Chapter 15 : Halte

Minggu pagi.

Sekitar jam sembilan pas, gue baru saja tiba di halte bus yang ada di sekitaran SMA Brokoli, sekolah gue, hanya perlu sekitar 10 menit jalan kaki untuk bisa sampai ke situ.

Gue langsung duduk di bangku halte bersama satu orang yang sudah duduk di bangku halte tersebut, menunggu bus jurusan kota Garam.

Hari ini gue ada janji bersama seorang teman sekelas, yang pasti bukan Adit, temen gue bukan dia doang, tujuanya buat mengerjakan tugas kelompok.

Dengan setelan kemeja kotak-kotak hitam, celana jins yang sedikit kedeodoran, sendal swallow biru dan tas ransel sekolah yang menempel di punggung , gue merasa cukup percaya diri.

Hari ini agenda kegiatan gue bukanlah untuk pergi ke kota Garam, melainkan ke perpustakaan umum menaiki bus jurusan kota Garam.

Karena emang jarak antara rumah gue dan perpustakaan umum cukup jau , butuh waktu sekitar 1 jam perjalanan naik bus untuk sampai ke sana.

Duduk bersama dengan orang yang enggak gue kenal di halte, gue ngerasa sedikit canggung. gue duduk di bangku paling kiri, bersebelahan dengan pria gendut yang memakai kaos pink.

"Pagi pak ..." Sapa gue, sekedar basa basi

"Pagi mas .." Kata Pria gendut itu, usianya sekitar 40 tahunan. Si pria gendut tersenyum saat menyapa balik gue.Cukup ramah.

"Mau kemana mas?" Orang itu bertanya.

"Ke perpus umum,pak." Jawab gue dengan sopan.

"Pasti mau ngerjain tugas ya mas ?"

"Iya pak," gue mengangguk. Lalu  kita berdua saling diam, kehabisan topik.

Gue adalah orang yang mudah canggung dan sulit mencari topik obrolan, duduk bersama dengan orang asing membuat gue keringat dingin.

"Mas kelas berapa " Tanya Pria gendut itu lagi.

"Kelas 2 SMA pak." Jawab gue sambil menyenderkan punggung di bagian belakang bangku. Pria gendut menatap ke arah jalan raya di depan halte, berharap bus yang di tunggu segera tiba, gue pun demikian.

Rangga menyenderkan punggung di bangku, ngerasa bosen. Gue Kemudian mengamati sekeliling, melihat kendaraan yang berlalu-lalang di jalan raya, menunggu kedatangan bus yang akan membawa mereka ke tujuan masing-masing.

Cuaca hari ini cukup cerah, angin yang berhembus lembut terasa hangat ketika menerpa tubuh. Suara burung pipit samar samar saling bersahutan, terdengar merdu di telinga. Gue yang bersandar pada bagian belakang bangku perlahan mulai merasa ngantuk karena terbawa suasana nyaman di sekitar. Kedua kelopak mata perlahan terasa berat untuk di buka, gue menguap beberapa kali. Rasa kantuk benar-benar tak tertahankan.

Saat gue hampir benar-benar tertidur, pria gendut berkaos pink yang ada di sebelah perlahan menepuk pundak gue, ngebuat gue sedikit terkejut.

"Mas, jangan tidur, masih pagi!" Ucap si pria gendut pada gue.

"Saya ngantuk banget pak, hehe... semalem begadang soalnya." Kata gue, sedikit malu-malu.

"Iya, tapi jangan tidur jam segini, enggak baik." Si pria gendut memperingati.

Gue bingung.

"Emang kenapa pak?" Tanya gue.

"Nanti rejekinya seret. Pokoknya jangan tidur kalo masih pagi, mas!"

Gue nelen ludah,bkhawatir akan nasib rejeki gue. Gue keinget sesuatu. Faktnya, selama ini gue sering tidur di pagi hari. Bahkan ketika berada di sekolah pun gue sering tertidur di tengah jam pelajaran pertama yaitu sekitar jam 08.00 sampai jam 10.00 pagi. Apalagi pas libur panjang, hampir setiap hari gue selalu bangun di siang bolong.

