" ... And if a double - decker bus Crashes into us
To die by your side Is such a heavenly way to die
And if a ten ton truck Kills the both of us
To die by your side Well , the pleasure , the privilege is mine ... "
Alunan lagu The Smiths yang bersumber dari speaker laptop memenuhi ruangan kamar gue, sementara gue fokus menatap ke arah layar laptop. Jari-jemari gue dengan lincah menari diatas keyboard, sedang sibuk menulis sesuatu.
Ini adalah suatu malam di bulan Desember, pukul 22.15. Di luar sedang hujan dan angin berhembus cukup kencang. Selepas makan malam bersama kakak perempuan, gue buru-buru menuju ke kamar untuk mengerjakan sebuah naskah komikl yang sudah mulai gue kerjakan sejak beberapa minggu yang lalu. Di temani secangkir kopi dan beberapa cemilan manis di meja, gue mengetik naskahnya dengan seksama.
Di usia 16 tahun gue kiini sedang berusaha mengejar mimpi untuk menjadi seorang penulis komik maupun novel. Walaupun masih duduk di kelas 2 SMA, gue sudah berfikir tentang apa yang akan gue lakukan di masa depan. Gue ingin menjadi penulis novel yang karyanya nangkring di banyak toko buku, atau jadi penulis komik bareng Adit. Tujuan kita mutlak, dapet serialisasi mingguan di majalah Aneka Komik.
Sudah beberapa kali gue mengirim naskah ke beberapa penerbit yang berbeda, namun belum membuahkan hasil. Berbagai macam bentuk penolakan sudah gue terima, mulai dari bentuk surat maupun telepon. Namun, Gue masih belum mau menyerah dan terus menulis kisah-kisah. Meskipun sempet mau nyerah dan memilih hidup yang biasa-biasa aja, semangat gue untuk meraih mimpi bangkit gara-gara ngobrol sama om gendut berkaos pink yang enggak gue kenal di halte sekolah.
Dua jam berlalu sejak gue mulai menulis, gue menghentikan gerakan jari - jari di atas keyboard, kehabisan ide. Kali ini gue mencoba menulis genre komedi, setelah sebelumnya gue lebih banyak menulis tentang pertarungan. Setelah gue pikir-pikir, kayaknya enggak ada salahnya juga gue nulis dua jenis naskah yang beda untuk naskah komik, biar nanti Adit milih mau yang mana.
Gue menatap kosong kearah tirai jendela kamar sambil berharap menemukan sesuatu di dalam kepala, namun tak satupun ide muncul. Gue menghela nafas dan berhenti menulis. Gue kemudian mematikan laptop, lalu merenggangkan badan yang tak melakukan gerakan lain selain duduk membungkuk selama 2 jam.
Di luar masih hujan, namun tak se deras sebelumnya. Usai menyeruput kopi, Gue menjatuhkan diri ke atas kasur, berbaring terlentang menatap langit - langit kamar. Lalu menoleh ke dinding kamar yang di tempeli banyak gambar hasil karya Adit yang gue minta, gue memikirin kegitan apa yang akan gur lakukan di hari selanjutnya.
Besok adalah hari selasa, salah satu teman perempuan gue yang bernama Bunga mengajak pergi ke toko musik untuk membeli sebuah gitar akustik sepulang sekolah dan gue menyetujuinya kalau tak punya kesibukan.
Beberapa saat kemudian, HP gue yang terletak di meja belajar berbunyi nyaring, seseorang sedang menelpon. Mendengar nada dering dari HP, gue bergegas beranjak dari tempat tidur, kemudian berjalan mendekati meja belajar dan memeriksa HP, ternyata itu telpon dari Bunga, kebetulan sekali.
Gue segera mengangkatnya.
"Hallo... kenapa?" Ucap Gue.
"Gimana , besok jadi enggak ?" Jawab Bunga dari seberang sana.
"Insya Allah jadi kok, emang lo mau ngajak ke toko musik yang sebelah mana?" Tanya gue.
Terdengar samar-samar alunan musik natal dari sambungan telepon, seakan itu menjadi background music bagi Bunga. Maklum, ini sudah bulan Desember dan sebentar lagi natal tiba. Sepertinya Bunga cukup religius.
"Hmm... enggak tau, mungkin kita coba datengin dulu satu per satu. Gue tau beberapa tempat sih, yan, soalnya . "
"Emang lo nyari gitar yang kayak gimana sih?"
"Kalo gue jelasin, lo enggak bakal ngerti, lo kan enggak paham musik."
"Hehe... iya juga sih." Gue menggaruk rambutnya, sedikit bingung.
"Yaudah , besok sepulang sekolah, gue tunggu di gerbang sekolah ya! Awas lo kalo langsung pulang." Bunga sedikit memberi ancaman.
"Ok deh." Jawab Gue singkat.
"Eh, ngomong-ngomong, besok siapin kuping lo ya, gue mau curhat!" Pungkas Bunga sebelum akhirnya menutup telepon.
Gue mengangkat alis, mengerenyitkan dahi. gue bingung.
Keesokan harinya sepulang sekolah, gue berdiri di dekat gerbang keluar-masuk sambil menyaksikan gerombolan siswa-siswi lain yang melewati gerbang, berharap salah satunya adalah Bunga, si kampret itu benar-benar telat.
Gue beberapa kali memeriksa jam tangana sambil menggerutu."Lama amat sih Bunga, padahal dia yang nyuruh nungguin di sini, sialan," Ujar gue pada diri sendiri.
Setelah hampir satu jam menunggu dan suasana sekolah hampir sepi, Bunga datang menghampiri. Gue hanya menatap teman gue itu dengan tatapan datar. Sebenarnya, gue cukup kesal namun gue tak bisa marah pada Bunga.
Sembari meminta maaf, "Hehehe... sorry ya gue telat." Bunga cengengesan.
Gue hanya menghela nafas, memaklumi. "Kemana aja sih lama banget ?! "
"Riyan, gue itu anak band, enggak usah nanya dari mana, ya pasti ngumpul sama anak band yang lain lah, di ruang musik. Lo tau kan, temen gue kebanyakan cowok semua. Pulangnya lama semua." Kata Bunga dengan cara yang halus, seakan di buat - buat.
Bunga adalah sosok gadis yang agak tomboy, wajahnya oriental matanya cukup sipit, tipikal orang cina-indo. la cukup piawai memainkan alat musik gitar, hal itu membuatnya berinisiatif membuat band sendiri di luar sekolah. Gue dan Bunga sudah berteman sejak duduk di kelas 1, sekarang saat kita menginjak tahun ke dua di SMA Brokoli, pertemanan kita masih sama seperti dulu, atau bahkan mungkin semakin erat semenjak dia tahu kalau Olivia dulunya mantan gue. Pasti Olivia yang cerita pas nginep di rumah Bunga.
Gue menatap Bunga dari ujung rambut sampai ujung kaki. Rambut Bunga yang cukup panjang terurai lurus sampai pertengahan punggung, seragam OSIS nya tampak berantakan, tanda tak pernah di setrika, serta anting berbentuk salib kecil yang menempel di daun telinganya membuat Bunga tampak sedikit anggun. Namun, gue merasa janggal pada cara Bunga mengenakan seragam SMA nya. Bukannya mengenakan rok abu abu ia malah memakai celana panjang abu - abu yang harusnya itu untuk siswa laki - laki . Lebih parahnya lagi , Bunga tidak bersepatu dan hanya memakai sandal jepit.
"Pake celana panjang lagi?" Tanya gue, gue sudah terbiasa melihat Bunga seperti ini.
"Hehe... iya, lebih nyaman gini gue, enggak ribet." Jawab Bunga sembari menggaruk hidungnya yang tiba-tiba gatal.
Kita berdua lantas berjalan beriringan menuju ke parkiran sekolah.
"Emang enggak capek apa maen kejar-kejaran sama guru BK?" Sambil berjalan gue melanjutkan obrolan.
"Capek sih, tapi seru aja gitu lari-larian hehe..."
"Udah kelas 2 kelakuan masih gitu aja lo , gue yakin sepatu lo pasti di sita sama guru BK karena lo ketahuan enggak pake kaos kaki. Ya kan?” Gue mencoba menebak.
Sambil terus melangkah, Bunga menatap kedua kakinya yang memakai sandal. Lalu mengarahkan pandangannya ke gue dan berkata,
"Enggak, sepatu gue kebakar."
"Bohong banget!" Jelas gue tak percaya, bagaimana mungkin sepasang sepatu yang selalu menempel di kaki bisa terbakar. Jelas itu hanya candaan Bunga saja , pikir gue.
"Di bilangin enggak percaya. Pas masuk ruang musik, gue lepas sepatu. Sialnya, temen - temen tadi pada iseng nyembunyiin sepatu gue di tempat pembuangan sampah yang ada di belakang sekolah. Sepatu gue di kubur diantara sampah, eh enggak taunya hari iini waktunya pak somad bakar sampah, akhirnya sepatu gue jadi ikut kebakar..."
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 68 Episodes
Comments
Dinnost
kebakar beneran...
😁😁😁
Sial nasibmu nak..
2023-06-07
0