"Nadia kembalilah ke ruang rawat inap Bibi, karena kasihan Bibi Sarah," ucap Abraham sebelum laki-laki itu memutuskan panggilan telepon itu karena rupanya ia melihat bahwa saat ini Nadia sedang berdiri di arah jalan keluar yang ada di parkiran, dan rupanya Abraham juga masih ada di parkiran itu. Sehingga membuat laki-laki itu bergegas ingin menenangkan adik kesayangannya itu untuk yang kesekian kalinya.
"Nadia," panggil Abraham dan pada detik itu juga Nadia terlihat menoleh serta langsung saja berlari ke arah Abraham.
"Kak Abra ...." Mata wanita itu berbinar-binar bahagia, karena ia melihat sang kakak yang rupanya masih di area rumah sakit itu. "Kakak belum pulang rupanya."
Abraham membentangkan tangan lalu ia juga terlihat membalas pelukan sang adik. "Ini Kakak baru saja mau pergi, tapi karena tadi kamu menelepon Kakak, makanya Kakak malah mengurungkan niat untuk pergi." Abraham mengelus rambut Nadia dengan penuh kasih sayang.
"Kak, wanita jahat itu ada di rumah sakit ini. Aku melihatnya dengan sangat jelas menggunakan mataku ini." Sekarang Nadia lagi-lagi terdengar membahas Selena yang tadi wanita itu lihat. "Kakak harus membawa Bibi Sarah secepatnya pergi dari sini, sebelum wanita itu malah akan menyakiti Bibi seperti dia menyakiti almarhum Ayah dulu." Nadia mengatakan itu dengan bibir yang gemetar.
Abraham diam saja, ia akan membiarkan sang adik berbicara karena Abraham ingin tahu sebetapa bencinya Nadia terhadap Selena.
"Kak Abra, jangan diam saja. Pikirkan bagimana kita bisa pergi dari rumah sakit ini membawa Bini, supaya wanita itu tidak melihat kita karena jujur saja setiap kali aku melihat wajahnya. Maka bayang-bayang masa lalu malah akan menari-nari di pelupuk mataku." Apa yang dikatakan oleh Nadia memang benar apa adanya. Jika wanita itu malah akan mengingat semua yang pernah Selena lakukan dulu padanya, sehingga membuat Nadia lebih memilih untuk tidak akan pernah lagi melihat raut wajah Selena.
"Kembali ke ruang rawat inap Bibi, besok pagi-pagi buta sekali kamu akan pergi ke luar Negeri bersama Dokter Sean, dan untuk saat ini kamu tidak perlu takut dengan wanita yang kamu lihat itu. Anggap saja itu semua hanya halusinasi kamu saja Nadia, sehingga dengan cara begitu kamu tidak akan takut lagi ... percaya sama Kakak."
Nadia terlihat menggeleng kuat. "Aku tidak mau kembali ke ruang rawat inap itu, karena bisa saja wanita itu masih ada disana sedang mengobrol dengan salah satu Dokter," kata Nadia.
Tidak ada cara lain selain Abraham yang akan mengantar adiknya itu untuk kembali ke ruang rawat inap itu.
"Baiklah, ayo Kakak yang akan mengantarkanmu ke sana," ucap Abraham sambil melepaskan pelukan Nadia.
"Tapi Kak Abra ...."
"Nadia, Bibi Sarah sendirian di sana. Ayolah jangan kekanak-kanakan seperti ini." Abraham lalu memegang pergelangan tangan Nadia. "Ayo jalan, dan nanti kalau kamu melihatnya maka berpura-puralah tidak mengenalnya. Oke."
Nadia pada detik itu juga langsung saja mengangguk, tanda mengerti dengan apa yang tadi Abraham katakan. Meski sejujurnya jauh di dalam lubuk hati kecil Nadia bahwa wanita itu masih memiliki sedikit rasa sayangnya pada Selena, karena mau bagimanapun wanita paruh baya itu tetaplah ibu kandungnya. Meskipun dirinya sempat dibuat merasa kecewa oleh sikap dan tingkah laku Selena pada waktu itu, yang nyata-nyata sengaja mentelantarkan dirinya dan sang kakak.
