Pagi itu, sekitar pukul setengah lima, Selena sudah mulai memindahkan barang-barang ke paviliun kecil di belakang rumah. Tidak semua barang ia bawa; Ada beberapa yang ia tinggalkan. Setelah hampir tiga puluh menit mengemas, semuanya sudah rapi dalam tas dan koper besar. Dia memastikan semua beres, Selena segera memanggil beberapa pelayan untuk membantu memindahkan barang-barang tersebut. Mereka berusaha agar tidak membuat kegaduhan, agar penghuni rumah yang masih terlelap tidak terganggu.
Setiba di paviliun belakang, Selena kembali merapikan dan menyusun barang-barang itu sesuai tempat masing-masing.
“Kenapa malah pindah ke sini, Non?” tanya Bibi Meta yang juga ikut membantunya membereskan kamar.
“Hanya ingin bernostalgia dengan kenangan Mama dan Papa, Bi,” jawab Selena dengan nada tenang.
“Yakin? Bukankah dulu Non Selena selalu menangis kalau berada di sini, teringat Nyonya Serena?” ungkit Bibi Meta dengan penuh perhatian.
Selena terkekeh mendengarnya. Itu memang benar. Pada awal-awal setelah Mama meninggal, rasa rindu dan trauma sering membuatnya tidak terkendali hingga menangis histeris. Ia masih ingat bagaimana Sang Mama tertabrak dan meninggal tepat di depan matanya demi menyelamatkan seorang pria yang kini justru membenci dia.
“Itu dulu, Bi, saat aku masih kecil. Sekarang, kan, aku sudah besar,”
jelas Selena mencoba tegar, meski kenyataannya, memutuskan kembali ke paviliun itu justru membongkar kenangan lama bersama orang-orang yang dia dicintai. Meskipun singkat, kenangan itu tetap terasa membekas.
Bibi Meta tidak menyahut lagi. Wanita yang hampir berusia enam puluh tahun itu mengelus puncak kepala Selena dengan lembut. Gadis yang kini sudah dewasa ini tumbuh besar juga berkat campur tangan dan kasih sayangnya.
Tak terasa, mereka sudah menghabiskan waktu satu jam untuk menata semua barang. Bibi Meta akhirnya pamit ke rumah utama untuk memastikan persiapan sarapan keluarga Jhonson telah selesai.
Selena tidak ikut. Ia lebih memilih berkeliling paviliun untuk memastikan apakah ada yang perlu diperbaiki atau dibenahi, seperti taman, misalnya. Namun, semuanya masih tampak cantik berkat perawatan tukang kebun di sana.
Lalu ia masuk ke kamar untuk mempersiapkan perlengkapan kampusnya. Meskipun sedang liburan semester, Selena tetap menggunakan waktu luang untuk menyelesaikan beberapa tugas praktik penting. Setelah itu, membersihkan diri di kamar mandi yang ada dalam kamar itu.
Sementara itu, di rumah utama, tepatnya di meja makan, semua orang sudah berkumpul. Namun, mata Mommy Yohana tidak menangkap keberadaan putrinya. Tidak biasa Selena terlambat berada di meja makan, biasa juga ikut membantu menyiapkan makanan.
“Di mana Cecen, Sayang?” tanya Daddy Johnson. Rupanya, ia juga merasa aneh karena putrinya belum ada di sana.
“Entahlah, Sayang. Biar aku suruh pelayan periksa ke kamarnya saja,”
jawab Mommy Yohana, kemudian memanggil Bibi Meta yang kebetulan sedang meletakkan minuman.
“Bibi, tolong ke atas, panggilkan Cecen untuk sarapan.”
Belum sempat Bibi Meta menjawab, Melvin lebih dulu merespons.
“Kenapa harus merepotkan orang? Kalau lapar, dia pasti turun sendiri,” celetuk Melvin, yang membuat kekasihnya, Diana, tersenyum tipis. Wanita itu sebenarnya merasa sedikit iri karena Cecen, anak angkat dalam keluarga itu, begitu disayangi oleh semua orang, kecuali Melvin, pacarnya.
