Bukan Salahku, Indahnya Reuni Bagian 6
Oleh Sept
Minggu pagi, seperti biasanya. Tari akan mengawali hari dengan beres-beres rumah. Jika hari minggu suaminya di rumah, berbeda dengan hari ini. Dewa sudah ada di Singapura, dan Tari hanya bersama anaknya saja.
"Mama ..." rengek Ibel.
Anak kecil itu kemudian merajuk, lalu mencari papanya.
Tari menghela napas berat, lalu mencoba menelpon sang suami. Beberapa kali ditelpon malah tidak ada sahutan. Telponnya tidak diangkat.
Yang ditelpon rupanya sedang asik berbaring di pangkuan seorang perempuan.
Dewa yang kemejanya separuh terbuka, sedang membelai lengan mulus milik kekasihnya.
Badannya lebih oke dari Tari, gak bau minyak atau masakan. Aromanya selalu harum, bicaranya pun lembut dan manja. Entah mengapa, Dewa seperti sudah terhipnotis dengan mahluk lain selain istrinya.
"Sampai kapan hubungan kita begini?" gumam sang wanita dengan suara lirih.
"Kenapa? Apa kamu butuh uang lagi?" tanya Dewa dengan sarkas.
"Bukan begitu ... aku capek sembunyi-sembunyi dari keluargamu."
Dewa langsung diam.
"Bukankah sejak awal kamu sudah tahu konsekuensinya?" balas Dewa.
Wanita itu langsung mengeluarkan jurus agar Dewa tidak marah. Ia langsung mengusap tanduk Dewa agar tidak berubah jadi devil.
"Jangan marah, kita ke sini kan untuk senang-senang," rayu wanita itu kemudian.
Dewa pun sedikit melumer, apalagi kalau miliknya sudah diraba, sudah pasti dia akan memaafkan wanita tersebut.
Dewa kemudian meraih saklar lampu, lalu menjadikan kamar apartemen gelap gulita. Tidak peduli pada ponselnya yang terus menyala. Panggilan telpon tidak membuatnya teralih dari mahluk penggoda di depannya.
"Pelan-pelan, Sayang!"
Dewa semakin bersemangat, bermain di belakang Tari, menciptakan sensasi lain. Dia bersenang-senang dengan wanita lain, ketika Tari masih menjadi istrinya yang sah.
***
Di rumahnya, Tari kesal karena anak rewel tapi suaminya tidak bisa dihubungi. Menjelang malam, badan Ibel malah demam.
Tari pun membawa mobil sendiri, meskipun dia lama tidak menyetir. Malam-malam dia ke rumah sakit dengan pikiran penuh rasa khawatir.
Rumah Sakit Medika
Tari mengendong anaknya setengah lari, ia ke UGD. Di sana Ibel langsung ditangani.
"Kenapa dia lemes sekali, Dok? Badannya mendadak panas. Tadi sore masih baik-baik saja."
Tari mondar-mandir di depan dokter dan perawat yang sedang menangani buah hatinya.
"Kami periksa dulu."
Tari kemudian mencoba menelpon suaminya, dan kali ini diangkat.
"Mas! Mas Dewa ke mana saja?" omel Tari.
Dewa kemudian menyingkirkan lengan wanita yang tidur dengannya.
"Ada apa? Aku tadi bertemu dengan rekan kerjaku."
"Ibel! Ibel di UGD sekarang!"
"Apa? Kok bisa?"
"Gak tau, dia tiba-tiba lemes dan panas."
"Bagaimana bisa kamu gak tahu? Tugas kamu cuma jaga anak, tapi malah gak tahu?" Dewa tambah mengomel. Membuat Tari tambah stres.
Tari rasanya ingin menjerit, tapi dia tahan.
"Aku pulang besok. Malam ini aku tidak bisa pulang mendadak."
"Ya," kata Tari kemudian telpon dimatikan dari sana.
Tari menggenggam ponselnya, wajahnya terlihat lelah dan bibirnya terus bergerak memanjatkan doa untuk kesembuhan buah hatinya.