***
Setelah mengantar Nadia, kini Abraham sudah terlihat mengendari mobilnya sendiri di jalan raya yang lumayan sangat ramai di lalui oleh banyak pengendara yang lain.
Abraham juga terlihat beberapa kali mengulum senyum, disaat dirinya mengingat wajah Desta. Wanita yang selama ini Abraham cari-cari hanya karena dirinya dulu di kasih sepotong paha ayam.
"Ah, rasanya tidak tega aku menyakiti wanita itu. Akan tetapi, apa boleh buat ini adalah salah satu dari rencanaku. Bisa di bilang wanita itu adalah kartu Asku," gumam Abraham sambil terus saja mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi. Bahkan Abraham terlihat menyalip beberapa pengendara yang lain bak seperti pembalab internasional.
"Desta, nama itu akan selalu aku ingat karena jika tidak ada dia waktu itu maka dapat di pastikan Nadia akan kembali lagi menangis dari malam sampai pagi menjelang." Abraham terus saja berbicara pada dirinya sendiri sambil mengingat bagaimana pertemuan pertamanya dengan Desta.
Namun, pada saat-saat Abraham akan mengingat kilas balik itu. Suara panggilan masuk ke dalam ponselnya tiba-tiba saja terdengar.
"Ish, apa tidak bisakah Arga menghubungiku nanti saja? Sebab gara-gara dia bayangan Desta yang dulu masih kecil malah tidak akan terputar lagi di dalam memori ingatanku," gerutu Abraham yang merasa kesal dengan tangan kanannya itu. Akan tetapi, meskipun begitu ia tetap mengangkat panggilan telepon itu.
"Apa ada yang ingin kamu tanyakan, Arga?" tanya Abraham tanpa berbasa-basi terlebih dahulu.
"Tuan, Pak Farhan berlum juga sadarkan diri. Bagaimana ini? Apa jangan-jangan dia sudah tidak bernyawa lagi?" Arga terdengar malah balik bertanya pada Abraham.
"Kenapa tidak kamu cek saja Arga? Apa sekarang otakmu yang cerdas itu sudah mulai bodoh? Dan sejak kapan itu terjadi?"
"Anda cepatlah kesini, supaya Tuan bisa melihatnya sendiri," ucap Arga yang tidak mau jika Abraham akan memarahi dirinya.
"Lama-lama aku bisa saja akan mencari penggantimu Arga, jika kamu terus-terusan seperti ini!" ketus Abraham sambil menekan tombol merah.
"Otak Arga sepertinya harus segera dicuci, biar kembali ke setelan pabrik," gumam Abraham pelan.
***
Dikarenakan Abraham menyetir mobil dengan kecepatan tinggi, membuat laki-laki itu tidak perlu membutuhkan waktu yang lama untuk sampai di mansion. Tempat dimana Arga sekarang menyekap Farhan dan tentu saja itu atas perintah Abraham, laki-laki dingin dan juga arogan itu.
"Awas saja, jika kamu membohongiku Arga, maka kamu akan mendapatkan hukuman," kata Abraham sambil membuka pintu mobilnya, karena laki-laki itu merasa penasaran dengan kalimat pertanyaan Arga saat dari dirinya masih di jalan.
"Tuan, perasaan saya menghubungi Anda baru saja. Tapi kenapa sekarang Anda malah dengan cepat sudah sampai di mansion ini?" tanya Arga saat laki-laki itu saat ini menunggu Abraham di depan teras pintu utama.
"Aku bukan kamu Arga, yang mengetir seperti siput dan kura-kura," celetuk Abraham menjawab Arga. "Sekarang bagimana, apa pria paruh baya itu sudah bangun?"
"Silahkan Anda bisa melihatnya sendiri di dalam Tuan," jawab Arga.
"Apa kamu membawanya ke dalam mansion, bukan ke ruang bawah tanah?" Abraham bertanya peluh selidik pada Arga.
"Ruang bawah tanah, seperti perintah Anda Tuan." Arga mengjawab sambil mengajak Abraham untuk segera melihat Farhan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 63 Episodes
Comments