"Serius pak?" gue kembali menegakkan punggung.

"Iya mas, tidur di pagi hari itu bikin rejeki seret." Pria gendut itu sedikit bergeser, merasa lelah duduk dengan posisi yang sama.

"Masnya pernah denger istilah ' Rejeki di patok ayam enggak'? " Pria gendut itu lanjut bertanya.

"Iya sih, nenek saya biasanya bilang gitu." Gue mengangguk.

"Nah... tapi maksudnya bukan beneran di patok ayam lho itu rejekinya."

"Iya saya paham kok, itu cuman kiasan." Kata gue.

"Menurut saya kiasan sederhana itu nyindir banget mas. Harusnya kita malu mas di bandingin sama ayam yang selalu bangun pagi untuk membangunkan yang masih terlelap di pagi hari." Pungkas pria gendut. Gue hanya terdiam dan menggangguk, menyetujui pendapat pria itu.

"Iya juga sih pak, hehe... mungkin mulai sekarang saya akan lebih berusaha untuk bangun pagi." Kata gue.

Hening... Kita berdua enggak tahu harus mengobrol tentang apa lagi.

Waktu menunjukan pukul 09.15, bus pun tak kunjung melintas. Gue yang merasa bosen memilih untuk bermain game Mobile Legend di HP supaya tidak mengantuk dan tertidur, sementara pria gendut di sebelah kini terlihat sedang membaca koran.

Di tengah keasyikannya bermain game, dalam pikiran gue terbesit tentang naskah komik yang sedang gue kerjakan . Entah mengapa separuh dari diri ini tiba - tiba saja merasa bersalah. Seharusnya, bisa aja di waktu luang yang ada saat ini, gue gunakan untuk mengerjakan cicilan naskah novel.

Namun disisi lain, gue juga ingin sedikit bersenang - senang. Babak demi babak pertandingan di dalam game gue jalani. Lambat laun rasa tak enak hati gue terhadap diri sendiri makin bertambah. Ingin rasanya gue berhenti bermain game dan mengeluarkan laptop yang ada di dalam ransel lalu mulai menulis, tapi rasa candu yang di timbulkan saat bermain game masih merasuki pikiran gue, tiap kali pertandingan selesai gue ingin berhenti, namun entah kenapa gue selalu ingin melanjutkan permainannya juga.

"Gue enggak bisa gini terus." Gumam gue dalam hati. Segera setelah berucap demikian di dalam hati, gue lantas menghentikan pertandingan di dalam gamenya walaupun masih berada di tengah babak. gue enggak peduli walau nanti akan mendapat pinalti dan tak diizinkan bertanding selama 24 jam.

Gue mengeluarkan laptopnya dari dalam tas, lalu meletakannya di pangkuan untuk kemudian menyalakannya. Usai menunggu layar loading untuk beberapa saat, gue langsung membuka Microsoft Word, berniat melanjutkan naskah komik untuk Adit.

Mata memandang tulisan-tulisan di lembar putih, gue meletakan jari-jari di atas keyboard, bersiap menuliskan sesuatu. Namun, tak ada satupun kata yang mulai tertulis dari jari-jari gue, gue hanya menatap kaku ke arah layar laptop, saat ini kepala gue benar-benar kosong. Sesekali gue mencoba menulis beberapa kata, lalu menghapusnya lagi. Hal itu gue lakukan untuk beberapa kali, karena merasa kalimat-kalimat itu kurang bagus.

Angin berhembus kencang, menerbangkan beberapa sampah dan daun kering yang ada di sekitar. Suara dedaunan yang masih menempel di atas ranting pohon terdengar cukup nyaring ketika diterpa angin. Hampir 20 meint berlalu sejak gue duduk di bangku halte bersama si pria gendut berkaos pink. Bus yang kita tunggu belum juga tiba.

"Ngerjain apa mas?" Entah bagaimana, tiba-tiba aja si pria gendut berada lebih dekat di samping gue.

"Oh , lagi ngerjain ini pak. " Jawab gue.

Si pria gendut menatap ke arah laptop gue untuk beberapa detik, sebelum akhirnya berkata, "Wah... nulis cerita ya, mas?"

"I... iya pak." Gue ragu - ragu saat menjawab. Sebenarnya ngerasa enggak nyaman saat ada orang yang membaca tulisan gue tanpa izin. Bagaimanapun, tulisan yang belum selesai itu akan sedikit memalukan jika di baca sama orang lain, terlebih gue sudah pernah beberapa kali menerima penolakan dari penerbit, rasa malunya bisa dua kali lipat.

Pria gendut berkaos pink sedikit mendekat ke gue, menatap ke arah laptop lebih seksama lagi, penasaran dengan apa yang gue tulis. Merasa tak nyaman, gue pun sedikit bergeser ke kiri, memberi sedikit jarak antara gue dan si pria gendut.

Menatap ke arah pria gendut berkaos pink, gue ngerasa kayak sedang terjebak dalam situasi yang cukup canggung serta aneh  Berawal dari sapaan sederhana yang gue berikan pada orang asing hanya untuk sekedar basa-basi, malah berakhir dengan perasaan aneh karena ternyata orang yang gue ajak basa-basi langsung merasa sok akrab. Bagi gue yang sedikit Introvert, hal itu adalah hal yang cukup menyebalkan. " Ya ampun , bisnya kok enggak dateng-dateng ya. Bawa aku pergi dari sini… Aku pengen pindah ke Meikartaaa." Gue berbicara dalam hati, memohon entah pada siapa.

Setelah beberapa menit membaca, si pria gendut menegakan kembali punggungnya, kemudian memegangi dagu sambil memasang raut wajah yang serius.

"Ini mau ke arah cerita - cerita komedi gitu ya, mas? " Tanya si pria gendut.

Gue sedikit terkejut mendengar pertanyaan si pria gendut itu, ternyata dia benar-benar membaca naskahnya komik gue. " Iya sih pak , niatnya mau ke arah situ , tapi kadang saya masih bingung mau masukin bumbu - bumbu komedinya di bagian apa." Jawab gue.

"Biasanya mas nulis genre apa?" Pria gendut lanjut bertanyanya

"Percintaan gitu, tapi udah terlalu sering di tolak penerbit. Tapi ini nantinya bakal saya pake buat komik."

Si pria gendut terlihat sedikit bersemangat. "Oh ... udah pernah ngirim naskah ke penerbit ya mas?" Katanya.

"Udah sering sih pak, dan ditolak semua." Si pria gendut tiba-tiba saja menepuk-nepuk pundak gue beberapa kali. Gue memasang ekspresi aneh, gue agak merasa jijik. Apalagi si pria itu memakai kaos pink. Gue jadi sedikit curiga bercampur bingung. Tiba -tiba nepok - nepok bahu gue, sok akrab banget, gue jadi agak khawatir dengan masa depan gue. Mana pake baju pink lagi, jangan - jangan sebenernya dia bencong.

Pria gendut itu bergeser sedikit, kemudian mengamati dan bertanya ."Mas mau jadi penulis ya ?"

" Iya pak, pengennya sih gitu, ini masih terus usaha sih pak. Ternyata enggak mudah ya, jadi penulis." Jawab gue.

"Kenapa pengen jadi penulis?" Pria gendut itu lanjut.

"Karena... kebetulan suka nulis. Kayaknya akan terasa menyenangkan kalau kita bisa bekerja sesuai dengan hobi." Gue penuh percaya diri saat mengatakan itu. "Dari hobi, bisa jadi karya, dapet uang juga hehe... " Lanjut gue. Gue mulai sedikit terbawa suasana, gue bicara cukup panjang kali ini.

Si pria gendut kemudian tersenyum dan berkata, "Selain itu , penulis juga bebas, enggak ada jam kerjanya, bisa kerja dimanapun dan kapanpun dia mau."

"Iya juga ya..." Gue baru sadar kalau penulis tak punya jam kerja tertentu. Tak seperti pekerja kantoran, seorang penulis bebas mengatur jam kerjanya sendiri, ia bisa bekerja kapan saja, asal bisa menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan batas waktu yang di berikan, hidupnya akan baik-baik aja . Gue pikir, hidup seorang penulis itu sama seperti seorang siswa yang harus mengerjakan tugas sekolah setiap hari. Karena tak ada aturan kerja tertentu, maka hidupnya sedikit terbebas dari perintah dan aturan yang di buat oleh orang lain. Kehidupan seperti itulah yang gue inginkan sesungguhnya, bebas.

"Tapi agar bisa jadi penulis, harus punya mental yang kuat." Ucap si pria gendut. "Untuk menerima penolakan dari penerbit berulang kali butuh hati dan jiwa yang bisa bertahan saat menerima kenyataan pahit." Lanjutnya.

Perasaan gue seakan terwakilkan oleh ucapan si pria. " Iya ... bener banget. Kok bapak tahu sih ?"

"Karena saya juga ingin jadi penulis mas." Si pria gendut tersenyum setelah mengatakan itu.

"Oh... ya ?" gue penasaran.

"Iya mas..." Si pria gendut berhenti berkata, matanya tampak berkaca - kaca. "Setelah hampir 10 tahun saya menulis dan mengirimkan naskah-naskah saya ke penerbit, akhirnya kemarin saya baru aja menerima email dari pihak penerbit yang mengumumkan kalau naskah saya akan di terbitkan." Kata si pria gendut lagi. Gue sedikit terkejut mendengar penjelasan dari si pria gendut .

"10 tahun? Baru di terima penerbit ?!" katanya dengan nada suara yang agak meninggi.

"Iya ... hehe ... walaupun ada beberapa bagian yang harus di revisi. Ini saya mau datang ke kantor penerbit untuk ketemu dengan editor saya. "

"Wah ... keren." Gue terkagum-kagum.

Setelah mendengar cerita si pria gendut yang tak gue ketahui namanya itu, gue merasa kagum dengannya. Gue enggak bisa membayangkan betapa sabarnya orang itu untuk terus menulis dan percaya pada mimpinya. Gue merasa kalau pria gendut berkaos pink itu tidak sedang berbohong atas ceritanya, matanya terlihat tulus saat bercerita. 10 tahun itu bukan waktu yang singkat, pria gendut iitu terus berusaha dan percaya pada mimpinya sampai terwujud . Itu benar - benar hal yang luar biasa.

Gue tersenyum menatap ke jalan raya, gue semakin yakin kalau kelak mimpinya untuk menjadi penulis novel maupun penulis komik yang hebat akan terwujud.

Setelah hampir 30 menit menunggu, akhirnya bis jurusan kota Garam pun tiba dan berhenti tepat di depan halte. Gue segera menutup laptop, lalu memasukannya ke dalam ransel. Gue dan si pria gendut berkaos pink berdiri, kita berdua kemudian melangkah memasuki bis yang akan membawa mereka ke tujuan masing - masing.

Bersambung ...

Episodes
1 Chapter 01 : Hujan & Restoran
2 Chapter 02 : Murid Baru
3 Chapter 03 : Gadis Idaman
4 Chapter 04 : Sedikit Rasa Cemburu
5 Chapter 05 : Impian Yang Terkubur
6 Chapter 06 : Mari Menulis Komik Bersama
7 Chapter 07 : Alasan Untuk Menjadi Penulis Komik
8 Chapter 08 : Memulai
9 Chapter 9 : Galau
10 Chapter 10 : Mantan
11 Chapter 11 : Curhatan Mantan
12 Chapter 12 : Terdistraksi
13 Chapter 13 : Maen Mobile Legend
14 Chapter 14 : Maen Mobile Legend (Bagian 2)
15 Chapter 15 : Halte
16 Chapter 16 : Sepatu Kebakar
17 Chapter 17 : Manis, Lalu Hambar
18 Chapter 18 : Bermalas-malasan Sebelum Malam Tahun Baru
19 Chapter 19 : Saingan
20 Chapter 20 : Meow... Meow
21 Chapter 21 : Dulu
22 Chapter 22 : Dulu (Bagian 2)
23 Chapter 23 : Salah Beli
24 Chapter 24 : Menunggu Pergantian Tahun
25 Chapter 25 : Sup Daging
26 Chapter 26 : Hati Yang Meledak
27 Chapter 27 : Riyan Di Perpustakaan
28 Chapter 28 : Malam Tahun Baru
29 Chapter 29 : Misteri Kotak Kertas Suara Pemilihan OSIS
30 Chapter 30 : Peringkat
31 Chapter 31 : Razor19
32 Chapter 32 : Tak Ada Salahnya Untuk Ikut
33 Chapter 33 : Terkunci Dari Luar
34 Chapter 34 : Usaha Yang Sia-Sia
35 Chapter 35 : Terlambat Menyadari
36 Chapter 36 : Sumber Dari Patah Hati
37 Chapter 37 : Diselamatkan & Ditembak
38 Chapter 38 : Nat
39 Chapter 39 : Bergabung
40 Chapter 40 : Kira-Kira Setahun Yang Lalu
41 Chapter 41 : Pertemuan pertama (Bagian 1)
42 Chapter 42 : Pertemuan Pertama (Bagian 2)
43 Chapter 43 : Pertemuan Pertama (Bagian 3)
44 Chapter 44 : Bukan Tidur Yang Bikin Aku Mimpi, Tapi Kamu (Bagian 1)
45 Chapter 45 : Gue Ada Kegiatan Ekskul
46 Chapter 46 : Tujuan Yang Sama
47 Chapter 47 : Si Cewek Muka Pucat
48 Chapter 48 : Kelompok Ekstrakurikuler Menulis
49 Chapter 49 : Hyouka
50 Chapter 50 : Di dalam bis kenangan (Bagian 1)
51 Chapter 51 : Di dalam bis kenangan (Bagian 2)
52 Chapter 52 : Riyan dan Darmin
53 Chapter 53 : Riyan dan Ayu (Kisah Masa SMP)
54 Chapter 54 : Riyan dan Merpati Putih (Kisah Masa SMP)
55 Chapter 55 : Riyan dan Petasan Bambu (Kisah Masa SMP)
56 Chapter 56 : Riyan dan Matematika (Kisah Masa SMP)
57 Chapter 57 : Riyan Dan Teman Masa Kecil (Kisah Masa SMP)
58 Chapter 58 : Riyan dan Ajeng (Kisah Masa SMP)
59 Chapter 59 : Serotonin (Kisah Masa SMP)
60 Chapter 60 : Bertemu kawan lama
61 Chapter 61 : Tetangga Baru
62 Chapter 62 : Pohon Dalem Rumah
63 Chapter 63 : Ternyata...
64 Chapter 64 : Kegiatan Sekolah : Lari Marathon
65 Chapter 65 : Evi Menawarkan Tumpangan Gratis
66 Chapter 66 : Curang dan Ketahuan
67 Chapter 67 : Bersantai Di Aula
68 Chapter 68 : Waktu Luang Sepulang Sekolah
Episodes

Updated 68 Episodes

1
Chapter 01 : Hujan & Restoran
2
Chapter 02 : Murid Baru
3
Chapter 03 : Gadis Idaman
4
Chapter 04 : Sedikit Rasa Cemburu
5
Chapter 05 : Impian Yang Terkubur
6
Chapter 06 : Mari Menulis Komik Bersama
7
Chapter 07 : Alasan Untuk Menjadi Penulis Komik
8
Chapter 08 : Memulai
9
Chapter 9 : Galau
10
Chapter 10 : Mantan
11
Chapter 11 : Curhatan Mantan
12
Chapter 12 : Terdistraksi
13
Chapter 13 : Maen Mobile Legend
14
Chapter 14 : Maen Mobile Legend (Bagian 2)
15
Chapter 15 : Halte
16
Chapter 16 : Sepatu Kebakar
17
Chapter 17 : Manis, Lalu Hambar
18
Chapter 18 : Bermalas-malasan Sebelum Malam Tahun Baru
19
Chapter 19 : Saingan
20
Chapter 20 : Meow... Meow
21
Chapter 21 : Dulu
22
Chapter 22 : Dulu (Bagian 2)
23
Chapter 23 : Salah Beli
24
Chapter 24 : Menunggu Pergantian Tahun
25
Chapter 25 : Sup Daging
26
Chapter 26 : Hati Yang Meledak
27
Chapter 27 : Riyan Di Perpustakaan
28
Chapter 28 : Malam Tahun Baru
29
Chapter 29 : Misteri Kotak Kertas Suara Pemilihan OSIS
30
Chapter 30 : Peringkat
31
Chapter 31 : Razor19
32
Chapter 32 : Tak Ada Salahnya Untuk Ikut
33
Chapter 33 : Terkunci Dari Luar
34
Chapter 34 : Usaha Yang Sia-Sia
35
Chapter 35 : Terlambat Menyadari
36
Chapter 36 : Sumber Dari Patah Hati
37
Chapter 37 : Diselamatkan & Ditembak
38
Chapter 38 : Nat
39
Chapter 39 : Bergabung
40
Chapter 40 : Kira-Kira Setahun Yang Lalu
41
Chapter 41 : Pertemuan pertama (Bagian 1)
42
Chapter 42 : Pertemuan Pertama (Bagian 2)
43
Chapter 43 : Pertemuan Pertama (Bagian 3)
44
Chapter 44 : Bukan Tidur Yang Bikin Aku Mimpi, Tapi Kamu (Bagian 1)
45
Chapter 45 : Gue Ada Kegiatan Ekskul
46
Chapter 46 : Tujuan Yang Sama
47
Chapter 47 : Si Cewek Muka Pucat
48
Chapter 48 : Kelompok Ekstrakurikuler Menulis
49
Chapter 49 : Hyouka
50
Chapter 50 : Di dalam bis kenangan (Bagian 1)
51
Chapter 51 : Di dalam bis kenangan (Bagian 2)
52
Chapter 52 : Riyan dan Darmin
53
Chapter 53 : Riyan dan Ayu (Kisah Masa SMP)
54
Chapter 54 : Riyan dan Merpati Putih (Kisah Masa SMP)
55
Chapter 55 : Riyan dan Petasan Bambu (Kisah Masa SMP)
56
Chapter 56 : Riyan dan Matematika (Kisah Masa SMP)
57
Chapter 57 : Riyan Dan Teman Masa Kecil (Kisah Masa SMP)
58
Chapter 58 : Riyan dan Ajeng (Kisah Masa SMP)
59
Chapter 59 : Serotonin (Kisah Masa SMP)
60
Chapter 60 : Bertemu kawan lama
61
Chapter 61 : Tetangga Baru
62
Chapter 62 : Pohon Dalem Rumah
63
Chapter 63 : Ternyata...
64
Chapter 64 : Kegiatan Sekolah : Lari Marathon
65
Chapter 65 : Evi Menawarkan Tumpangan Gratis
66
Chapter 66 : Curang dan Ketahuan
67
Chapter 67 : Bersantai Di Aula
68
Chapter 68 : Waktu Luang Sepulang Sekolah

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!