CUP

Bukan Salahku, Indahnya Reuni Bagian 20

Oleh Sept

Terlalu bahaya wanita dan laki-laki kalau terlalu lama bersama. Apalagi di tempat tertutup seperti di dalam mobil misalnya. Bisa dipastikan bahwa setan akan melancarkan bisikan-bisikan yang menjerumuskan keduanya.

Begitu juga Tari dan Rio, sama-sama dewasa, meskipun Tari merupakan istri orang, sangat bahaya jika ia dekat-dekat lawan jenis.

Seperti saat ini, jantung Tari mulai tidak aman, ketar-ketir sejak tadi. Tari sudah panik duluan ketika tangan Rio menyentuh kulitnya.

Dia bisa merasakan bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi jika mereka kedua terbawa arus.

"Tari ... Kamu masih istri orang," batin Tari yang bergejolak. Ia mencoba menyadarkan dirinya agar tidak larut dalam tipu daya yang semu tersebut.

Sentuhan Rio bisa berakibat sangat fatal. Dari sentuhan semuanya bisa merambat ke mana-mana. Sebelum terlambat, Tari sudah mewanti-wanti dirinya sendiri, agar tetap waras dan tidak terjerumus oleh pesona Rio yang memang menyilaukan.

Wanita mana yang menolak pria sebaik dan setampan itu? Sayang, Tari sudah menikah. Sudah menjadi istri seorang Dewa yang sikapnya berbanding terbalik dengan sikap Rio.

Meskipun demikian, Tari tetap waras. Kini ia mencoba untuk menghindar, ia beringsut sampai Rio duduk sempurna seperti posisi awal. Mungkin kecewa, karena Tari sepertinya menolaknya mentah-mentah.

"Maaf ... aku hanya terbawa suasana," gumam Rio. Pria itu langsung fokus pada kemudi. Ada gurat kekecewaan di wajahnya.

Hampir saja dia merampas bibir Tari. Sedikit lagi momen itu akan terjadi. Namun, Tari justru menghindar. Sementara itu, saat ini Tari pura-pura melihat jendela. Malu, kikuk, dan gak enak sendiri. Dia seperti kepergok selingkuh.

Bagaimana pun juga dia masih sah istri Dewa. Mana mungkin dia diam saya disentuh secara fisik oleh laki-laki yang bukan suaminya.

Tari kerja dengan Rio bukan karena gatal ingin belaian pria. Tari hanya ingin menunjukkan pada suami dan keluarga suaminya. Kalau dirinya ini bisa melakukan hal positif di luar rumah. Bisa kerja, bisa menghasilkan uang sendiri. Dan ingin menunjukkan pada semuanya, kalau dia mampu juga menjadi wanita karir yang selama ini di eluh-eluhkan.

Seolah ibu rumah tangga adalah pekerjaan yang rendah, itulah yang Tari rasa saat ini. Dia ingin bangkit, meskipun tidak semudah membalikkan telapak tangan.

Seperti saat ini, baru mau bangkit, tapi bos-nya malah menjadi penghalang. Karena perasaan Rio, membuat Tari malah tidak fokus kerja. Namun, demi tidak diinjak oleh keluarga suami, perasaan Rio akan Tari kesampingkan. Ia akan fokus kerja secara profesional.

"Sudah malam," ucap Tari memecahkan keheningan yang sempat tercipta.

Rio tahu, Tari mulai tidak nyaman.

"Ok."

Rio yang kelihatan kecewa, ia langsung bergegas mengantar Tari. Entahlah, malam ini pikirannya kacau. Gara-gara penolakan Tari, mood laki-laki tersebut langsung berubah.

Bahkan sampai depan rumah pun, biasanya Rio pamit pulang dengan ramah. Kali ini pergi tanpa mengatakan apapun.

Mobilnya berlalu begitu saja, sampai Tari tidak enak. Jangan-jangan Rio tersinggung. Tapi bagaimana lagi, kan dia masih istri orang. Masa mau dipegang-pegang, disentuh sentuh. Jelas Tari bukan wanita seperti itu.

Walau dia sebenarnya juga merindukan kehangatan seorang laki-laki. Ya, sudah lama juga Dewa tidak ngecas. Entahlah, Dewa ngecas di mana kalau batre abis.

Aneh tapi nyata, Tari kok tidak kangen dengan suaminya yang cerewet dan bawel tersebut. Mungkin lebih nyaman, terbiasa LDR membuat Tari tidak ketergantungan lagi pada sang suami.

