"Kau bukan anakku lagi, Abraham! Kau hanya bocah pembunuh!" Selena berteriak pada anak yang baru saja berusia 10 tahun itu.
"Ibu lah pembunuh itu!" Abraham dengan gigi yang menggeletuk terlihat membuang sebilah pisau yang sudah berlumuran darah kedepan Selena yang sedang menangis histeris. Suara anak laki-laki itu juga terdengar tidak kalah lantang dibandingkan dengan sang ibu.
"Satpam tangkap bocah pembunuh ini, bila perlu bawa dia ke kantor polisi juga!" titah Selena yang sekarang terdengar malah menyuruh satpam yang masih saja tercengang menyaksikan adegan itu tadi. "Pastikan anak pengemis ini membusuk di jeruji besi." Kini kenencian Selena pada putranya semakin menjadi-jadi. "Bawa segera dia pergi dari hadapanku!" teriak Selena sambil menangis histeris, karena wanita itu saat ini merasa kalau Antonio sepertinya sudah tidak bernyawa lagi.
Abraham terlihat menatap sang ibu juga dengan netra yang penuh dengan kebencian, karena anak laki-laki itu tidak pernah menyangka kalau rupanya sang ibu memang benar-benar lebih memilih pria kaya raya itu dibandingkan dengan dirinya yang nyata-nyata adalah darah dagingnya sendiri.
"Ibu jahat! Ibu adalah manusia paling jahat di muka bumi ini. Aku bersumpah akan membalaskan dendamku padamu, Bu!" Abraham, anak laki-laki itu terus saja melontarkan kalimat sumpah itu berulang-ulang kali pada Selena. "Gara-gara Ibu, Ayah sampai bu nuh diri!" Dada anak itu terasa sangat sesak ketika ia mengatakan itu pada sang ibu. "Pokoknya Ibu akan menyesali ini semua yang telah terjadi, dan pada saat itu juga Ibu akan bersimpuh di bawah kakiku ini." Dengan jari telunjuknya Abraham menunjuk kakinya sendiri dan juga kilatan terlihat saat kalimat itu terlontar dari mulut anak laki-laki itu.
"Bawa dia pergi!" Selena mendongak sambil berteriak, karena wanita itu tidak akan terima kalau Abraham membunuh ayah dari bayi yang baru saja berumur empat mingggu di dalam rahimnya itu.
Satpam itu terlihat mulai berlari sambil memegang borgol di tangannya untuk memborgol Abraham.
"Pastikan dia membusuk di penjara! Jangan sampai dia bisa bebas." Saking kesal dan marahnya Selena tidak sadar, bahwa wanita itu terus saja mengulangi kalimatnya.
Sedangkan Abraham terlihat pasrah ketika satpam itu malah memborgol kedua tangannya di bawah derasnya air hujan, anak laki-laki itu saat ini terlihat tersenyum getir dengan air mata yang menetes.
"Ibu akan membayar mahal ini semua," gumam Abraham lirih. Saat tubuh kecilnya malah diseret oleh satpam itu dengan sangat kasar.
***
Di rumah kontrakan tepat di pinggir jalan raya, Sarah begitu terkejut saat mendapat laporan dari pihak kepolisian yang menangani kasus anak-anak seperti Abraham. Wanita itu saat ini tidak percaya dengan apa yang polisi anak itu katakan.
"Tidak mungkin, Abra tidak akan mungkin senekat itu. Anak itu baru saja berusia 10 tahun, tidak akan mungkin melakukan hal sekeji itu ... ini semua pasti fitnah." Sarah yang memang tidak mudah percaya dengan hal seperti itu tidak akan percaya begitu saja.
"Maaf, ini adalah bukti serta sidik jari pelaku yang masih saja menempel pada pisau ini. Jadi, mau sekeras apapun Anda mengatakan kalau ini fitnah maka Ibu bisa saja langsung datang ke sel tahanan untuk anak-anak." Polisi yang terlihat berwajah sedikit garang itu terlihat menyerahkan bukti pada Sarah.
"Abra tidak mungkin kamu melakukan ini semua, disaat umur kamu baru saja genap 10 tahun." Sarah tidak bisa menerima kenyataan ini, karena baru tadi siang keponakannya itu hanya berpamitan untuk mengambil sesuatu di rumah minimalis anak laki-laki itu. Namun, saat malam menjelang ia malah mendapatkan kabar mengejutkan seperti ini.
