Pembicaraan dengan Indi agaknya masih menjadi tarik-ulur. Walau Satria sudah meminta, tetapi Indi masih diam. Jujur saja, diamnya Indi bukan hal yang Satria harapkan. Sebab, Satria menginginkan respons dari Indi.
"Dik, apa perlu aku menyampaikan niat hatiku ini kepada Ayah dan Bunda?" tanya Satria.
Tanpa niat yang tulus, mustahil Satria berkata demikian kepada Indi. Sebab, Satria juga menginginkan orang tua Indi bisa tahu ketulusan dan kesungguhan yang dia miliki. Sekali lagi, Satria mengatakan tidak untuk main-main, tapi lebih ke sungguh-sungguh serius.
"Mas Satria tidak terpengaruh dengan statusku yang tanpa nasab?" tanya Indi sekarang.
Dengan cepat Satria menggelengkan kepalanya. "Tidak terpengaruh sama sekali. Toh, yang aku cintai pribadimu, Dik. Bukan nasabmu. Gadis yang lembut, berprilaku baik, memiliki sopan santun, dan lembut seperti kamu. Cukup pribadi kamu, Dik. Aku tidak butuh yang lain."
Kedua bola mata Indi berkaca-kaca, semua itu karena ucapan Satria yang sangat menyentuh hatinya. Seorang pria yang tidak mempermasalahkan nasabnya. Seorang pria yang bisa melihat dirinya sebagai pribadi.
"Sekalipun Rama mengatakan aku anak hasil zina?" tanya Indi lagi.
"Iya, aku tidak peduli. Aku juga tidak menghakimi Bundamu, Dik. Justru aku salut dengan Bundamu yang mau hamil sendirian, tanpa suami. Ibuku pernah berkata ketika hamil, istri sangat membutuhkan suaminya. Sementara Bundamu melewatinya sendiri. Sudut pandangku sama seperti Yayahmu, Bunda adalah sosok yang terpuji. Bagaimana kasih sayangnya kepada anak-anak, pengabdiannya kepada suami. Kepribadian Bunda kamu sangat baik. Aku pun yakin, kamu gadis yang sangat baik."
Sementara di dalam Pracima, sesekali Ayah Pandu dan Bunda Ervita memperhatikan ke luar, sekadar ingin tahu di mana Indi dan Satria.
"Yang dibicarakan apa ya, Yah?" tanya Bunda Ervita.
"Ayah sih sangat yakin, keduanya masih sama-sama cinta, Nda. Cuma terhalang restu. Bagaimana lagi, cinta juga membutuhkan restu orang tua," balas Ayah Pandu.
"Ayah sendiri melihat Satria gimana?" tanya Bunda Ervita.
"Walau Ayah tidak begitu mengenal Satria, karena dia datang ke rumah juga waktu mau tunangan, dari ceritanya Indi, Ayah percaya Satria adalah sosok yang baik. Pria yang santun, mungkin karena dia berdarah biru," balas Ayah Pandu.
"Yayah tidak berdarah biru, tapi Yayah juga baik banget. Karakter dan kepribadian kita bukan hasil darah, Yah. Banyak faktor, sementara Ayah kan memang baik, dididik dan dibesarkan di tengah keluarga yang baik juga. Kalau Yayah gak baik, mana mau menerimaku. Dulu, aku pernah berbicara saat Ayah mau serius, bahwa statusku jauh lebih rendah dan lebih hina dibandingkan seorang janda. Janda jelas siapa suaminya, siapa Ayah dari anaknya, sementara aku tidak. Lihatlah, akta kelahiran Indi saja hanya tertera namaku," balas Bunda Ervita.
Dengan cepat Ayah Pandu menggelengkan kepalanya. "Cintaku bisa menerobos batas, Nda. Tidak tahu dengan cinta pemuda santun itu untuk putriku. Jika benar bisa menerobos batas pasti luar biasa. Ya sudah, kita keluar saja yuk. Ajak Indi pulang," balas Ayah Pandu.
Akhirnya Ayah Pandu membayar dulu semua makanan mereka dan kemudian berjalan ke arah air mancur, mendekati Indi dan Satria di sana yang tampak berbicara dengan serius.
"Sudah belum?" tanya Bunda Ervita.
"Sebentar Bunda," balas Indi.
Kemudian Satria berbicara kepada kedua orang tua Indi di sana juga. Tidak mau mengulur-ulur waktu mumpung sekarang bertemu.
"Maafkan Satria, Ayah dan Bunda ... begini, sebenarnya Satria sangat mencintai Indi. Bisakah Ayah dan Bunda memberikan restu untuk kami? Satria akan berjuang meyakinkan Rama. Selama masa itu, apakah Ayah dan Bunda mengizinkan Indi berdiri di samping Satria?"