Apalagi sekarang sudah bekerja, sudah pasti fokus Tari tidak hanya urusan rumah tangga saja. Sudah terpecah jadi ke pekerjaan.

Beruntung juga ada ibunya, sejak bertengkar dengan sang mertua, Tari memang semakin jauh. Apalagi sang ipar. Mereka seperti lost contact.

Tari tidak merasa rugi, dan enggan main ke rumah mertua lagi. Padahal Ibel adalah cucu kesayangan. Karena benci dan marah pada Tari, cucu pun di ikut sertakan. Begitulah buruknya hubungan mertua dan ipar Tari. Kalau diingat, Tari hanya bisa menghela napas dalam-dalam.

Dulu jadi mantu kesayangannya, dulu sekali. Sekarang mungkin menjadi menantu yang tidak diharapkan.

Malam itu Tari malah melamun sampai rasa kantuk menyerang, dan akhirnya dia tertidur sambil memeluk guling.

Ibel sendiri sudah terlelap, malam yang dingin menutup hari mereka semuanya.

***

Setelah kejadian di dalam mobil waktu itu, besok harinya sampai beberapa hari kemudian, mereka berdua saling menghindar. Baik Tari atau Rio, jarang bicara seperti biasanya. Tari merasa salah, karena dia statusnya masih istri orang, dan Rio merasa Tari masih mencintai suaminya yang durjana tersebut.

Tepatnya sabtu pagi, Rio menelpon Tari untuk menghandle semuanya. Hari itu Rio tidak ke kantor. Hanya mengabari Tari lewat telepon saja.

Saat di telpon, Tari penasaran. Mengapa bos-nya itu absen. Namun, karena hubungan yang canggung dan renggang akibat accident dalam mobil itu, Tari tidak berani banyak bertanya. Sampai akhirnya senin pagi, Tari menunggu Rio yang masih belum masuk kerja.

Sebagai sekertaris pribadi, beberapa karyawan titip bucket padanya, untuk diberikan pada Rio. Tari sampai heran, kenapa pada menitipkan barang-barang itu padanya.

"Titip buat Pak Rio ya, Tari," kata salah satu pegawai senior pada Tari yang kebetulan berjalan di depan ruang Rio.

Tari menatap heran, ia kemudian meletakkan bucket itu di ruangan. Masih dengan pintu terbuka, ada lagi pegawai yang lain.

"Karena pak Rio melarang pegawai menjenguk, kami titip saja ya. Semoga pak Rio cepet sembuh." Pegawai itu kemudian pergi begitu saja. Tari pun tambah heran.

"Ini juga, salam buat pak Rio, get well soon!" Beberapa pegawai menitipkan barang-barang pada Tari saat itu yang kelihatan tidak tahu apa-apa.

Ucapan demi ucapan dari pegawai membuat Tari ling lung. Loh, pak Rio sakit? Sebagai sekertaris, dia malah tidak tahu apa-apa. Ada apa ini? Kenapa dia malah tidak tahu apapun tentang bosnya sendiri? Aneh! Tari lantas menelpon bos-nya itu.

Tut tut tut

Tari harus menelpon beberapa kali baru diangkat oleh lelaki tersebut.

"Hallo." Begitu tersambung, Tari langsung menyapa bos-nya.

"Ya." Rio menjawab sangat singkat, terkesan cuek, dingin dan irit bicara. Padahal, sejak tadi dia menunggu. Ia menunggu Tari mengubungi nya.

"Bapak sakit?" tanya Tari agak khawatir. Terdengar dari nada dan caranya bertanya.

"Siapa yang bilang?" balas Rio. Padahal dia memang sedang berada di sebuah rumah sakit. Meskipun gak sakit-sakit parah, tapi dia minta dirawat inap. Seolah sedang sakit parah atau kritis.

"Bapak sakit tidak? Kenapa semua orang menitipkan buket untuk Bapak?" tanya Tari penuh selidik.

"Kenapa?" Rio tanya balik.

"Bapak sekarang dirawat di mana?" Tari pun langsung to the point, karena Rio muter-muter saja jawabnya.

"Aku tidak menerima kunjungan!" jawab Rio agak ketus. Mungkin sebenarnya Rio kecewa, saat kejadian di mobil itu. Kan Tari kesannya menolak. Baru dipegang langsung buang muka. Jadinya sekarang Rio agak dingin.

