Minggu pagi.
Sekitar jam sembilan pas, gue baru saja tiba di halte bus yang ada di sekitaran SMA Brokoli, sekolah gue, hanya perlu sekitar 10 menit jalan kaki untuk bisa sampai ke situ.
Gue langsung duduk di bangku halte bersama satu orang yang sudah duduk di bangku halte tersebut, menunggu bus jurusan kota Garam.
Hari ini gue ada janji bersama seorang teman sekelas, yang pasti bukan Adit, temen gue bukan dia doang, tujuanya buat mengerjakan tugas kelompok.
Dengan setelan kemeja kotak-kotak hitam, celana jins yang sedikit kedeodoran, sendal swallow biru dan tas ransel sekolah yang menempel di punggung , gue merasa cukup percaya diri.
Hari ini agenda kegiatan gue bukanlah untuk pergi ke kota Garam, melainkan ke perpustakaan umum menaiki bus jurusan kota Garam.
Karena emang jarak antara rumah gue dan perpustakaan umum cukup jau , butuh waktu sekitar 1 jam perjalanan naik bus untuk sampai ke sana.
Duduk bersama dengan orang yang enggak gue kenal di halte, gue ngerasa sedikit canggung. gue duduk di bangku paling kiri, bersebelahan dengan pria gendut yang memakai kaos pink.
"Pagi pak ..." Sapa gue, sekedar basa basi
"Pagi mas .." Kata Pria gendut itu, usianya sekitar 40 tahunan. Si pria gendut tersenyum saat menyapa balik gue.Cukup ramah.
"Mau kemana mas?" Orang itu bertanya.
"Ke perpus umum,pak." Jawab gue dengan sopan.
"Pasti mau ngerjain tugas ya mas ?"
"Iya pak," gue mengangguk. Lalu kita berdua saling diam, kehabisan topik.
Gue adalah orang yang mudah canggung dan sulit mencari topik obrolan, duduk bersama dengan orang asing membuat gue keringat dingin.
"Mas kelas berapa " Tanya Pria gendut itu lagi.
"Kelas 2 SMA pak." Jawab gue sambil menyenderkan punggung di bagian belakang bangku. Pria gendut menatap ke arah jalan raya di depan halte, berharap bus yang di tunggu segera tiba, gue pun demikian.
Rangga menyenderkan punggung di bangku, ngerasa bosen. Gue Kemudian mengamati sekeliling, melihat kendaraan yang berlalu-lalang di jalan raya, menunggu kedatangan bus yang akan membawa mereka ke tujuan masing-masing.
Cuaca hari ini cukup cerah, angin yang berhembus lembut terasa hangat ketika menerpa tubuh. Suara burung pipit samar samar saling bersahutan, terdengar merdu di telinga. Gue yang bersandar pada bagian belakang bangku perlahan mulai merasa ngantuk karena terbawa suasana nyaman di sekitar. Kedua kelopak mata perlahan terasa berat untuk di buka, gue menguap beberapa kali. Rasa kantuk benar-benar tak tertahankan.
Saat gue hampir benar-benar tertidur, pria gendut berkaos pink yang ada di sebelah perlahan menepuk pundak gue, ngebuat gue sedikit terkejut.
"Mas, jangan tidur, masih pagi!" Ucap si pria gendut pada gue.
"Saya ngantuk banget pak, hehe... semalem begadang soalnya." Kata gue, sedikit malu-malu.
"Iya, tapi jangan tidur jam segini, enggak baik." Si pria gendut memperingati.
Gue bingung.
"Emang kenapa pak?" Tanya gue.
"Nanti rejekinya seret. Pokoknya jangan tidur kalo masih pagi, mas!"
Gue nelen ludah,bkhawatir akan nasib rejeki gue. Gue keinget sesuatu. Faktnya, selama ini gue sering tidur di pagi hari. Bahkan ketika berada di sekolah pun gue sering tertidur di tengah jam pelajaran pertama yaitu sekitar jam 08.00 sampai jam 10.00 pagi. Apalagi pas libur panjang, hampir setiap hari gue selalu bangun di siang bolong.
"Serius pak?" gue kembali menegakkan punggung.
"Iya mas, tidur di pagi hari itu bikin rejeki seret." Pria gendut itu sedikit bergeser, merasa lelah duduk dengan posisi yang sama.
"Masnya pernah denger istilah ' Rejeki di patok ayam enggak'? " Pria gendut itu lanjut bertanya.
"Iya sih, nenek saya biasanya bilang gitu." Gue mengangguk.
"Nah... tapi maksudnya bukan beneran di patok ayam lho itu rejekinya."
"Iya saya paham kok, itu cuman kiasan." Kata gue.
"Menurut saya kiasan sederhana itu nyindir banget mas. Harusnya kita malu mas di bandingin sama ayam yang selalu bangun pagi untuk membangunkan yang masih terlelap di pagi hari." Pungkas pria gendut. Gue hanya terdiam dan menggangguk, menyetujui pendapat pria itu.