***
Esok harinya, Tari kaget karena ada yang datang menjenguk membawa boneka besar dan buah. Ketika itu Tari sedang ke apotik, jadi dia tidak tahu siapa yang datang.
"Ibel, ini dari siapa? Apa Papa sudah datang?" tanya Tari.
Ibel menggeleng.
"Dari nenek?"
Anak kecil itu kembali menggeleng.
"Lalu? Apa Tante?"
"Bukan, Mama."
Kening Tari langsung mengkerut.
"Dari siapa?" Mata Tari menyusuri ruangan, tapi tidak ada siapapun.
"Katanya teman Mama."
Tari pun keluar dari kamar, melihat lorong bergantian. Namun, tidak ada siapapun. Penasaran, Tari kemudian melihat parcel buah segar tersebut, hanya ada ucapan semoga lekas sembuh.
"Coba lihat bonekanya!" kata Tari masih penasaran.
Tidak ada note apapun.
"Dari siapa ini?"
***
Menjelang siang, Dewa sudah kembali. Tidak membawa koper, hanya tas dan langsung ke rumah sakit. Jika sebagai suami dia sosok yang tak setia, tapi kalau masalah anak, dia sangat peduli sekali pada anak semata wayangnya.
"Apa kata dokter?"
Tari mau menjawab, tapi ragu.
"Dokter bilang apa?" tanya Dewa dengan nada meninggi.
"Salah makan."
Mata Dewa langsung melotot.
"Salah makan bagaimana?"
"Aku gak tahu, Mas. Sepertinya dia salah makan."
Dewa langsung menghembuskan napas berat.
"Astaga Tari!"
Sementara itu, Ibel sudah tidur sambil memeluk boneka.
"Anak satu saja kamu gak becus jaganya! Kerjaan kamu itu apa di rumah? Hem?"
Datang-datang Dewa langsung memarahi Tari perihal anak yang mendadak masuk rumah sakit. Ditambah saat mertua datang, Tari pun habis diserang dari segala arah.
Disalahkan menjadi makanan sehari-hari, ditambah saat menjelang sore. Adik ipar turut andil, menyindir Tari sampai Tari pamit sebentar, hendak pulang untuk ganti baju, mumpung mertua dan ipar di sana.
"Anak sakit masih sempat mikir ganti baju, pulang, mandi .. apa mandi di rumah sakit gak bisa?" gerutu mertua Tari saat wanita itu pergi.
Sebenarnya Tari tidak pergi, ia mendengar semuanya. Dia berdiri di depan pintu karena dompet dan tasnya ketinggalan.
Bosan selalu disalahkan, Tari tidak jadi masuk. Ia pun berjalan di luar. Sampai tidak terasa, dia malah sudah sampai di trotoar depan rumah sakit.
Ada sebuah bangku kecil, dan dia duduk di sana sambil mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Mengapa dia selalu salah? Tidak pernah benar jadi seorang ibu, seorang istri, dan seorang menantu.
Ketika anak sakit, maka dia akan sepenuhnya disalahkan. Seolah semuanya yang melekat padanya tidak ada benarnya.
Tari yang lelah dengan semuanya, ia kembali ke dalam. Duduk di lobby rumah sakit, tidak masuk karena ada mertua dan ipar. Sedangkan dia tidak bisa pulang karena dompetnya ada di dalam.
Beberapa saat kemudian.
Tari kembali, wajahnya pura-pura ramah seperti biasanya.
"Katanya mandi dan ganti baju?" tanya sang mertua.
"Dompet ketinggalan, Bu."
"Ceroboh sekali kamu, Tari. Sebenarnya apa yang kamu pikirkan, Tari? Kamu tidak bekerja seperti iparmu. Sebagai IRT harusnya kamu punya banyak waktu. Hal-hal seperti ini tidak akan terjadi kalau kamu fokus pada apa yang kamu lakukan. Begitu juga dengan anak, bagaimana bisa anak sampai salah makan? Aduh, Ibu gak bisa berkata-kata lagi."