"Saya mau memberikan banyak titipan dari para pegawai," Tari mencari alasan. Biar dia bisa datang ke rumah sakit untuk menjenguk bosnya itu.

"Jika itu bunga dan makanan, ambil saja. Bawa pulang," celetuk Rio. Dia tidak menerima bucket. Kalau kedatangan Tari, jelas dia tidak menolak. Hanya saja sekarang sedang jual mahal.

"Tapi ini untuk Bapak!" tolak Tari.

"Kau ambil saja. Kalau tidak ada perlu lagi, aku tutup!" ancam Rio.

"Pak ... Pak Rio!" teriak Tari saat telponnya malah dimatikan.

"Ish!"

Tari mencebik, bosnya ini sebenarnya sakit apa?

Tut tut tut

Tari menghela napas dalam-dalam, kemudian menelepon seseorang. Yang pasti tahu di mana Rio dirawat. Melalui orang dalam, Tari tahu di mana Rio sekarang. Ia pun memutuskan ke rumah sakit untuk menjenguk dan melihat kondisi Rio. Bagaimana pun juga laki-laki itu adalah bosnya.

***

Sedangkan Rio, dia duduk di sofa rumah sakit sambil memangku laptop. Dan tangan memegang apel. Matanya fokus pada grafik dan harga saham.

Dilihat dari wajahnya memang sedikit pucat, tapi sepertinya gak sakit-sakit parah. Masih bugar dan sehat wall Afiat.

KLEK

Dokter tiba-tiba masuk. Wanita memakai jas putih bersih itu berjalan mendekati Rio.

"Pak Rio, sepertinya Bapak tidak perlu dirawat!" celetuk dokter cantik dengan lesung pipinya yang manis. Ia tersenyum mengejek pada Rio yang fokus pada laptop.

Rio mencebik, kemudian memegangi jantungnya.

"Ini! Sakit sekali!" keluh Rio.

Dokter perempuan itu ikut mencebik.

"Makanya! Nikah!!!"

Muka Rio langsung masam, "Apa hubungannya jantung dengan nikah?"

"Ayolah, masih banyak ikan di laut. Sampai kapan mengagumi istri orang? Lama-lama bukan jantung yang sakit, tapi hati, paru-paru, ginjal..." oceh sang dokter yang merupakan teman baik Rio.

"Apa-apaan kamu ini, aku pasien! Harusnya disembuhkan, bukan malah ditakut-takuti!"

"Sudah aku resepkan obat! Sana menikah. Biar ada yang urus. Makan juga teratur, ganteng-ganteng lama melajang, takutnya malah ... ehem!"

"Ish!"

Keduanya lalu terkekeh.

Rio kemudian diperiksa, semuanya sudah membaik meskipun sempat mengeluhkan sakit.

"Besok sudah boleh pulang."

"Tambah dua hari!" ujar Rio santai. Dan dia sudah asik dengan laptopnya lagi.

"Kamu ini sudah gak sakit!" omel sang dokter.

"Aku bayar kamar VVIP, rumah sakit akan untung. Sudahlah! Lakukan apa kataku!"

"RIOOO!"

Rio menutup telinga, tidak peduli. Karena dia memang sedang menunggu kedatangan seseorang.

Mau tidak mau, dokter itu mengabulkan keinginan absurd Rio.

***

Benar saja, sore harinya yang ditunggu datang juga. Yang dinanti pun hadir dan membuat Rio tersenyum dalam hati.

Tari datang membawa bucket bunga dari pegawai kantor. Datang ke rumah sakit sebagai alasan, padahal dia khawatir kondisi Rio.

Tok tok tok

Tari berdiri mondar-mandir di depan pintu VVIP.

"Pak Rio!"

Rio yang tadi dalam kamar mandi, buru-buru keluar kamar mandi.

Pria itu berkaca kemudian mengacak rambutnya yang tadi sudah rapi. Wajah kelihatan segar, buru-buru ia mencari sesuatu agar kelihatan pucat.

Setelah itu, melipat laptop yang masih menyala, kemudian berjalan ke arah pintu.

KLEK

"Aku bilang tidak usah datang!" ujar Rio.

Padahal dalam hati sudah senang bukan main. Kedatangan Tari memang sesuatu yang ditunggu-tunggu. Setidaknya dia merasa Tari peduli padanya.

"Ini ... dari para pegawai."