"Iya juga sih pak, hehe... mungkin mulai sekarang saya akan lebih berusaha untuk bangun pagi." Kata gue.
Hening... Kita berdua enggak tahu harus mengobrol tentang apa lagi.
Waktu menunjukan pukul 09.15, bus pun tak kunjung melintas. Gue yang merasa bosen memilih untuk bermain game Mobile Legend di HP supaya tidak mengantuk dan tertidur, sementara pria gendut di sebelah kini terlihat sedang membaca koran.
Di tengah keasyikannya bermain game, dalam pikiran gue terbesit tentang naskah komik yang sedang gue kerjakan . Entah mengapa separuh dari diri ini tiba - tiba saja merasa bersalah. Seharusnya, bisa aja di waktu luang yang ada saat ini, gue gunakan untuk mengerjakan cicilan naskah novel.
Namun disisi lain, gue juga ingin sedikit bersenang - senang. Babak demi babak pertandingan di dalam game gue jalani. Lambat laun rasa tak enak hati gue terhadap diri sendiri makin bertambah. Ingin rasanya gue berhenti bermain game dan mengeluarkan laptop yang ada di dalam ransel lalu mulai menulis, tapi rasa candu yang di timbulkan saat bermain game masih merasuki pikiran gue, tiap kali pertandingan selesai gue ingin berhenti, namun entah kenapa gue selalu ingin melanjutkan permainannya juga.
"Gue enggak bisa gini terus." Gumam gue dalam hati. Segera setelah berucap demikian di dalam hati, gue lantas menghentikan pertandingan di dalam gamenya walaupun masih berada di tengah babak. gue enggak peduli walau nanti akan mendapat pinalti dan tak diizinkan bertanding selama 24 jam.
Gue mengeluarkan laptopnya dari dalam tas, lalu meletakannya di pangkuan untuk kemudian menyalakannya. Usai menunggu layar loading untuk beberapa saat, gue langsung membuka Microsoft Word, berniat melanjutkan naskah komik untuk Adit.
Mata memandang tulisan-tulisan di lembar putih, gue meletakan jari-jari di atas keyboard, bersiap menuliskan sesuatu. Namun, tak ada satupun kata yang mulai tertulis dari jari-jari gue, gue hanya menatap kaku ke arah layar laptop, saat ini kepala gue benar-benar kosong. Sesekali gue mencoba menulis beberapa kata, lalu menghapusnya lagi. Hal itu gue lakukan untuk beberapa kali, karena merasa kalimat-kalimat itu kurang bagus.
Angin berhembus kencang, menerbangkan beberapa sampah dan daun kering yang ada di sekitar. Suara dedaunan yang masih menempel di atas ranting pohon terdengar cukup nyaring ketika diterpa angin. Hampir 20 meint berlalu sejak gue duduk di bangku halte bersama si pria gendut berkaos pink. Bus yang kita tunggu belum juga tiba.
"Ngerjain apa mas?" Entah bagaimana, tiba-tiba aja si pria gendut berada lebih dekat di samping gue.
"Oh , lagi ngerjain ini pak. " Jawab gue.
Si pria gendut menatap ke arah laptop gue untuk beberapa detik, sebelum akhirnya berkata, "Wah... nulis cerita ya, mas?"
"I... iya pak." Gue ragu - ragu saat menjawab. Sebenarnya ngerasa enggak nyaman saat ada orang yang membaca tulisan gue tanpa izin. Bagaimanapun, tulisan yang belum selesai itu akan sedikit memalukan jika di baca sama orang lain, terlebih gue sudah pernah beberapa kali menerima penolakan dari penerbit, rasa malunya bisa dua kali lipat.
Pria gendut berkaos pink sedikit mendekat ke gue, menatap ke arah laptop lebih seksama lagi, penasaran dengan apa yang gue tulis. Merasa tak nyaman, gue pun sedikit bergeser ke kiri, memberi sedikit jarak antara gue dan si pria gendut.
Menatap ke arah pria gendut berkaos pink, gue ngerasa kayak sedang terjebak dalam situasi yang cukup canggung serta aneh Berawal dari sapaan sederhana yang gue berikan pada orang asing hanya untuk sekedar basa-basi, malah berakhir dengan perasaan aneh karena ternyata orang yang gue ajak basa-basi langsung merasa sok akrab. Bagi gue yang sedikit Introvert, hal itu adalah hal yang cukup menyebalkan. " Ya ampun , bisnya kok enggak dateng-dateng ya. Bawa aku pergi dari sini… Aku pengen pindah ke Meikartaaa." Gue berbicara dalam hati, memohon entah pada siapa.
Setelah beberapa menit membaca, si pria gendut menegakan kembali punggungnya, kemudian memegangi dagu sambil memasang raut wajah yang serius.
"Ini mau ke arah cerita - cerita komedi gitu ya, mas? " Tanya si pria gendut.
Gue sedikit terkejut mendengar pertanyaan si pria gendut itu, ternyata dia benar-benar membaca naskahnya komik gue. " Iya sih pak , niatnya mau ke arah situ , tapi kadang saya masih bingung mau masukin bumbu - bumbu komedinya di bagian apa." Jawab gue.