“Non Cecen masih di belakang, Nyonya. Tadi saya lihat dia sedang mandi,” jelas Bibi Meta akhirnya.
“Di belakang?” Mommy Yohana mengernyit, bingung.
“Iya, Nyonya. Pagi-pagi sekali, Non Cecen memindahkan barang-barangnya ke paviliun belakang. Kami tadi ikut membantu. Sekarang mungkin dia sedang mandi.”
Mendengar itu, perasaan Mommy Yohana mencelos. Nafsu makan mendadak hilang. Dia tidak menyangka permintaan putrinya kemarin benar-benar seserius itu. Daddy Johnson pun seketika berhenti mengunyah dan terdiam beberapa saat.
“Biar Daddy ke belakang untuk memanggilnya,” putus Daddy Johnson dan segera melangkah menuju paviliun.
Sementara itu, Melvin terpaku. Apakah ini maksud dari ucapan gadis itu kemarin? Demi membuatnya nyaman, gadis itu sampai memilih keluar dari rumah. Kenapa tiba-tiba dia merasa ada sesuatu yang tidak nyaman di hatinya?
Diana justru merasa senang mendengar penjelasan Bibi Meta.
Mommy Yohana akhirnya memutuskan untuk ikut ke belakang.
Daddy Johnson yang sudah lebih dulu tiba langsung mendorong pintu paviliun yang tidak terkunci. Dia melangkah masuk sambil memanggil putrinya.
“Cecen… Sweety, ini Daddy. Kau di dalam?” panggilnya sedikit berteriak di depan kamar yang ia yakini tempat Selena berada.
Ceklek... pintu terbuka, dan Selena muncul.
“Daddy,”
Selena kaget melihat daddy berada di depan pintu kamar. Dia baru selesai berpakaian Rambut pun masih tergulung handuk.
“Ayo, Daddy, duduklah,” Selena mengajak Daddy Johnson duduk di sofa ruang tamu. Tak lama kemudian, Mommy Yohana juga tiba dan ikut duduk. Dia menatap sendu Selena.
“Daddy dan Mommy kompak sekali pagi-pagi ke sini. Jangan-jangan kaget ya dengar aku sudah ada di sini? Kan kemarin aku sudah izin,”
ujar Selena sambil memandang kedua orang tuanya yang kompak memandang dia dengan penuh rasa iba. Sebenarnya, dia juga sedih dengan keputusan yang diambil. Namun, demi kenyamanan Melvin, dia rela.
“Kenapa? Kenapa harus begini? Daddy dan Mommy mengira kemarin kamu hanya bercanda. Daddy bahkan tidak siap dengan keputusanmu yang seperti ini. Apakah kamu tidak senang tinggal di rumah kita? Kalau iya, apa perlu Daddy merenovasinya atau kita beli rumah baru saja?” tanya Daddy Johnson meminta penjelasan.
Lidah Selena mendadak kelu. Ia seolah kehilangan kata-kata. Wajahnya tampak kebingungan dan sedih. Bukan seperti itu maksudnya, tapi kenapa sulit sekali menjelaskan.
“Cecen, apakah kamu tidak senang dengan cara Mommy dan Daddy mendidikmu? Apakah Mommy dan Daddy membuatmu merasa tertekan?”
Kini giliran Mommy Yohana yang bertanya, membuat perasaan Selena sesak. Perasaan campur aduk antara sedih dan bingung. Sedih melihat raut wajah orang tuanya, bingung bagaimana cara menjelaskan.
“Mommy dan Daddy jangan berpikir seperti itu. Justru karena Mommy dan Daddy berhasil mendidikku, kini aku bisa perlahan mulai mandiri. Salah satunya adalah belajar hidup sendiri, meskipun masih dekat dengan rumah. Juga, ini hitung-hitung sebagai kesempatan aku bernostalgia dengan kenangan Mama Papa disini,” jelas Selena dengan suara yang bergetar.
“Apakah ini karena kakakmu, Melvin?” tanya Daddy Johnson. Wajah Selena langsung memerah.
