Keesokan harinya, di rumah dengan model Joglo, rumah adat khas Jawa yang didominasi dengan penggunaan material kayu jati dan juga aroma Jamu atau minuman tradisional khas Jawa yang tercium harum, pagi itu keluarga Bima Negara berkumpul bersama untuk menikmati sarapan.
Meja kayu dilapisi dengan sarung meja dari batik. Makanan yang disajikan oleh adalah masakan rumahan khas Jawa. Ada pasangan jelang usia paruh baya yang menunggu kedatangan putra-putrinya bergabung di meja makan.
"Sugeng enjing Rama dan Ibu," sapa Satria mengucapkan selamat pagi kepada kedua orang tuanya.
"Pagi, Sat ... kemarin pulang dari Jogja agak malam to?" tanya Ramanya.
"Iya, Rama. Jalanan kemarin ramai lancar. Agak macet di beberapa titik saja, Rama," balas Satria.
Tampak sang Rama menganggukkan kepalanya. Lantas, ada adiknya Satria yang kala itu mengenakan seragam Putih Abu-Abu pun turut bergabung di meja makan.
"Pagi Rama dan Ibu," sapanya.
Gadis manis dengan rambut sebahu itu tampak semangat ketika hendak berangkat sekolah. Dia masih duduk di bangku kelas 2 SMA Negeri favorit yang ada di Kota Solo.
"Pagi, Sitha ... gak terlambat kan hari ini?" tanya Ibunya.
"Tidak, Bu. Bisa sarapan roti sedikit, habis ini berangkat ke sekolah," balasnya.
Satria melirik ke adiknya itu. "Bangunnya lebih pagi, Tha. Jangan lelet," sahutnya.
"Ish, apaan sih Mas Satria. Masih pagi juga kok. Mana sih calon Mbak Iparnya Sitha?" tanya Sitha tiba-tiba.
Mendengar ucapan calon kakak ipar, atensi Rama dan Ibunya pun teralihkan kepada Satria. Apakah benar selama ini sudah ada gadis yang disukai oleh Satria. Akan tetapi, kenapa putranya itu tidak pernah menceritakan apa-apa.
"Ada yang kamu suka, Sat?" tanya Bu Galuh yang tak lain adalah ibunya Satria.
"Rama pikir kamu masih single, masih sendiri. Rama kepikiran malahan mau menjodohkan kamu sama putrinya Pak Panggih, Juragan Beras dari Delanggu," balas Rama.
Lantaran sudah kepalang tanggung, Satria pun memberanikan diri untuk berbicara yang sesungguhnya dengan kedua orang tuanya. Selama ini memang keduanya seolah Backstreet, tapi bukan berarti tak serius. Justru, keduanya memilih sama-sama serius ketika sudah lulus dan juga siap menikah.
"Rama dan Ibu ... sebenarnya sudah ada gadis yang Satria suka sejak lama. Teman satu kampus Satria dulu waktu di Jogjakarta. Mengingat kami sudah lulus dan sama-sama sudah bekerja, saatnya meniti ke jenjang yang lebih serius. Bolehkah kalau Satria berniat meminang gadis pilihan hati Satria?" tanyanya.
Dengan sopan dan hati-hati, Satria mengatakan niat hatinya kepada Rama dan Ibunya. Disaksikan adiknya, Sitha sendiri. Sitha senyam-senyum melihat kakaknya yang berbicara serius.
"Kamu sudah pastikan bibit, bebet, dan bobotnya?" tanya sang Rama.
Rupanya sang Rama masih berpatokan dengan bibit, bebet, dan bobot. Bibit adalah garis keturunan, bebet adalah status ekonomi, dan bobot adalah status pendidikan. Untuk orang Jawa sendiri, ketiganya menjadi kriteria turun-temurun untuk memilih pasangan hidup.
"Setahu Satria, gadis itu dari keluarga baik-baik. Eyangnya adalah juragan batik, Ayah dan Bundanya juga baik, lantas dia sendiri adalah Desainer Interior di kantor milik Ayahnya sendiri," balas Satria.
Tentu Satria hanya mengatakan apa yang dia tahu saja. Walau sebenarnya juga tidak begitu tahu hal yang mendalam dan sangat detail mengenai gadis yang dia cintai itu.
"Juragan batik apa?" tanya sang Rama.
"Batik halus khas Jogja. Namanya Batik Hadinata," balas Satria.
Mendengar nama Hadinata, itu bukan hal yang asing untuk pengrajin batik. Bahkan memiliki garis keturunan yang sudah mengrajin batik sejak era Mataraman. Namun, bagi Rama Bima yang memang harus melihat bibit, bebet, dan bobot gadis yang disukai Satria. Agaknya dia harus melihat sendiri, seperti apa keluarga Hadinata itu.
"Sudah berapa lama pacaran?" tanya Rama Bima lagi.
"Sejak kuliah, Rama ... sekitaran tiga tahun," balas Satria.
Mendengar pengakuan Satria, maka memang sudah lama putranya itu diam-diam pacaran dengan gadis dari Jogjakarta. Sang Putra Solo berdarah biru rupanya sudah mencintai gadis lain. Tentu membuat sang Rama yang terbilang keras dan hitung-hitungan mengenai bakal calon pendamping Satria harus serius. Tidak boleh salah pilih. Wanita yang cocok untuk putranya tak hanya cantik, tapi juga berkepribadian baik, dan jelas asal-usulnya. Tidak boleh sembarangan gadis yang mendampingi Satria, karena darah biru yang nantinya akan diteruskan Satria.
"Jadi, bagaimana Rama?" tanya Satria.
"Cantik kok, Rama," sahut Sitha tiba-tiba.
Di sana sang Rama sudah melirik Sitha. Baginya ini adalah pembicaraan yang serius. Yang harus dipikirkan matang-matang.
"Sebentar, Rama berdiskusi dengan Eyangmu dulu. Kenapa harus orang Jogjakarta, Sat?" tanya sang Rama.
Di sana Ibu Galuh yang diam sejak tadi akhirnya menundukkan kepalanya. Seolah ucapan suaminya itu ditujukan untuknya. Jika Sitha tidak peka, Satria menatap ke Ibunya. Perlahan, Satria menaruh satu tangannya dan menggenggam tangan Ibunya. Dia usap perlahan punggung tangan Ibunya itu. Seolah supaya Ibunya tak perlu khawatir ada Satria di sisinya.
"Mungkin sudah dikehendaki Allah, Rama," balas Satria.
Rama itu diam. Dia meminum Jamu Beras Kencur yang sudah tersaji di meja, setelahnya dia menatap Satria.
"Rama dengarkan niat hatimu ini. Namun, jangan gegabah. Rama akan diskusikan dulu. Jangan ke rumahnya, jika memang tidak berniat menikahinya. Ajaran yang baik harus terus digunakan," ucap sang Rama.
"Nggih, Rama," balas Satria.
Sekadar mengatakan niat hatinya saja, butuh keberanian untuk Satria. Walau Rama nya keras, belum tentu niatnya salah. Justru Satria akan berusaha. Dia ingin meminang gadis yang benar-benar dia cintai, bukan sekadar gadis yang nantinya akan dipilihkan orang tuanya untuknya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 297 Episodes
Comments
himawatidewi satyawira
mirip pak supri nih babenya si sat set
2023-11-15
3
himawatidewi satyawira
ini kyknya tmn tk didi yng cengeng itu ya
2023-11-15
1
himawatidewi satyawira
ribet bngt sih
2023-11-15
1