"Sudah, Bu. Mungkin Tari juga kelelahan," sahut sang ipar.
"Lelah apa? Seharian cuma di rumah. Lain cerita kalau dia kerja, sampai anak masuk rumah sakit begini, ini keteledoran!"
Dewa yang mendengar sendiri istrinya diserang, pria itu malah diam. Mengusap kepala Ibel yang sedang tidur.
"Bu ... Ibel sendang tidur," ucap Dewa kemudian. Hanya itu saja, tanpa pembelaan.
Padahal, Tari ingin sekali saja dalam hidupnya dibela oleh laki-laki yang dia nikahi tersebut.
Malam semakin larut, iparnya pulang bersama sang ibu. Kini yang tertinggal hanya Dewa dan sang istri.
"Mas ... kenapa Mas tadi diam saja?"
Dewa langsung menatap istrinya.
"Maksudmu? Aku harus membela orang yang salah?"
Jantung Tari langsung sakit sekali, seperti dipress dengan alat pres-presan.
"Mas ... selama ini Ibel jarang sakit, mengapa seolah-olah ini salahku saja?"
"Lalu kamu mau ini juga salahku?" cetus Dewa.
Tidak terasa, semakin sesak saja hati Tari. Sampai akhirnya dia hanya diam. Percuma minta pembelaan, itu hanya akan ada di dalam mimpi.
***
Tiga hari kemudian.
Ibel boleh pulang, ia dijemput oleh nenek, ipar. Setelah mengantar pulang, Dewa langsung ke kantor, untuk memberikan laporan yang ada di Jakarta sebelum balik Singapura.
Maunya nambah cuti, sepertinya tidak bisa. Malam ini juga dia harus kembali. Padahal Ibel gak mau pisah sama papanya.
"Papa kerja ya sayang. Minggu depan Papa pulang," bujuk Dewa.
"Janji?"
Dewa mengangguk lalu mengusap kepala Ibel.
Malam pertama setelah Dewa balik, mertua dan ipar Tari pun kembali ke rumah masing-masing. Kini rumah kembali sepi, hanya Tari dan Ibel saja.
Ibel sudah baikan, bahkan minta jalan-jalan beli mainan.
"Besok ya, sayang. Mama janji."
Dengan rayuan, akhirnya anaknya tidak merajuk kembali, Ibel tidur dalam pelukan sang mama.
***
Pagi yang cerah, secerah wajah Ibel. Pagi-pagi sudah ada yang mengirim paket. Satu set rumah berbie yang cukup besar.
Tari pikir dari Dewa, jadi dia memastikan menelpon suaminya itu. Seperti yang sudah-sudah, kalau kembali ke Singapura, pasti sulit ditelpon.
"Besar sekali Mama. Makasih Mama," kata Ibel dengan senang.
Tari hanya bisa garuk-garuk kepala. Pasalnya, dia belum memastikan yang mengirim itu siapa.
Sambil menemani Ibel bermain, Tari memeriksa grup WA. Di sana sedang heboh salah satu suami temannya cerai gara-gara punya WIL teman sendiri. Seketika, Tari kepikiran Dewa.
Iseng, Tari menelpon suaminya. Dan kali ini dijawab.
"Ada apa?"
"Mas, Mas Dewa kirim paket mainan untuk Ibel?"
"Gak."
"Oh."
"Mungkin ibu atau tantenya," kata Dewa.
"Mungkin," kata Tari. Namun wajahnya seperti tidak percaya. Sebab, mainan ini sangat mahal.
"Kalau tidak ada yang penting, aku tutup telponnya. Aku sedang ada pekerjaan."
"Ya," jawab Tari sendu.
Masalahnya, besok kebetulan ulang tahun Tari, tapi suaminya sepertinya sudah lupa. Lebih tepatnya sudah lupa beberapa tahun yang lalu.
