......"
Karena penasaran kami pun berhenti dan menunggunya. Dea yang menyadari kami berhenti pun,tampak kebingungan dan mengalihkan pandangan matanya dari kami berdua.
"Dea......"
"Kamu kok sendirian, kemana teman kamu yang satu lagi?" Lanjut Lulu.
"Dia tidak pergi sekolah hari ini, katanya neneknya meninggal."
"Oh pantas kamu dari tadi diam saja, coba aja kalau ada teman kamu itu pasti kalian udah menyerang kami langsung."
"Jangan bilang kamu beraninya keroyokan lagi, kalau sendirian seperti sekarang ini kamu nggak berani."
"Eh jangan sembarang yah, aku hanya lagi malas saja untuk berdebat dengan kalian." Timpalnya.
"Udah lah, sebaiknya kita pergi saja."
"Ini masih pagi, masa iya kita udah mau berantem." Lanjut ku.
"Benar juga,"
"Lagian gak ada manfaatnya juga. Ya udah lah, sebaiknya kita cepat-cepat ke sekolah takutnya ada pengumuman."
Aku dan Lulu pun memutuskan untuk mengabaikan Dea kali ini dan memilih untuk pergi lebih dulu.
...¶ ¶ ¶ ¶ ¶ ¶ ¶ ¶ ¶...
Sesampainya di sekolah, benar saja Syifa sudah menunggu kami di depan kelas.
"Ayo cepat, kita sudah di tunggu pak Hendra di ruangannya."
Belum sempat untuk aku menyimpan tas, aku harus langsung ikut Syifa menuju ruangan pak Hendra.
Di ruangan pak Hendra sendiri sudah ada David yang sudah lebih dulu sampai dan tengah menandatangani berkas. Melihat kedatangan kami, pak Hendra langsung meminta kami untuk menandatangani berkas yang sama dengan David.
"Nah kalian akan berangkat hari Sabtu pagi, bareng dengan siswa dari sekolah lain dari kota lain." Ucap pak Hendra.
"Kita harus menunggu di mana pak?"
"Kalian tinggal ke sekolah saja, nanti bapak sendiri yang akan melepaskan keberangkatan kalian."
"Berarti tinggal 2 hari lagi dong," sambung Syifa.
"Iya....."
"Bapak harap dari sekarang kalian sudah harus mempersiapkan semuanya. Bapak sudah berkordinasi dengan wali kelas kalian juga, jadi sampai hari dimana kalian berangkat kalian tidak perlu mengikuti pelajaran seperti biasanya." Jelas beliau.
"Hah, serius pak?"
"Iya,"
"Bapak sudah mempertimbangkannya dengan guru-guru yang lain."
"Jadi maksud bapak, setelah ini kami bisa langsung pulang." Ucap David meyakinkan.
"Iya......."
Aku dan Lulu sempat kaget dengan pernyataan yang di sampaikan oleh pak Hendra barusan. Karena biasanya tahun-tahun sebelumnya tidak seperti ini.
"Ya sudah karena semuanya sudah selesai, kalian sudah boleh pulang dan bisa menyiapkan apa saja yang akan kalian bawa nanti ke Jakarta."
"Baik pak......." Balas kami bersamaan.
...¶ ¶ ¶ ¶ ¶ ¶ ¶ ¶ ¶...
Bunda tampak keheranan, melihat aku sudah kembali lagi dari sekolah. Beliau tengah membuka toko di bantu oleh mba Ani juga.
"Loh nak, kok kamu sudah pulang?"
"Iya bu,"
"Kami di ijinkan untuk pulang lebih awal, oleh pak Hendra."
"Katanya supaya kami bisa menyiapkan diri dan menyiapkan keperluan yang akan di bawa ke Jakarta nanti."
"Ngomong-ngomong, kapan memangnya kamu berangkatnya?"
"Sabtu pagi katanya,"
"Ya ampun, secepat itu. Bunda belum menyiapkan apa-apa nak,"
"Tidak perlu, karena aku pun tidak sekolah jadi bisa aku siapkan sendiri saja bunda. Lagi pula tidak akan banyak juga yang aku bawa nanti."
"Ya setidaknya bunda harus bantu siapkan keperluan kamu,"
"Iya......."
Aku pun ijin untuk masuk duluan dan langsung menuju kamar. Aku malah duduk termenung sambil melihat hamparan sawah yang bisa aku lihat dari jendela kamar ku. Rasanya sepeti mimpi, aku bisa pergi ke Jakarta untuk menimba ilmu di sana.
Meskipun aku harus meninggalkan bunda sendirian di sini. Tapi ini demi cita-cita dan masa depan ku juga, aku bertekad ingin membahagiakan dan buat bunda bangga pada ku.
Aku ingin mematahkan omongan orang-orang di luar sana, yang menganggap bunda tidak bisa mendidik dan mengurusku. Karena beliau hanya seorang perempuan yang di tinggal pergi oleh suaminya tanpa kabar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments