Setelah Indi bersedia untuk menunggu, Satria seolah mendapatkan kekuatan baru untuk berjuang. Lagipula, yang Satria minta bukan hal yang macam-macam, melainkan meminta Indi untuk menunggunya. Mendengar kesanggupan Indi, Satria menghela napas panjang. Lega rasanya, terlebih juga disaksikan oleh Ayah Pandu dan Bunda Ervita, dengan demikian orang tua juga pasti akan tahu kesungguhannya.
Entah kekuatan dari mana, Satria mengambil satu langkah dan memeluk Indi. Tangannya melingkari tubuh Indi dengan begitu eratnya. Tanda bahwa Satria ingin merengkuh Indi di kala gadis itu menangis.
"Terima kasih banyak, Dik," kata Satria.
Begitu juga dengan Indi, yang membenamkan wajahnya di dada Satria. Hingga air matanya mengenai kemeja yang Satria kenakan.
"Sudah, jangan menangis. Tidak apa-apa sekarang kita berusaha dulu, menangis dulu. Ibarat kata pepatah berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepi. Nanti akhirnya akan bahagia," kata Satria.
"Iya, Mas," balas Indi.
Usai itu, Satria mengurai pelukannya. Dia melantas menggenggam tangan Indi. Ketika menggenggam tangan Indi, Satria yakin bahwa tangan inilah yang akan selalu dia genggam. Selain itu, Satria menyerahkan tangan Indi kepada Ayah Pandu.
"Ayah, tolong jaga Indira yah. Satria yakin bahwa Ayah adalah sosok yang baik dan bijaksana. Satria ingin suatu hari nanti datang ke rumah dengan keadaan yang layak. Doakan Satria," katanya.
"Pasti, Nak Satria," balas Ayah Pandu.
Akhirnya Ayah Pandu memeluk Satria dan menepuki bahu Satria. Di dalam hatinya, Ayah Pandu mendoakan supaya apa yang dikerjakan Satria berhasil. Dia akan menunggu Satria datang lagi dengan restu dari Ramanya tentunya.
"Baiklah, Ayah dan Bunda. Satria pamit yah," pamitnya.
"Iya, kalau ke Jogjakarta mampir ke rumah, Sat," balas Ayah Pandu.
"Boleh Yah?"
"Boleh. Sekadar bermain tidak ada salahnya," balas Ayah Pandu.
Usai itu, Satria benar-benar pamit. Tenang rasanya, sekarang Satria menuju pulang ke rumahnya. Kebetulan Ramanya juga sudah menelpon supaya Satria bisa segera pulang. Hanya belasan menit berkendara dan sekarang Satria sudah tiba di rumah.
"Malam, Rama," sapa Satria.
"Darimana saja, Sat?" tanya sang Rama.
"Dari makan malam di Pracima tadi, Rama," balas Satria.
Usai itu Ramanya menganggukkan kepalanya. "Kita akan membuka toko jamu di Jogjakarta, Sat. Apakah kamu bisa mencarikan desainer interior untuk Store kita nanti. Tentunya mengusung konsep Jawa yang kental," kata Rama Bima.
"Indira bisa tuh, Rama," balas Satria.
Mendengar nama Indira kembali disebut, Rama Bima membelalakkan matanya. Kenapa putranya itu masih saja menyebut nama Indi. Padahal selama beberapa pekan, Satria tidak menyebut nama Indira sama sekali.
"Jangan sebut dia di rumah ini, Sat," balas Rama Bima.
"Kenapa Rama? Memang Indira adalah seorang Desainer interior. Hasil kerjanya juga bagus. Bekerja secara profesional tidak ada salahnya," balas Satria.
Pikir Satria, dia ingin membuat Ramanya kenal Indi terlebih dahulu. Jika nanti sudah kenal, sapa tahu bisa melihat bahwa Indira adalah gadis yang baik, beretika, memiliki sopan santun, selain itu Indira juga satu iman dengannya. Itu sudah memenuhi syarat untuk Satria.
"Rama sudah bilang lupakan dia," balas Rama Bima dengan tegas.
"Maaf, Rama. Satria tidak bisa. Satria hanya mencintai Indira saja. Walau apa pun risikonya, Satria tidak akan mengalah dengan perasaan Satria ini," balasnya.
"Omong kosong kamu, Sat. Tidak pernah ada sejarahnya di keluarga Negara menerima gadis tanpa nasab seperti dia," balas Rama Bima.
