Setiap pertanyaan dari Indi adalah pertanyaan yang menghunus hati Firhan. Bagaimana tidak, itu berarti Indi sudah tahu semua mengenali asal-usulnya. Indi tahu bahwa dirinya adalah seorang gadis tanpa nasab. Walau Indi menanyakan dengan sopan, tapi Firhan merasa sangat bersalah karenanya.
"Maafkan Indi, memang bukan sepenuhnya salah Om Firhan. Bunda juga salah karena tak bisa menjaga dirinya, tapi kesalahan terbesar Om adalah lepas tanggung jawab begitu saja. Dampaknya bukan hanya dirasakan Bunda 25 tahun yang lalu, tapi Indi rasakan sekarang."
Mempertanyakan semua itu, Indi benar-benar menekan emosinya. Dia berbicara dengan sopan. Walau sebenarnya ingin marah dan meluapkan semua kekecewaannya. Satu hal yang Indi lakukan dia merasa kedua belah pihak salah. Ya, baik Bundanya dan Om Firhan sama-sama bersalah. Yang Indi sampaikan dampak dari semua itu dia rasakan sekarang juga.
"Semua itu ...."
Ketika hendak menjelaskan semuanya, Om Firhan bingung. Bukannya tak mau menjelaskan, tapi dia harus memulai dari mana?
"Jelaskan saja, Indi berhak tahu," sahut Tante Wati.
"Kala itu terjadi kurang lebih 25 tahun yang lalu. Kami masih sama-sama duduk di bangku kuliah waktu itu, hingga akhirnya petaka itu terjadi. Benar yang kamu katakan, Nak. Dosa terbesar adalah lepas dan lari dari tanggung jawab. Kala itu, Om tidak siap menikah muda. Bukan perkara menikah, tapi anak kuliah dan belum memiliki mata pencaharian mana bisa bertanggung jawab? Lalu, cita-cita yang digantungkan orang tua, membuat Om mengeraskan hati dan tidak akan pernah mau bertanggung jawab. Maafkan Om, Indi ... kamu menjadi seorang gadis tanpa nasab juga karena Om," balasnya.
Indi mendengarkan baik-baik semua penjelasan itu. Intinya memang dulu Om Firhan tidak pernah mau bertanggung jawab. Hingga bagian ini, Indi menerimanya.
"Maafkan Om, Indi. Semua memang karena Om. Akan tetapi, Om sudah mendapatkan semua hukumannya. Tidak ada seorang ayah yang rela dipanggil Om oleh darah dagingnya sendiri. Tidak ada seorang ayah yang mau putri kandungnya lebih sayang kepada ayah sambungnya. Padahal anak itu lahir dari darah dan dagingku. Om menerima semua ini puluhan tahun lamanya. Kalau Om boleh berkata jujur, Om juga ingin mendapatkan kasih sayang darimu," kata Firhan.
Dia memang sudah menurunkan egonya, tapi dia jujur mengakui bahwa sakit rasanya melihat putri biologisnya lebih sayang kepada ayah sambungnya. Bagi Om Firhan, ini adalah hukuman seumur hidup yang harus dia pikul.
"Kalau meminta maaf tentu Indi memaafkan kok, Om. Allah saja maha pemaaf, tapi dengan nasab Indi bagaimana?"
Om Firhan dan Tante Wati sama-sama tercekat. Memang, kalau memaafkan pastilah Indi memaafkan. Namun, bagaimana dengan nasabnya? Maaf tak bisa mengembalikan nasab.
"Maafkan Om, Indi ... dulu Om tak berpikir sejauh itu."
Tante Wati yang turut duduk di sana menitikkan air matanya. Ini adalah drama paling pilu yang pernah dia lihat. Akan tetapi, semua kisah ini fakta adanya. Tante Wati juga tahu ketika hendak menikah beberapa keluarga mempertanyakan bebet, bibit, dan bobot calon pasangannya.
"Apa ada pria yang menolak kenasabanmu, Indi? Apa perlu Om turut menjelaskan?" tanya Om Firhan.
"Ya, ada, Om. Namun, tidak apa-apa. Mungkin memang harus jalannya seperti ini," balas Indi.
"Siapa dia, Nak? Jika Om Firhan bisa membantu, Om akan sangat bahagia."
Indi menggelengkan kepalanya. "Tidak apa-apa, Om. Sudah berakhir juga. Sekarang yang pasti Indi sudah tahu siapa ayah kandung Indi yang sebenarnya. Itu saja sudah cukup," balasnya.
Alih-alih menyalahkan, Indi hanya ingin tahu bahwa ayah kandungnya itu siapa. Selain itu, alasan kepada ayah kandungnya itu tidak bertanggung jawab, juga Indi sudah tahu. Indi lebih bisa menerima sekarang, dalam setiap peristiwa ada hikmahnya. Mungkin kalau Bundanya tidak mengalami semuanya dulu, Indi akan kehilangab kesempatan menjadi putri sambungnya Yayah Pandu.
"Indi marah sama Om?" tanya Om Firhan sekali lagi.
"Bukan marah. Awalnya Indi sedih dan kecewa. Indi kira Yayah Pandu adalah ayah kandung Indi, sama seperti Dik Irene. Ternyata tidak. Indi justru baru tahu bahwa di akta kelahiran Indi hanya tertera nama Bunda di sana," ceritanya.
Sembari mengurai cerita, Indi juga membesarkan hatinya sendiri. Manusia ketika dia merasa sedih dan kecewa. Terlebih dia tahu semua itu ketika dewasa dan dalam hitungan beberapa pekan saja.
"Syukurlah, Om Firhan kira kamu akan marah dan menyalahkan Om?" balasnya.
Indi menggelengkan kepalanya. "Ayah Pandu bilang jangan menaruh dendam. Hidup dengan membawa dendam di dalam hati, justru akan membebani diri sendiri. Allah saja maha pemaaf dan pemurah, semua dosa manusia akan diampuni Allah, syaratnya hanya satu, dia membuka hati dan bertobat. Selama masih hidup, kesempatan untuk bertobat selalu ada," balas Indi.
Tanpa pertobatan tidak akan ada pengampunan. Namun, ketika mau menundukkan dirinya, Allah adalah satu-satunya pribadi yang memiliki hak mutlak untuk mengampuni dosa-dosa semua makhluk di bumi. Pengajaran itu selalu Ayah Pandu tekankan kepada Indi dan Irene. Maha pengampunnya Allah, karena Allah adalah Maha Pengasih dan lagi Maha Penyayang.
"Terima kasih, Nak. Terima kasih sudah mengampuni Om Firhan," balasnya.
"Iya," balas Indi singkat.
"Mulai sekarang, apa mungkin kalau kamu memanggil Om dengan sebutan ayah?" tanya Om Firhan.
Pikirnya jika memang sudah memaafkan, apakah sekiranya bisa Indi memanggilnya ayah? Om Firhan ingin memiliki kesempatan ketika anak kandungnya itu bisa memanggilnya ayah juga.
"Maaf, tapi ... Indi belum bisa. Selama ini, Indi hanya tahu dan mengenal satu orang ayah dan beliau adalah Ayah Pandu."
Mendengar jawaban Indi, Om Firhan kembali sedih. Bagaimana pun, posisinya di dalam hati dan hidup Indi tidak akan pernah melebihi sosok Pandu. Dia harus berpuas hati dengan panggilan Om saja.
"Tidak apa-apa," jawab Om Firhan.
"Indi bisa memanggil yang lain, Bapak misalnya," jawab Indi.
Sekarang bulir bening itu mengalir begitu saja dari sudut mata Om Firhan. Memang Indi tak bisa memanggilnya ayah, tapi Indi mau memanggilnya Bapak. Baiklah, itu sudah jauh lebih baik daripada sekadar Om.
"Terima kasih, Nak ... Anakku."
Air mata berderai. Suara Om Firhan pun bergetar. Berpuluh tahun lamanya, seperempat abad akhirnya saat itu tiba. Di hadapan Indi, dia bisa mengakui Indi sebagai anaknya. Walau hanya sekadar pengakuan lisan. Sebab, yang tertera di akta kelahiran Indi tidak bisa diubah. Namun, bisa mengakui Indi secara lisan rasanya sudah membesarkan hati Om Firhan.
"Terima kasih Indi, Anakku ...."
"Sama-sama, Bapak. Sekaligus Indi pamit karena itu Ayah sudah menjemput," pamitnya bersamaan mobil milik ayahnya yang datang.
"Sering main ke sini, Nak. Hati-hati, kalau butuh bantuan Bapak jangan sungkan," balasnya.
Indi berpamitan dengan memberi salam takzim kepada Pak Firhan dan Tante Wati. Marah-marah atau emosi tak ada guna. Lagipula, semua jawaban sudah dia dapatkan. Indi melangkahkan kakinya keluar, sedikit menunduk gadis itu menitikkan air matanya dan segera menyekanya sendiri.
Sekarang, Indi akan fokus untuk bekerja. Terkait dengan Satria, nanti pastilah kalau jodoh bertemu lagi. Kalau tidak jodoh, Tuhan akan siapkan jodoh sepadan yang bisa menerima kekurangan terbesarnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 297 Episodes
Comments
Hana Nisa Nisa
🥰🥰🥰🥰
2024-03-16
1
susi 2020
🥰🥰🥰
2023-09-20
0
susi 2020
😭😭😭
2023-09-20
0