"Nak Satria, dengan kenasaban Indi, agaknya itu tidak bisa diterima keluarga bangsawan sepertimu," balas Ayah Pandu.
Sebenarnya di dalam hati Ayah Pandu bangga karena Satria terlihat bersungguh-sungguh. Ayah Pandu menghargai kejujuran Satria itu. Namun, Ayah Pandu hanya sekadar ingin Satria melihat ke realita bahwa Indi, seorang gadis yang nasab, tidak layak untuk keluarganya yang memang berdarah biru.
"Yang penting Indi dan kepribadiannya, Ayah. Yang Satria nikahi bukan nasabnya," balas Satria.
"Namun, ada kalanya ketika emosi dan terjadi pertikaian suami dan istri, bisa saja kamu menyudutkan Indi karena kenasabannya," balas Ayah Pandu.
"Di hadapan Ayah dan Bunda, Satria berjanji tidak akan pernah mengungkit-ungkit hal itu," jawab Satria.
"Bukan apa, Nak Satria ... hanya saja itu bisa menyakiti hati Indi nanti," balas Ayah Pandu.
Nasihat itu Ayah Pandu sampaikan karena selama hampir seperempat abad menikah dengan Bunda Ervita, tidak pernah Ayah Pandu mengungkit masa lalu. Dia membuktikan kepada istrinya bahwa cintanya benar-benar bisa memaklumi masa lalu. Cintanya bisa menerobos kesenjangan. Ayah Pandu selalu membuktikan itu.
"Satria berjanji dan tentunya akan membuktikannya. Tolong, restui kami berdua Ayah dan Bunda. Kalau mau berjuang dan menunjukkan kesungguhan dengan gigih pasti Rama akan luluh. Batu bisa lapuk dengan tetesan air. Begitu juga, Satria ingin menjadi air itu," balas Satria.
"Semua risiko dan konsekuensinya, bagaimana Nak Satria?" tanya Bunda Ervita.
"Mungkin kalau sudah tidak menemukan ujungnya, Satria rela menjadi Prince Harry yang melepaskan kebangsawanannya untuk istrinya. Satri juga siap melakukan itu."
Deg.
Semua mata menatap Satria. Itu adalah perkataan yang sungguh-sungguh dan tidak main-main. Bahkan Satria siap meninggalkan status keningratannya. Tentu itu adalah risiko tertinggi dari semua hambatan yang dialami Satria.
"Jangan begitu, Mas Satria," sahut Indi.
"Serius, Dik. Aku tidak membual sekarang. Aku bersungguh-sungguh," balas Satria.
"Pikirkan dulu, Satria. Jangan gegabah. Pikirkan semua dengan kepala dingin. Jangan sampai menyesal di kemudian hari," balas Bunda Ervita.
Satria merespons dengan menganggukkan kepalanya.
"Mohon Ayah dan Bunda untuk merestui kami?"
"Bagaimana, Mbak Indi?" tanya Ayah Pandu.
Ayah Pandu hanya ingin Indi yang memutuskan. Tidak akan mengintervensi terlalu jauh. Ayah Pandu percaya putrinya sudah dewasa dan bisa mengambil keputusan. Satria menjadi harap-harap cemas karenanya.
"Dik, bagaimana? Tunggu dan dukunglah aku. Sungguh, aku memohon," kata Satria.
Indi mulai terisak di sana. Dia tahu dan bisa merasakan besarnya cinta seorang Satria Bima Negara. Akan tetapi, jalan yang harus dia tempuh benar-benar terjal dan berliku.
"Yah, Nda ...."
Indi berbicara dengan terisak dan menatap Ayah dan Bundanya. Mungkin niatnya adalah meminta saran kedua orang tuanya.
"Tanpa kesungguhan dan keseriusan tidak mungkin aku meminta izin langsung kepada Ayah dan Bunda, Dik," kata Satria sekarang.
"Bolehkah Yah, Nda?" tanya Indi.
"Ikuti kata hatimu, Mbak," balas Bunda Ervita.
Lagi, Indi terisak. Sesak rasanya. Andai ada restu, semua air mata tidak perlu tumpah seperti ini. Namun, bagaimana lagi, cinta akan lebih indah dengan air mata.
"Aku akan menunggu, Mas Satria ...."
Ah, leganya Satria. Itu adalah jawaban yang Satria tunggu. Akhirnya Indi mengikuti kata hatinya. Dengan jawaban Indi, pastilah Satria akan berusaha, tidak akan tinggal diam.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 297 Episodes
Comments
susi 2020
🥰🥰🥰
2023-09-20
0
susi 2020
🤩🥰😍
2023-09-20
0
Riana
jalan segera dimulai....
pertengkaran keluarga
pertentangan keluarga
tidak lagi ada keharmonisan keluarga
demi bersama dg orang dicinta
2023-05-21
3