"Ibu tidak usah terlalu mengkhawatirkan si pelaku, karena dia masih anak-anak maka dia hanya akan di penjara selama lima bulan saja. Setelah itu maka dia akan kembali bebas." Posisi itu menjelaskan pada Sarah, wanita yang sekarang mulai mengeluarkan cairan bening dari sudut matanya. "Besok pagi pun Anda bisa langsung menjenguknya ke kantor polisi untuk anak-anak," sambung polisi itu lagi.
Sarah saat ini hanya bisa mengangguk, karena tidak ada yang bisa wanita itu lakukan selain menanyakan semua ini langsung kepada keponakannya itu. Sarah juga merasa tidak akan mungkin sanggup memberitahu Nadia tentang masalah ini, mengingat gadis kecil itu terus saja menanyakan tentang keberadaan Abraham saat ini. Sehingga membuat hati Sarah seperti di iris sembilu pada saat ini juga.
Tepat ketika Sarah memikirkan Nadia, kini gadis kecil itu terlihat keluar dari dalam kamar bibinya itu. "Bi, Kak Abra kemana? Kenapa dia sampai sekarang belum juga datang kesini?" Nadia yang memang dari kecil tidak bisa berpisah dengan Abraham terdengar terus saja menanyakan tentang keberadaan kakaknya itu.
"Besok pagi kita ketemu sama kak Abra, karena sepertinya malam ini dia tidak menginap disini." Sarah terlihat dengan gerakan cepat mengusap air matanya. Supaya Nadia tidak tahu kalau dirinya saat ini sedang menangis.
"Aku mau Kak Abra, Bibi … aku mau Kak Abra." Nadia terus saja merengek bahkan gadis itu sempat menangis karena ingin bertemu dengan Abraham.
***
Keesokan paginya, terlihat Sarah menyiapkan rantang sarapan untuk Abraham, wanita itu juga terlihat membawa satu selimut karena ia berpikiran kalau keponakannya itu pasti sangat kedinginan di jeruji besi.
"Sudah siap, aku harus mengantar ini untuk Abra. Namun, aku harus menunggu Nadia bangun dulu. Kasihan gadis kecil itu karena tadi malam dia tidur tepat pu kul dua dini hari," kata Sarah sambil beberapa kali melirik ke arah jam yang ada di dinding. "Semoga saja Abra di sana baik-baik saja, Ya Tuhan tolong lindungilah keponakanku." Sarah berdoa dengan mata yang sangat ngantuk, karena rupanya wanita itu juga tadi malam begadang hanya untuk menenangkan Nadia.
Sarah juga sama sekali tidak ingin menyalahkan Abraham, sebab wanita itu tahu pasti anak laki-laki itu memiliki alasan tersendiri sebelum mengambil tindakan seperti itu. Sehingga membuat Sarah merasa tidak harus menyalahkan dan juga wanita itu tidak membenarkan kelakuan keponakannya itu.
🍂🍂
Menunduk karena malu, hanya itu yang bisa Abraham lakukan saat sang bibi melontarkan berbagai pertanyaan pada dirinya.
"Abra, katakan pada Bibi apa sebenarnya yang telah terjadi?" Ini pertanyaan yang sudah kesekian kalinya. Namun, anak laki-laki itu tidak kunjung mau menjawabnya. "Bibi tidak akan marah, cuma Bibi cuma mau mendengar jawabanmu Abra, jangan malah membuat Bibi berpikiran yang tidak-tidak padamu."
"Mereka penyebab Ayah depresi, bahkan Ayah sampai bu nuh diri." Lirih Abraham yang tiba-tiba saja kalimat itu yang keluar dari bibir mungilnya. "Merekalah pembunuh yang sesungguhnya Bi, bukan aku." Abraham menggeleng dengan sangat kuat.
Setelah mendengar itu pada akhirnya Sarah mulai paham serta mengerti apa yang membuat dan mendorong Abraham melakukan itu semua. Sehingga membuat wanita itu hanya bisa memeluk keponakannya itu untuk memberikan Abraham sedikit kekuatan, supaya bisa melewati kerasnya kehidupan di dunia ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 63 Episodes
Comments