Waktu terus bergulir begitu cepat. Tanpa terasa, hari ini adalah hari wisuda Selena dari fakultas kedokteran. Rasa syukur dan kebahagiaan memenuhi hatinya, terutama saat melihat senyum bahagia di wajah Mommy dan Daddy Jhonson. Dia yakin bahwa orang tua kandungnya yang telah tiada juga merasakan kebahagiaan ini dari atas sana.
“Selamat ya, Nak. Kamu berhasil menjadi lulusan terbaik. Mommy sangat bangga,” ucap Mommy Yohana, memeluk Selena dengan hangat.
“Putri Daddy memang luar biasa. Setelah ini, semangat lagi ya, masih ada perjuangan panjang yang menunggu,” sambung Daddy Johnson, turut memeluk Selena.
“Terima kasih, Mommy, Daddy. Semua ini juga berkat doa dan dukungan kalian,” ungkap Selena sambil memeluk kedua kesayangannya itu. Air mata jatuh saat menyadari betapa besar kasih sayang yang ia terima selama ini.
Untuk merayakan momen bahagia tersebut, mereka memutuskan makan siang di restoran dekat kampus. Di sana, ternyata Melvin, Diana, dan Martin juga hadir.
Selena menghela napas saat melihat Melvin, pria yang telah lama ia hindari.
“Selamat ya, Selena!” Ucapan itu datang dari Diana yang memberikan seikat bunga dan sebuah kado.
“Ini dari aku dan kakakmu, Melvin,” tambahnya.
“Terima kasih, Kak,” jawab Selena dengan senyum.
Kini giliran Martin yang tampak tak sabar untuk memeluk adik kecilnya.
“Adik kecilku memang hebat. Kakak bangga padamu. Kenapa kamu cepat sekali tumbuh besar begini, hm? Anyway, selamat ya, sayang,” ucap Martin sambil memeluk Selena erat. Baginya, Selena tetaplah gadis kecil yang manis yang dulu selalu mengikuti 3M sekawan berkumpul.
“Terima kasih, Kak. Kadonya juga, makasih.”
Saat mereka mulai makan, hanya Melvin yang diam tanpa memberikan ucapan selamat. Selena berusaha memahami suasana hati pria itu. Padahal, dulu Melvin pernah berkata bahwa ia akan menjadi orang pertama yang memberi selamat jika Selena berhasil menjadi dokter. Selena hanya bisa mencuri pandang, sekadar untuk membayar sedikit rasa rindu.
Setelah makan, mereka bubar. Mommy Yohana diantar Daddy Jhonson langsung ke rumah sakit karena jadwal tugas. Martin kembali ke kantor, sedangkan Melvin ditemani Diana langsung menuju perusahaan. Hanya Selena yang pulang sendiri, mempersiapkan diri untuk langkah berikutnya.
Pukul setengah sepuluh malam, Selena menuju ruang tamu untuk membicarakan hal penting dengan kedua orang tuanya yang baru saja tiba di rumah.
“Ada apa, Nak? Kamu terlihat serius,” tanya Mommy Yohana. Ia baru saja selesai mandi dan sedikit penasaran saat sang suami meminta dia ke ruang tamu.
“Ini tentang kelanjutan studi aku, Mom, Dad,” ujar Selena tenang.
“Oh iya, Mommy hampir lupa. Setelah ini kamu akan mengambil program profesi. Mommy rekomendasikan saja di rumah sakit kita, bagaimana?” tawar Mommy Yohana penuh semangat. Ia tak sabar melihat dirinya dan sang putri bekerja bersama.
Selena menggeleng pelan, menatap kedua orang tua itu dengan penuh harap.
“Tidak, Mom. Aku sudah membicarakan ini dengan dosenku di kampus kemarin. Aku berencana koas di rumah sakit LT di kota S. Beliau setuju dan merekomendasikan rumah sakit itu.”
Mommy Yohana dan Daddy Johnson saling pandang, bingung dengan keputusan putri mereka.
“Kenapa? Bukankah disini lebih mudah?” tanya Daddy Jhonson.
“Justru itu, Dad. Aku ingin melewati semua dengan usaha dan perjuanganku sendiri, tanpa embel-embel keluarga Jhonson. Aku berharap Mommy dan Daddy setuju. Jangan khawatir, aku akan menjaga diri,” pinta Selena penuh harap, sambil menggenggam tangan kedua orang tuanya.
“Bagaimana Mommy dan Daddy tidak khawatir. Ini pertama kali kamu akan jauh dari kami. Mommy cemas, Nak. Tapi lebih dari itu, Mommy dan Daddy percaya kamu bisa. Restu kami menyertai,” ujar Mommy Yohana, yang diangguki Daddy Jhonson.
“Kami akan berusaha sesering mungkin mengunjungimu, Nak. Sekarang, lanjutkan perjuanganmu,” tambah Daddy Johnson.
Selena tersenyum haru. Dukungan dan restu inilah yang akan menjadi semangatnya nanti. Dalam hati, dia juga sebenarnya ingin memberitahu Melvin, tapi itu hanya sekadar angan. Mana mungkin pria itu mau berbicara.
