Serena di Paviliun Belakang
Hari-hari penuh kesedihan yang dijalani Serena di paviliun belakang ternyata memberinya banyak pelajaran. Bangun lebih pagi untuk menyiapkan sarapan dan bekal ke kampus, merapikan seluruh paviliun, menyelesaikan tugas, serta mulai merancang rencana masa depan—semua dilakukan Selena tanpa bantuan siapapun, termasuk para pelayan dari rumah utama. Niatnya memang ingin mandiri sepenuhnya. Bahkan, ia kini berencana mencari pekerjaan di luar, bukan untuk biaya kuliah, tetapi demi mencari pengalaman baru.
Soal pendidikan, gadis manis berlesung pipi ini tak perlu khawatir. Berkat kecerdasannya, Selena mendapatkan beasiswa penuh. Prestasinya pun sudah tidak asing lagi. Di bangku SMP, ia bahkan mengikuti program akselerasi sehingga bisa lompat kelas. Kini, Serena tengah menjalani semester baru setelah melewati liburan panjang. Ia sedang menyusun tugas akhir atau skripsi, setelah hampir tujuh semester menjalani perkuliahan yang diwarnai dengan berbagai praktikum dan ujian, termasuk ujian mendiagnosis penyakit pada pasien. Saat ini, kegiatannya lebih banyak diisi dengan bimbingan dan membaca di perpustakaan.
Setelah memilih tinggal di paviliun belakang, Selena mendapati, Melvin, lebih sering pulang. Namun, tak jarang membawa kekasihnya. Suatu hari, Selena tidak sengaja melintas di area kolam renang menuju paviliun. Tak disangka, matanya disuguhkan pemandangan yang mengejutkan: dua insan yang hanya mengenakan pakaian renang tengah bermesraan. Diana, kekasih Melvin, duduk di pangkuan pria itu dengan posisi kaki terbuka lebar, sementara Melvin sibuk menciumi tubuhnya. Selena begitu kaget hingga kotak bekal yang dia pegang terjatuh, menimbulkan suara yang memecah keheningan.
“Maaf, Kak, saya tidak sengaja,”
ujar Selena dengan suara gemetar. Mendapati Melvin menatapnya tajam.
“Pengganggu!” bentak Melvin marah.
“Kenapa masih di sini? Pergi ke belakang atau mau nonton pertunjukan kemesraan kami?” tambah Diana dengan nada kesal juga ejekan. Diana tahu bahwa Selena menyimpan perasaan pada Melvin, meskipun mereka bukan saudara kandung. Pandangan dan sikap Selena selama ini sudah cukup menunjukkan perasaan itu.
Mendengar perkataan Diana, Selena segera mengambil kotak bekal dan bergegas menuju paviliun. Sesampainya disana, ia merosot di balik pintu. Dadanya terasa sesak, dan dada juga berdenyut sakit. Melihat penolakan dari Melvin saja sudah cukup menyakitkan, apalagi harus menyaksikan adegan intim mereka.
“Tidak, aku tidak boleh begini. Itu hak mereka mau melakukan apa saja. Selena, kau harus sadar diri,”
ucapnya sambil menepuk-nepuk dada dan pipi sendiri, mencoba menyadarkan diri akan posisinya.
Sejak kejadian itu, Selena berusaha menghindari Melvin. Dia mencoba menghapus segala bentuk perasaan untuk pria itu.
Melvin tengah menemani Diana ke negara S untuk menghadiri acara bergengsi, sebuah fashion week.
“Sayang, kenalkan ini Gideon, temanku sejak awal masuk dunia modeling,” ujar Diana memperkenalkan seorang pria tampan pada Melvin.
Melvin mendekat dan merapatkan posisi mereka. Ia merasa sedikit cemburu melihat cara Gideon memandang Diana.
“Hai, Gideon, saya Melvin, kekasih Diana,” ucapnya sambil mengulurkan tangan.
“Senang berkenalan dengan Anda, Tuan Melvin,” balas Gideon dengan senyum tipis.
“Anda sangat beruntung bisa mendapatkan wanita secantik dan seistimewa Diana. Dia idaman semua orang.”
Melvin menatapnya datar.
“Termasuk kamu?”
Gideon tertawa ringan. “Ya, anggap saja begitu,” timpal Gideon tanpa basa-basi. Diana menyenggol lengan pria itu, memberi isyarat agar berhenti berbicara.
“Kami pamit dulu, ya. Aku tidak ikut dinner party malam ini. Kalian bersenang-senanglah,” Diana berpamitan, menghindari situasi yang bisa saja menjadi tidak nyaman.
