Menjemput Indi dari rumah Firhan, Pandu dan Ervita juga turun sebentar. Sekadar menyapa karena sudah ada hubungan baik dari mereka. Saling memaafkan, melupakan masa lalu, untuk hidup di masa depan yang jauh lebih baik.
Rupanya itu benar-benar bisa mereka rasakan. Melepaskan dendam, memberi pengampunan, dan juga menjunjung toleransi dengan membiarkan masa lalu tetap berada di belakang mereka. Sedangkan, masa depan yang mereka usahakan dan harapkan jauh dari kisah-kisah sedih nantinya.
"Saling pamit?" tanya Pak Firhan di sana.
"Iya, sudah menjelang sore. Terima kasih yah, maaf Indi datang tanpa memberitahu terlebih dahulu," balas Ayah Pandu.
"Tidak apa-apa. Lain kali kalau ke Solo, mampir yah. Terima kasih banyak."
Sekadar menyapa, kemudian Ayah Pandu mengemudikan mobilnya lagi. Di kursi belakang dia tahu kalau Indi pasti sedih. Diamnya Indi seolah sudah menjadi kunci jawaban yang sifatnya mutlak bagi Ayah Pandu dan Bunda Ervita.
"Kita mampir ke suatu tempat ya, Mbak?" ajak Bunda Ervita.
"Kemana, Nda?" tanya Indi.
"Ke tempat yang bagus untuk relaksasi, mendinginkan kepala dan hati. Mau kan?"
"Iya, boleh, Nda," jawabnya.
Merasa bahwa Indi tidak keberatan sama sekali, maka Ayah Pandu melajukan mobilnya ke pusat kota Solo. Tempat yang ingin Ayah Pandu dan Bunda Ervita tuju sekarang adalah Pracima Tuin yang berada di dalam kompleks Pura Mangkunegaran.
Pracima Tuin sendiri dahulunya adalah taman pribadi milik KGPAA (Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya) Mangkunegara VII. Taman ini terinspirasi dari Garden City yang ada di Belanda. Lantas, konsep itu diaplikasikan di Pura Mangkunegaran. Sekarang, taman ini direvitalisasi ulang dan dibuka untuk umum.
Desain taman yang memadukan konsep Eropa dan Jawa sangat kental begitu memasuki taman ini. Sangat indah. Terlebih di sore hari yang sejuk, banyak burung-burung gereja yang berkicauan. Dengan mengunjungi taman ini, Ayah Pandu dan Bunda Ervita berharap bisa mengurangi kesedihan di hati Indi.
"Ke taman dulu. Mumpung sekarang taman ini sudah dibuka untuk umum, Mbak," kata Ayah Pandu.
Tampak Indi terpesona dengan keindahan taman itu. Bangunan khas Eropa yang megah, dengan kombinasi sempurna aneka bunga. Ada pohon beringin dengan ayunan yang dibuat dari batang-batang pohon, sangat indah. Benar, ketika mendatangi taman ini seakan berjalan-jalan ke Holland.
"Indah banget, Yah," kata Indi.
"Biar putrinya Ayah ini enggak sedih lagi," balas Ayah Pandu.
Indi tersenyum. Ayah dan Bunda memang sangat memahami dirinya. Bahkan emosi dalam jiwanya yang tak terucap saja Ayah Pandu bisa tahu.
"Kita makan bersama yah. Di sini adalah ragam kuliner khas Pura Mangkunegaran Surakarta," ajak Bunda Ervita.
Menuju ke dalam restoran, mereka sepakat memesan Huzarensa. Huzarensa sendiri adalah selad dengan irisan kentang, wortel, dibalut dengan mayonaise lalu disajikan dengan daging ayam (Pithik linting), selada, acar, kubis, nanas madu, bengkuang, dan acar bombay. Untuk minumnya, mereka juga memesan teh yang otentik yaitu Teh Pracimasana. Ketiganya sampai tertawa karena memesan menu yang sama persis.
"Kok bisa samaan sih?" tanya Bunda Ervita.
"Sehati, Nda," jawab Ayah Pandu.
Sembari menunggu semua pesanan mereka disajikan, kemudian Indi mencoba untuk bercerita kepada Ayah dan Bundanya. Memang Indi terbiasa untuk bercerita kepada kedua orang tuanya, justru rasanya masih ada beban ketika tidak bercerita apa pun kepada kedua orang tuanya.
"Tadi, Indi bisa menjaga emosi kok, Yah," kata Indi. Tentu itu adalah kalimat pembuka yang nantinya akan berkembang ke dalam inti cerita.
Atensi Ayah Pandu dan Bunda Ervita teralihkan sepenuhnya kepada Indi. Keduanya tentu siap mendengarkan apa yang hendak Indi ceritakan kali ini.
"Lantas, bagaimana, Mbak?" tanya Bundanya.
"Ya, manusiawi kalau Indi awalnya kesal dan kecewa. Namun, tadi juga dijelaskan bahwa kesalahan Om Firhan itu satu, dia tidak mau bertanggung jawab. Akan tetapi, Indi sadar, manusia hanya menjalani apa yang semata-mata sudah Allah takdirkan dan gariskan saja. Jika tidak ada kisah Bunda yang penuh liku ini, mungkin saja kita tidak akan bertemu dengan Ayah Pandu. Dibalik semua petaka, ada hikmahnya. Mungkin harus begini dulu adanya, supaya Indi menjadi anaknya Ayah," ceritanya.
Kejujuran Indi sangat diapresiasi oleh kedua orang tuanya. Memang hal wajar jika Indi kecewa. Akan tetapi, Ayah Pandu dan Bunda Ervita bangga karena putrinya bisa menyingkapi peristiwa buruk di masa lalu. Artinya, Indi sudah dewasa sekarang.
"Maafkan Bunda juga ya, Mbak," balas Bundanya.
"Tidak usah meminta maaf, Bunda. Oh, iya ... satu lagi. Indi harap Ayah dan Bunda tidak marah yah, tadi Indi memanggil Om Firhan dengan sebutan Bapak," katanya memberitahu.
"Kenapa memangnya, Mbak?" tanya Bunda Ervita.
"Awalnya Om Firhan meminta Indi memanggilnya Ayah, tapi ... Indi tidak bisa. Di dalam hidup Indi, satu-satunya Ayah yang Indi miliki adalah Ayah Pandu. Indi tidak bisa memanggil yang lain dengan sebutan Ayah. Sebagai gantinya, Indi memanggil Bapak. Lagipula, di Jawa panggilan Bapak itu lazim kepada pria yang lebih tua dari kita," balas Indi.
Hati seorang Ayah Pandu benar-benar menghangat. Putrinya memiliki pandangannya sendiri. Kasih sayang yang tulus walau dari Ayah sambung ternyata dirasakan oleh Indi dengan baik.
"Yayah, yang Indi lakukan tidak melukai, Yayah kan?" tanya Indi.
"Tidak, Mbak Indi ... tidak."
Ayah Pandu saja menitikkan air matanya. Bukan sedih, tapi terharu. Dari Indi kecil, dia sudah begitu menyayangi Indi. Sosok pria yang benar-benar tidak membedakan mana putri sambung dan mana putri kandung. Indi dan Irene disayang dengan tulus dan sama besarnya. Dulu Ayah Pandu berpikir mungkin saja putrinya akan berubah ketika tahu siapa Ayah biologisnya yang sesungguhnya. Akan tetapi, tidak ... Indi juga mempertimbangkan perasaannya.
"Mbak Indi, putrinya Yayah ... jangan merasa kamu sendirian. Jangan merasa kamu adalah anak yang tidak diinginkan hingga menimbulkan inner child dan rasa tertolak. Bunda dan Ayah sangat sayang kamu. Walau secara sipil, kamu bukan darah daging Ayah, di hati dan hidup Ayah, kamu adalah putrinya Ayah yang Ayah sayangi. Ikatan ini tidak dibuat oleh manusia, melainkan Allah yang membuatnya," kata Ayah Pandu.
Indi mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekarang, ketiga sama-sama menitikkan air mata. Biarkan orang lain menganggap nasab Indi adalah aib, tapi untuk Ayah Pandu dan Bunda Ervita itu justru menjadi jalan di mana Allah yang membentuk, menyatukan, dan mengeratkan ikatan itu.
Hingga dari jarak beberapa meter, terdengar suara bariton yang menyapa Indi di sana.
"Dik Indira ...."
Berusaha menyeka air matanya, lantas Indi menoleh ke arah sumber suara. Gadis itu mengedarkan pandangannya dan berusaha melihat siapa yang memanggil namanya. Siapakah orang itu?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 297 Episodes
Comments
susi 2020
🙄🙄😔
2023-09-20
1
Ersa
mudah2an ini saingannya satria... biar satria lebih gigih menperjuangkan Indi
2023-07-24
0
Riana
satriaaaaa
2023-05-21
2