“Kamu sudah memberi tahu kakakmu?” Pertanyaan Mommy Yohana tepat sasaran, padahal Selena sedang memikirkan itu.
“Nanti, Mom. Kalau Kakak kesini,” jawab Selena, berbohong. Karena ia merasa Melvin tidak akan peduli apapun tentangnya.
Di tempat lain, Melvin, Diana, dan Martin sedang berada di klub. Ada rasa kesal dalam diri Martin karena hingga sekarang, Melvin terang-terangan masih mengabaikan Selena. Dia bingung, apa alasan pria itu. Karena memang hatinya terus bertanya, dia pun mencoba bicara dengan Melvin.
“Kamu masih memarahi dia?” tanya Martin sambil menyesap segelas wiski.
“Siapa?” Melvin balik bertanya sambil meneguk red wine. Matanya fokus menatap Diana yang sedang berdansa dengan rekan modelnya.
“Kamu pasti tahu siapa yang kumaksud,” ucap Martin kesal.
“Kalau yang kamu maksud Selena, lebih baik berhenti bicara. Aku tidak tertarik,” balas Melvin dengan nada kesal.
“Oh, ayolah, Man. Kamu berubah sejak beberapa tahun lalu. Tiba-tiba membencinya tanpa alasan. Dia adikmu, ingat?”
“Dia bukan adikku,” ucap Melvin tegas, lalu turun ke lantai dansa untuk menarik Diana pergi.
“Hei, kau mau ke mana? Kau belum menjelaskan apapun,” teriak Martin yang terhalang suara musik keras.
“Benar-benar keras kepala,” gumamnya.
Malam itu, ketika Melvin melampiaskan emosinya dengan Diana, Selena justru tidak bisa tidur. Dia memandang langit yang bertabur bintang, tiba-tiba merindukan kedua orang tua kandungnya.
“Ma, Pa, semoga keputusanku ini tepat. Apakah aku gadis bodoh? Berkali-kali disakiti dan ditolak, tapi aku tetap tidak bisa menghilangkan nama itu dari hatiku. Semoga dengan menjauh, aku bisa menemukan sesuatu yang baru di luar sana,” bisik Selena pada bintang-bintang yang ia rasa adalah gambaran kedua orang tuanya.
“Selamat tinggal, Kak. Sampai bertemu lagi di lain waktu. Semoga Kakak selalu sehat dan bahagia.”
Satu setengah tahun berlalu…
Selena telah menjalani masa koas di Rumah Sakit LT selama hampir dua tahun. Banyak pengalaman baru yang ia dapatkan. Ia sudah seperti seorang dokter: bertemu pasien, menangani mereka, dan melakukan berbagai tindakan medis. Inilah mimpinya.
Selama lebih dari setahun, Selena tidak pernah berkomunikasi dengan Melvin. Hanya sesekali ia mendengar kabar pria itu dari kedua orang tuanya yang berkunjung. Dia pun tidak mencoba mencari tahu, takut luka lama kembali terbuka.
Selama koas, Selena menemukan beberapa teman dan rekan kerja yang solid. Salah satunya adalah Dokter Willy, seorang dokter penyakit dalam berusia 28 tahun yang tampan dan berkulit eksotis. Dokter Willy tampak memiliki perasaan khusus pada Selena, terlihat dari caranya berbicara dan memberi perhatian.
Beberapa bulan lagi, masa koas akan selesai. Selena masih belum memutuskan apakah akan melanjutkan kariernya di Rumah Sakit LT atau kembali ke Kota J, atau mungkin memilih tempat lain. Beberapa tawaran untuk menjadi dokter tetap di rumah sakit itu sudah ia terima, tetapi ia masih bimbang.
Perusahaan Otomotif Kota J…
Melvin mengurut kening, memikirkan Diana yang sulit dihubungi. Sejak sibuk dengan aktivitas modeling di luar negeri, wanita itu jarang kembali.
“Sebenarnya, apa yang kau lakukan sampai tidak menjawab teleponku?” bentak Melvin begitu panggilannya terjawab.
“Maaf, Beib. Aku memang jarang pegang ponsel beberapa hari ini,” jawab Diana dengan lembut.
“Jarang pegang, tapi aktif di media sosial,” cibir Melvin.
“Hanya iseng membuka beranda sebentar. Setelah itu, aku bekerja lagi.”
“Kapan kamu kembali? Kamu tidak rindu padaku?” Melvin mencoba melunak, suaranya sedikit serak.
“Seminggu lagi, aku masih ada jadwal catwalk terakhir di Kota M. Bersabarlah, Beib. Aku akan membayar kesabaranmu nanti. Kita akan melakukannya sebanyak yang kamu mau,” goda Diana tanpa ragu. Akhirnya Melvin luluh hanya karena godaan duniawi tersebut.
Lalu, dalam waktu yang cukup lama ini, Apakah
Melvin benar-benar sudah melupakan Selena. Benarkah?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 154 Episodes
Comments