***
Tengah malam, pukul kosong-kosong. Tari yang terlelap mendadak terbangun setelah ponselnya berdering. Bibirnya mengulas senyum, mungkin dikira suaminya yang telepon. Tanpa melihat siapa yang menelepon, dia langsung mengangkatnya.
"Ya, Mas."
Di seberang telpon, Rio langsung masam. Sejak kapan Tari memanggil Mas?
"Ini aku."
Tari langsung menjauhkan ponselnya, lalu melihat siapa yang dia ajak bicara.
"Ya ampun, maaf ..."
"Apa kau sudah menunggu telpon dari seseorang?" tanya Rio to the point.
Tari lalu menatap jam, ya dia sedang menunggu seseorang, tapi tidak ia katakan pada Rio. Lagian kenapa malam-malam telepon?
"Oh ya, ada apa telpon tengah malam?" tanya Tari.
"Tidak apa-apa, hanya menyapa teman lama. Apa tidak boleh?"
"Ini sudah malam," ucap Tari.
"Aku tahu!" timpal Rio tegas.
"Lalu ada apa? Tumben sekali menelponku?"
"Kenapa? Apa aku tidak boleh menelponmu?"
Tari tersenyum tipis, karena sebenarnya dia memang butuh seseorang untuk bercerita.
"Tidak apa-apa sih. Oh ya, Bagaimana kabarmu? Aku lihat kamu sudah sukses."
"Kabarku? Masih sama. Bagaimana dengan putrimu? Apa dia menyukai hadiah dariku?"
"Ya ampun, jadi itu darimu? Itu besar sekali, pasti mahal. Kenapa melakukan itu?"
"Tidak apa-apa, anggap saja sebagai balas. Karena dulu ibumu sering memberikan aku makan."
Tari terkekeh.
"Ya, kau makan banyak sekali. Sampai kami kehabisan lauk!" omel Tari.
Tanpa sadar, mereka bicara panjang lebar. Membahas masa lalu. Walau pahit, tapi menyenangkan untuk dikenang.
Sampai akhirnya setengah jam berlalu.
"Kamu pasti besok kerja, kita sambung lain kali ya?"
"Kenapa? Apa kamu mau tidur?"
"Nggak sih. Cuma besok kamu kerja, kan?"
"Hemm ... bisa video call sebentar?"
Tari langsung deg-deg. Seperti mau ketemu pacar saat pertama ngedate.
"Ada apa denganmu Tari!" gerutu Tari dalam hati.
"Video call?" tanya Tari.
"Hemm."
"Untuk apa? Tidak usah ya, wajahku kucel. Nanti kamu gak bisa tidur karena sawan!" kata Tari lalu terkekeh sendiri.
Mendengar Tari yang terkekeh, Rio tersenyum tipis. Wajahnya yang jarang tersenyum, mulai mencair.
"Baiklah, selamat malam."
"Selamat malam. Dan terima kasih telponnya," ucap Tari langsung mematikan ponselnya.
Tari mengatur napas, sepertinya ada yang salah pada dirinya. Ia kemudian rebahan di ranjang, lalu memeluk guling. Senyum-senyum tidak jelas.
***
Mulai dari telpon itu, mereka jadi agak sering komunikasi. Sampai akhirnya, Rio mengajak mereka makan di luar. Awalanya Tari menolak, apalagi kondisi suami tidak di rumah.
Karena sambil membawa Ibel, apalagi cuma ngemall. Akhirnya Tari mau. Dan sebelum pergi, Tari justru ke salon. Dia ke clinik kecantikan milik Mia, temannya.
"Suamimu mau pulang? Tumben mau dandan," celetuk Mia.
Tari kelihatan canggung, aneh sih. Dia mau kelihatan cantik, tapi bukan di depan suaminya. Malah di depan pria lain.
"Pengen sedikit beda saja, rambut pun sudah panjang dan agak berantakan."
"Oke, keluar dari sini, aku jamin bakal ada yang nyantol!" ledek Mia.
2 Jam tangan
"Pakai baju ini!"
Tari memicingkan mata.
"Baju endorsement, untuk clinik ini. Gak dipakai, banyak kok. Ini sepertinya cocok sama dandanan kamu. Biar suamimu gak lirik-lirik perempuan lain!"
Tari mulai merasa bersalah, ini karena dia mau tampil cantik di depan pria lain.
"Gak usah. Ini saja."
"Udah, sana ganti! Ibel juga masih anteng sama karyawan ku!"
Tari pun ganti pakaian. Tuh, kan. Sedikit dipoles, ditambah pakaian yang fashionable, Tari itu mutiara tersembunyi.
Dengan canggung Tari berjalan, sambil menggandeng tangan Ibel.
"Nah, sudah cocok nih."
Tari kelihatan tidak nyaman, tapi saat dia berkaca dia melihat dirinya yang dulu.
"Apa ini gak berlebihan?" tanya Tari sambil menurunkan roknya.
"Gak akan masuk angin, tenang saja!" timpal Mia.
Tari pun tersenyum, kemudian pamit setelah membayar. Awalan Mia tidak mau, tapi Tari mengancam. Kalau gak mau, dia bakal gak langganan ke sana lagi.
***
Akhirnya yang ditunggu datang juga. Rio sedang duduk di sebuah kafe di dalam mall. Sudah janjian sama Tari.
Tidak lama menunggu, akhirnya Tari muncul sambil menggandeng tangan bocah kecil yang sama cantiknya seperti sang ibu.
Rio terus saja menatap Tari dari jauh, dia seperti kembali ke masa lalu. Di mana dia akan menyatakan cinta, tapi keduluan Dewa.
"Maaf ... apa menunggu lama?"
Rio menggeleng, kemudian mendekati Ibel. Sambil jongkok di depan gadis kecil itu.
"Cantik sekali, bidadari dari mana ini?"
Ibel langsung tersenyum ramah. Satu hal yang Rio pelajari, jika ingin ibunya, dekati anaknya.
Maka, setelah makan mereka ke Playground bertiga. Ibel sangat senang, main trampoline dipegang oleh Rio, dan digendong di atas pundak. Kelihatan keluarga bahagia.
Sampai akhirnya Rio mengendong Ibel yang kelelahan dan ketiduran.
"Makasih ya."
"Hemm."
"Dia kelihatan senang sekali."
"Ya."
"Oh ya, bagaimana kabar orang tuamu?"
Rio langsung berhenti jalan, dia memang tidak suka membahas keluarganya.
Tari seolah tahu, ia pun mengganti topik.
"Kamu tidak ingin menikah? Bukannya aku kepo, hanya saja ... kata teman-teman kamu belum nikah. Nunggu apa?"
"Pertanyaan itu tidak harus aku jawab, kan?"
Tari langsung tersenyum, Rio masih tetap sama, ngeselin.
Mereka pun jalan ke mobil. Rio meletakkan Ibel di pangkuan Tari, kemudian membantu Tari membetulkan sabuk pengaman.
"Aku bisa sendiri," kata Tari.
Rio pun menarik diri, lalu masuk ke dalam mobil lewat pintu samping.
Suasana di dalam mobil sangat hening, sampai akhirnya Rio menyalakan audio, tapi dipelankan, agar Ibel tidak bangun. Mobil itu kemudian langsung berjalan.
Tiba di rumah, Tari dibuat terkejut oleh kehadiran sang mertua. Apalagi saat melihat siapa yang mengantar Tari, ditambah pakaian dan dandanan Tari yang tidak biasa.
"Rio, sebaiknya kamu pulang dulu," ucap Tari pelan.
Bukannya pergi, Rio malah semakin maju ke dapan. Tari pun semakin panik, takut mertua salah paham.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments
kakaika
dasar pria haus belaian
2023-09-08
1
ℳ𝒾𝒸𝒽ℯ𝓁𝓁 𝒮 𝒴ℴ𝓃𝒶𝓉𝒽𝒶𝓃🦢
NICE👍
2023-08-10
0
Lina ciello
tapokkk sandall gundulmu kui wo 😡😠😤
2023-08-08
0