"Biasanya mas nulis genre apa?" Pria gendut lanjut bertanyanya
"Percintaan gitu, tapi udah terlalu sering di tolak penerbit. Tapi ini nantinya bakal saya pake buat komik."
Si pria gendut terlihat sedikit bersemangat. "Oh ... udah pernah ngirim naskah ke penerbit ya mas?" Katanya.
"Udah sering sih pak, dan ditolak semua." Si pria gendut tiba-tiba saja menepuk-nepuk pundak gue beberapa kali. Gue memasang ekspresi aneh, gue agak merasa jijik. Apalagi si pria itu memakai kaos pink. Gue jadi sedikit curiga bercampur bingung. Tiba -tiba nepok - nepok bahu gue, sok akrab banget, gue jadi agak khawatir dengan masa depan gue. Mana pake baju pink lagi, jangan - jangan sebenernya dia bencong.
Pria gendut itu bergeser sedikit, kemudian mengamati dan bertanya ."Mas mau jadi penulis ya ?"
" Iya pak, pengennya sih gitu, ini masih terus usaha sih pak. Ternyata enggak mudah ya, jadi penulis." Jawab gue.
"Kenapa pengen jadi penulis?" Pria gendut itu lanjut.
"Karena... kebetulan suka nulis. Kayaknya akan terasa menyenangkan kalau kita bisa bekerja sesuai dengan hobi." Gue penuh percaya diri saat mengatakan itu. "Dari hobi, bisa jadi karya, dapet uang juga hehe... " Lanjut gue. Gue mulai sedikit terbawa suasana, gue bicara cukup panjang kali ini.
Si pria gendut kemudian tersenyum dan berkata, "Selain itu , penulis juga bebas, enggak ada jam kerjanya, bisa kerja dimanapun dan kapanpun dia mau."
"Iya juga ya..." Gue baru sadar kalau penulis tak punya jam kerja tertentu. Tak seperti pekerja kantoran, seorang penulis bebas mengatur jam kerjanya sendiri, ia bisa bekerja kapan saja, asal bisa menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan batas waktu yang di berikan, hidupnya akan baik-baik aja . Gue pikir, hidup seorang penulis itu sama seperti seorang siswa yang harus mengerjakan tugas sekolah setiap hari. Karena tak ada aturan kerja tertentu, maka hidupnya sedikit terbebas dari perintah dan aturan yang di buat oleh orang lain. Kehidupan seperti itulah yang gue inginkan sesungguhnya, bebas.
"Tapi agar bisa jadi penulis, harus punya mental yang kuat." Ucap si pria gendut. "Untuk menerima penolakan dari penerbit berulang kali butuh hati dan jiwa yang bisa bertahan saat menerima kenyataan pahit." Lanjutnya.
Perasaan gue seakan terwakilkan oleh ucapan si pria. " Iya ... bener banget. Kok bapak tahu sih ?"
"Karena saya juga ingin jadi penulis mas." Si pria gendut tersenyum setelah mengatakan itu.
"Oh... ya ?" gue penasaran.
"Iya mas..." Si pria gendut berhenti berkata, matanya tampak berkaca - kaca. "Setelah hampir 10 tahun saya menulis dan mengirimkan naskah-naskah saya ke penerbit, akhirnya kemarin saya baru aja menerima email dari pihak penerbit yang mengumumkan kalau naskah saya akan di terbitkan." Kata si pria gendut lagi. Gue sedikit terkejut mendengar penjelasan dari si pria gendut .
"10 tahun? Baru di terima penerbit ?!" katanya dengan nada suara yang agak meninggi.
"Iya ... hehe ... walaupun ada beberapa bagian yang harus di revisi. Ini saya mau datang ke kantor penerbit untuk ketemu dengan editor saya. "
"Wah ... keren." Gue terkagum-kagum.
Setelah mendengar cerita si pria gendut yang tak gue ketahui namanya itu, gue merasa kagum dengannya. Gue enggak bisa membayangkan betapa sabarnya orang itu untuk terus menulis dan percaya pada mimpinya. Gue merasa kalau pria gendut berkaos pink itu tidak sedang berbohong atas ceritanya, matanya terlihat tulus saat bercerita. 10 tahun itu bukan waktu yang singkat, pria gendut iitu terus berusaha dan percaya pada mimpinya sampai terwujud . Itu benar - benar hal yang luar biasa.
Gue tersenyum menatap ke jalan raya, gue semakin yakin kalau kelak mimpinya untuk menjadi penulis novel maupun penulis komik yang hebat akan terwujud.
Setelah hampir 30 menit menunggu, akhirnya bis jurusan kota Garam pun tiba dan berhenti tepat di depan halte. Gue segera menutup laptop, lalu memasukannya ke dalam ransel. Gue dan si pria gendut berkaos pink berdiri, kita berdua kemudian melangkah memasuki bis yang akan membawa mereka ke tujuan masing - masing.
Bersambung ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 68 Episodes
Comments