"Letakkan di sana!" kata Rio dingin.

"Boleh saya duduk?"

Rio hanya melirik, kemudian Rio ikut duduk di sofa. Rio lupa, belum pura-pura pakai infus. Dia mengumpat kesal, sepertinya sandiwaranya kurang meyakinkan.

"Pak Rio sudah mendingan?" tanya Tari yang melihat Rio seperti orang sehat.

"Masih menunggu hasil lab."

Tari mengangguk.

"Kalau boleh tahu, sakit apa?"

"Belum tahu, nunggu dokter dari Jerman juga."

"Astaga ... apa separah itu? Apanya yang sakit Pak Rio?"

Keduanya pun sama-sama lebay. Rio kemudian memegangi hatinya. Bukan lagi jantung, tapi hati.

"Teknologi kesehatan sekarang sangat maju, semoga Pak Rio segera pulih."

"Entahlah."

Tari merasa aneh, kok Rio kelihatan putus asa. Uang banyak, apanya yang harus khawatir. Berobat ke luar negeri kan pasti bisa. Dan lagi Rio kelihatan bugar, masa seperti pasrah dan sakit kronis.

KLEK

Tiba-tiba dokter yang tadi masuk. Rio langsung melotot dan mengedipkan mata.

"Bagaimanapun Dok, hasilnya? Apa dokter spesialnya belum datang?"

Dokter yang tadi mengumpat kesal dalam hati. Karena diminta ikut skenario Rio.

"Rio ... Rio. Apa yang kamu cari? Bahkan yang lebih dari ini pasti banyak," pikir dokter tersebut kemudian ikut sandiwara.

"Paling lambat besok pagi, beliau masih banyak pasien di luar."

Rio mengangguk, sedangkan Tari hanya diam dan tenang mendengarkan.

"Oh ya, apa perlu cek ulang lagi?" tanya Rio basa-basi.

"Benar, tapi Pak Rio harus kosongkan lambung dulu ya?"

Rio ikut mengumpat, temannya ini malah mau mengerjai dirinya.

"Baik, Dok."

Rio dan dokter pun keluar, mereka kemudian masuk ke salah satu ruangan. Dokter langsung terkekeh dan meninju Rio.

"Parah kamu Rio!!!" Inilah, namanya cinta buta!"

Rio tersenyum hambar. "Entahlah!"

Beberapa saat kemudian. Rio kembali dan Tari masih ada di sana.

"Kau belum pulang?"

"Maaf, Pak Rio. Kalau Pak Rio terganggu dengan kehadiran saya, maka saya akan pergi sekarang," ucap Tari.

Padahal Tari menunggu karena penasaran dengan hasil pemeriksaan. Sakit apa ini si Rio? Kelihatan sehat kok dinyatakan sakit.

"Pulanglah! Putrimu pasti menunggu," kata Rio.

Kelihatan seperti mengusir, padahal ingin sekali menahan.

"Baik, kalau begitu saya mohon pamit. Untuk Pak Rio, semoga segala penyakit segera diangkat. Cepat sehat kembali dan gabung di perusahaan. Kami menunggu Bapak di kantor."

"Hemm."

Rio kemudian mencari dompet, kemudian mengeluarkan beberapa lembar uang merah.

"Buat taksi!"

Tari mundur sampai kena tepian sofa.

"Tidak, Pak. Terima kasih!" Jelas Tari menolak diberikan ongkos. Alhamdulillah, dia masih punya cukup uang untuk pergi ke mana-mana.

"Ambil saja!"

"Tidak, Pak."

Rio memaksa memberikan, sampai meraih tangan Tari.

Wanita itu kaget, karena tangannya langsung dipegang oleh Rio.

Jam seperti berhenti sejenak, Rio menatap Tari lekat-lekat. Sudahlah, daripada ditahan bikin jantungnya sakit, Rio perlahan menundukkan wajahnya.

Tari semakin panik, dia akan mundur tapi tangannya masih dipegang oleh Rio. Tari semakin gelisah saat napas hangat Rio menerpa wajahnya.

CUP

Terpopuler

Comments

mirazia

mirazia

harus pakai cara agresif ya rio

2023-06-13

0

Sunarty Narty

Sunarty Narty

obatnya mujarab bgt😂😂😂😂

2023-06-10

0

mamah teby

mamah teby

hehehe sampe segitunya ngejar istri orang 🤣🤣🤣🤣🤣

2023-06-08

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!