"Kita bisa membuat sejarah baru, Rama. Cinta bisa menerobos waktu juga. Prabu Rama Wijaya demi cintanya berani melangkahkan kakinya, menyeberangi samudra untuk menyelamatkan Dewi Sinta di Alengka kala diculik Rahwana. Begitu juga cintanya Satria untuk Indi, Satria akan mengarungi samudera itu untuk mendapatkan Indi."
Sekadar mengutip dari kisah Ramayana di mana Prabu Rama Wijaya tak gentar ketika menempuh perjalanan jauh dan mengarungi samudera untuk bisa mencapai Alengka. Untuk mendapatkan kembali pujaan hatinya yaitu Dewi Sinta. Pun, begitu juga dengan cinta yang Satria miliki adalah cinta yang mau berjuang.
"Jangan gegabah, Sat," balas Rama Bima.
"Tidak gegabah sama sekali, Rama. Justru ini kesungguhan Satria. Yang pasti Satria tidak akan macam-macam, Satria akan meminang Indi dengan layak dan dengan restu dari Rama pastinya."
"Anak muda yang gak tahu hitungan, sukanya menerabas aturan," balas Rama.
"Jodoh itu diatur Allah, Rama. Jodoh, maut, dan rezeki sudah Allah tetapkan. Manusialah yang membebani diri dengan semua aturan yang mengikat. Mohon, Rama ... yang Satria nikahi itu pribadinya Indi, bukan nasabnya. Seharusnya kita mulai bisa meninggalkan pemikiran kuno dan konservatif, mau menerima perubahan. Jangan memandang masa lalu seseorang. Sebab, mereka yang berdarah biru pun memiliki masa lalu yang kelam," jawab Satria.
Mendengarkan ucapan Satria, Rama Bima tersulut emosinya. Baginya, Satria sudah berani berbicara lancang. Tangan Rama Bima terangkat dan mendaratkan sebuah tamparan di wajah Satria.
Plak ....
"Keterlaluan kamu, Sat. Berani menggurui orang tua. Tangan kamu belum bisa menggapai telinga saja sudah ceramah."
Satria memegangi wajahnya yang panas terkena tamparan Ramanya. Pemuda itu kemudian tersenyum perlahan.
"Matur sembah nuwun, Rama. Satria tidak akan melupakan tamparan Rama ini. Namun, ini justru menjadi pengingat bahwa Satria akan berjuang," katanya.
"Rama akan menjodohkan kamu dengan gadis pilihan Rama. Kita kembali ke tradisi semula di mana orang tua yang mencarikan jodoh untuk anak-anak. Jodoh di tangan orang tua," balas Rama.
"Satria tidak akan menerimanya, Rama. Satria ingin menikah karena cinta. Tidak seperti Rama yang tidak pernah menaruh cinta kepada Ibu, menganggap Ibu hanya wanita yang Eyang jodohkan saja."
"Satria!"
Rama Bima benar-benar geram. Putranya itu begitu kelewat batas. Sampai berani membuka penilaian seperti itu. Tangan sang Rama rasanya ingin memberikan tamparan lagi kepada Rama.
"Kamu keterlaluan, Satria. Mencintai anak li'an, membuatmu melupakan semua norma dan aturan."
"Satria hanya berbicara jujur, Rama. Buka hati Rama, Satria sejak kecil meminta sesuatu kepada Rama. Satria baru meminta sekarang. Bahkan ketika Satria kecil pun, Rama memaksa Satria sekolah walau Satria belum siap. Itu sangat menyiksa, Rama. Bagaimana harus menangis terus-menerus di bangku sekolah. Sejak kecil Satria tidak bisa memilih dan selalu menuruti Rama. Lebih pedih, masa kecil Satria habis di Jogja untuk belajar, tanpa pernah tahu keberadaan Rama yang membangun bisnis Jamu ini. Sekali saja, Rama ... biarkan Satria memilih yang terbaik untuk Satria. Perkara jodoh, Satria tak ingin coba-coba. Satria ingin beribadah dalam pernikahan Satria. Mohon, Rama ...."
Rama Bima terdiam, dia mendengarkan semua ucapan Satria. Memang begitu adanya. Hidup Satria seolah sudah diatur dari kecil. Pemuda itu seolah tak memiliki kehendak bebas untuk menentukan dan menjalankan apa yang dia mau.
Bahkan untuk perkara jodoh, Ramanya sudah berniat menjodohkan Satria dengan gadis lain. Sekarang, Satria bukan sekadar memperjuangkan cintanya, tapi juga memperjuangkan haknya untuk bebas dan merdeka.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 297 Episodes
Comments
Windy Veriyanti
keren Satria 👍👏
2024-07-28
1
Hana Nisa Nisa
top bgt
2024-03-16
1
susi 2020
😍😍
2023-09-20
1