“Ti... ti... tidak, daddy. Ini keputusanku sendiri,” jawab Selena terbata-bata.
“Kamu sayang Mommy dan Daddy, kan?”
“Tentu, Mom. Sangat sayang.”
“Kalau begitu, batalkan niatmu dan kembalilah ke rumah,”
Mommy Yohana memohon. Selena sungguh dilema. Namun, ia merasa harus tetap di paviliun ini. Daripada merusak hubungan Melvin dengan orang tua mereka. Apalagi, Melvin selalu merasa bahwa Mommy Yohana dan Daddy Johnson lebih sayang padanya.
Selena bergerak pelan, sedikit berlutut di hadapan kedua orang tuanya. Ia menggenggam tangan Mommy dan Daddy-nya dengan lembut.
“Mommy, Daddy...” panggilnya lembut, menatap penuh kasih kedua orang tuanya. Matanya berkaca-kaca, begitu pula dengan Mommy-nya. Daddy Johnson berusaha keras menahan air mata.
“Kali ini, tolong izinkan aku tetap di sini. Aku tidak kemana-mana, masih di sekitar Mommy dan Daddy. Rumah dan paviliun ini sangat dekat, jadi aku bisa bolak-balik. Aku sayang Mommy dan Daddy, itu tidak akan berubah sampai kapan pun. Jangan berpikir aku pindah kesini karena tertekan pada Mommy dan Daddy atau karena Kakak. Ini murni keputusanku. Aku ingin belajar dewasa, sama seperti Mommy dulu yang pindah mengikuti Daddy. Ijinkan Cecen, kesayangan Mommy dan Daddy, belajar menjadi lebih dewasa melalui keputusan ini, ya? Bolehkan, Mommy, Daddy?”
Keduanya sama-sama sesak. Penjelasan dan permintaan Selena membuat Daddy dan Mommy harus mengambil keputusan. Mereka saling berpandangan sesaat, kemudian kembali menatap putri mereka dan mengangguk mantap.
“Terima kasih, Mommy, Daddy,” air mata Selena akhirnya jatuh saat ia berada dalam pelukan kedua orang tuanya.
“Yuk, kita ke depan. Sarapan bersama," ajak Mommy Yohana dan diangguki kompak kedua kesayangannya itu. setiba di meja makan, Melvin dan Diana telah selesai. Mereka pun memilih melanjutkan sarapan bertiga.
Tepat pukul delapan pagi. Selena pamit ke perpustakaan. Sementara Daddy Johnson memanggil Melvin untuk ikut bersamanya menuju taman belakang.
"Apakah kamu tahu alasan mengenai kepindahan adik kamu, atau ini semua ada kaitannya sama kamu?" tanya daddy Jhonson to the point dan menohok perasaan putranya.
Melvin berdecak kesal. Kenapa juga dia harus dilibatkan dalam hal ini. Mana tahu dia tentang keputusan gadis itu. Dia menolak mengaku bahwa Selena pernah mengatakan ingin keluar rumah demi dia mau pulang dan nyaman di rumah.
"Ck, kenapa bertanya dan menuduh aku. Apakah gadis itu mengadu?" kesal melvin menatap daddy jengah.
"Adikmu bukan tipe seperti itu. Mengadu, sama sekali bukan Sifat dia. Putriku selalu berusaha menyelesaikan apapun dengan jalan sendiri"
Mevin sama sekali tidak percaya dengan ucapan daddy Johnson.
"Bilang saja daddy ingin membela dia"
Daddy Johnson menatap putranya tajam.
"Sebenarnya daddy tidak tahu alasan kamu beberapa tahun ini tiba-tiba bersikap kasar pada adikmu. Daddy hanya mengingatkan semoga suatu saat kamu tidak menyesalinya " tutur daddy Johnson sambil menepuk singkat pundak Mevin. Kemudian berdiri meninggalkan Mevin yang mendadak terdiam entah karena kalimat terakhir dari mulut daddy atau karena hal lainnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 154 Episodes
Comments