Gideon hanya mengangguk sambil terkekeh. Tumben sekali Diana tidak mau ikut pesta bersama rekan model setelah acara fashion week. Biasanya, mereka makan malam dan berpesta di klub, menyewa ruang VIP khusus. Pesta-pesta itu kadang lebih dari sekadar perayaan biasa.
“Kalian terlihat akrab. Apakah kalian sangat dekat?” tanya Melvin dalam perjalanan pulang. Mereka akan langsung ke bandara dan pulang ke negara asal setelah acara fashion week yang hanya berlangsung sehari.
“Tentu, sayang. Kami kan rekan kerja,” jawab Diana.
“Apakah kalian pernah menjalin hubungan, seperti kita? Aku melihat Gideon seperti menyukaimu.”
Diana terkejut mendengar pertanyaan itu. “Ti...tidak. Dia memang pernah bilang menyukaiku, tapi aku menganggap itu hanya perasaan suka pada seorang teman,” akunya setengah jujur.
“Dan kau sendiri, pernahkah tertarik padanya?” tanya Melvin lagi.
“Oh, ayolah sayang, apakah itu penting untuk ditanyakan? Aku tidak ingin kita bertengkar karena hal ini. Yang perlu kau tahu, aku mencintaimu,” balas Diana dengan nada kesal.
“Baiklah, maafkan aku, sayang,” Melvin segera mencium bibir Diana untuk meredakan kekesalan wanita itu. Tanpa memperdulikan sopir taksi, mereka berciuman dengan penuh gairah. Jika tidak ingat berada di mana, mungkin mereka akan melanjutkan lebih jauh.
“Aku tidak sabar untuk segera sampai di rumah. Aku ingin memasuki milikmu,” bisik Melvin sensual.
“Aku akan membuatmu melayang, sayang,” goda Diana, tangan nakalnya menyentuh bagian sensitif Melvin yang mulai bereaksi.
“Kau sangat nakal,” desis Melvin, menahan tangan kekasihnya.
“Hanya untukmu, sayang,” Diana berkedip nakal dan memberikan kecupan singkat.
Setelah menempuh perjalanan panjang, akhirnya mereka tiba di bandara internasional Kota J dan langsung menuju apartemen untuk memenuhi hasrat mereka.
Beberapa hari kemudian, pada hari Minggu, Selena ikut membantu dan belajar membuat kue bersama Bibi Meta. Mereka membuat brownies panggang dengan berbagai topping. Rumah sedang sepi karena Mommy Yohana dan Daddy Jhonson sedang di luar kota. Serena berpikir kakaknya tidak akan berada di rumah, jadi dia menerima tawaran Bibi Meta untuk membuat kue bersama.
Beberapa loyang sudah matang, tinggal satu lagi yang harus masuk ke oven. Selena meminta Bibi Meta melakukan pekerjaan lain, sementara ia mengurus loyang terakhir. Ketika hendak membereskan barang-barang, tanpa sadar ia berbalik dan menabrak seseorang. Tepung yang dipegangnya tumpah mengenai dirinya dan orang itu.
“Ya ampun!” pekiknya kaget.
“Kakak!” serunya lebih kaget lagi. Melvin berdiri di depannya, menatap tajam menahan amarah.
“Maaf, Kak, sayu tidak sengaja,” ucap Serena dengan suara takut, mencoba membersihkan tepung di baju Melvin.
“Singkirkan tanganmu!” bentak Melvin, mendorong tangan Serena hingga gadis itu mundur beberapa langkah. Wajah Selena mulai memerah dan mata berkaca-kaca.
“Maaf, Kak,” Jawabnya dengan suara bergetar. Rasa bersalah dan sedih karena kekasaran Melvin memenuhi hatinya.
“Dasar ceroboh, dari dulu tidak pernah berubah,” tegur Melvin sebelum berlalu. Serena menatap punggungnya dengan tatapan penuh luka.
“Kenapa Kakak selalu dan semakin kasar padaku?” gumamnya sedih.
“Ya ampun, Non, kenapa jadi begini?” Bibi Meta terkejut melihat tepung yang berceceran di lantai.
“Maaf, Bi. Saya tidak sengaja,” ucap Selena bersalah.
“Sudah, tidak apa-apa. Sekarang lebih baik Non mandi dulu. Biar Bibi yang bersihkan ini. Lihat, bajumu penuh tepung,” ujar Bibi Meta.
Serena mengangguk setuju. “Maaf ya, Bi. Saya merepotkan.”
Setelah membersihkan diri di paviliun, Serena memutuskan untuk memasak sendiri. Awalnya, ia berniat makan malam bersama para pelayan di rumah utama. Namun, mengingat kejadian barusan dan kehadiran Melvin, ia lebih memilih menyendiri, takut jika kehadirannya semakin membuat Melvin kesal.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 154 Episodes
Comments