Suara bel sekolah berbunyi cukup panjang, akhirnya udah waktunya pulang. Dari tempat duduk gue yang ada di pojok belakang ruang kelas, gue memandangi punggung Olivia yang duduk di bangku paling depan. Sambil ngobrol sama temen sebangkunya, Olivia masukin buku-buku yang ada di atas meja ke dalem tas warna merah jambu miliknya. Tampak dari samping, senyum mantan gue itu masih semanis dulu. Hati gue masih ngerasain getaran itu, getaran yang enggak bisa di jelasin dengan susunan kata apapun.
Dia berdiri, bersiap pergi ninggalin kelas. Olivia tubuhnya ramping, rambutnya panjang lebat, tampak anggun dari belakang. Mata gue masih terus fokus memandangi punggungnya, harap-harap cemas sambil ngarep dia enggak menoleh ke belakang, tepatnya ke arah gue.
Selama belajar di kelas yang sama, kita sama sekali belum saling bertatap muka.
Pas jam istirahat tadi, gue keluar kelas lewat depan tempat duduknya dia tapi mata gue enggak berani ngeliat ke arah dia, curi-curi pandang juga enggak, karena malu aja gitu rasanya.
Gue menghela nafas lega karena akhirnya Olivia dan temenya bener-bener keluar dari ruang kelas tanpa sedikit pun ngeliat ke arah gue.
Ngomong-ngomong, Adit udah keluar kelas duluan karena dia buru-buru ke ruang ekstrakulikuler musik buat nyerahin formulir pendaftaran anggota. Tadi, gue sempet nanya apakah dia beneran bisa main piano apa enggak, dan dia bilang enggak bisa. Terus pas gue tanya apa motivasi dia untuk gabung ke ekstrakulikuler musik, dia jawab “Sebenernya gue lagi naksir sama Grace, yan. Itu, lho, yang tadi main keyboard. Hehe...” Dugaan gue emang bener, tujuan dia emang mau deketin cewek, bukan karena hobi atau bisa main musik.
Kalau emang niat dia gitu juga enggak masalah, sih, siapa tau dia kedepannya bisa jago main piano dan jadi profesional. Soalnya gue pernah denger pepatah, “Masa depanmu tergantung pada orang di sekelilingmu.” Kalo Adit sering bareng orang-orang yang jago main musik, dia bakal jago main musik juga.
Namun, lain lagi ceritanya kalau dia cuman niat ngincer cewek aja, dan ogah-ogahan belajar barproses bersama anggota ekstrakulikuler musik, yang ada dia hanya akan ngerasain sakitnya patah hati.
Gue tahu apa yang Adit enggak ketahui. Saat ini dia hanya berfikir kalau Grace itu jomblo. Iya, sih, emang dia kayaknya jomblo, tapi seperti yang tadi gue amati di ruang musik, Grace kayaknya suka sama si cowok cool, alias si ketua ekstrakulikuler, alias Indra. Begitu pula sebaliknya, Indra juga kayaknya suka sama Grace. Kalo emang demikian, Adit bakal kecewa.
Gue enggak mau ngasih tahu ke Adit tentang itu, biar dia berjuang dulu, siapa tahu dapet. Tapi, ragu juga, sih, kalau Adit bakal berhasil nanti. Semoga temen sebangku gue bakal baik-baik aja, deh, terutama di bagian hati.
Semua buku di atas meja udah gue masukin ke dalem tas, gue berdiri dan mulai bersiap keluar dari kelas, lalu pulang ke rumah.
Langit senja mulai membentang di atas sana, puluhan siswa berhamburan keluar ngelewatin gerbang sekolah, dan gue ada di antara mereka, berjalan dengan langkah kaki yang lemah karena udah kecapean. Enaknya, nanti begitu tiba rumah gue berendem air anget sampai maghrib, deh. Tubuh gue berasa lemes banget enggak tahu kenapa. Selesai mandi bikin kopi, terus nonton TV.
Di rumah sendirian berasa bebas banget, mau ngapain aja terserah, tapi ya kadang gue ngerasa kesepian. Kalau kesepian, gue scroll FB, Tiktok dan nonton Youtube , sungguh tidak produktif. Jujur aja, gue jarang belajar kalau punya waktu luang.
Sebenernya dulu gue punya satu impian yang ingin gue kejar, tapi gue nyerah karena udah gagal berulang kali. Rasanya percuma kalau gue terusin, mending gue nyerah dan ngejalanin kehidupan yang biasa-biasa aja, enggak ribet. Kalau lulus nanti, gue mungkin bakal jadi orang kantoran yang punya kehidupan monoton nan membosankan, biarlah. Setidaknya aman, dari pada ngejar sesuatu yang enggak pasti.
Keluar dari gerbang dan menuju arah pulang, gue di sambut oleh Olivia yang tersenyum sembari melambaikan tangan, menyuruh gue untuk menghampirinya. Dia berjarak dua meter dari tempat gue berdiri. Senyum yang tampak terpaksa terukir di wajah gue sebelum melangkah menghampirinya.
“Ngomong-ngomong, kamu apa kabar?” Olivia bertanya setelah kita berjalan beriringan dalam keadaan canggung selama beberapa menit.
“Baik, lo gimana?” Gue berjalan sembari ngeliat ke bawah, enggak berani ngeliat dia langsung.
“Baik juga, alhamdulilah.”
Kita saling diam lagi. Hening. Keramaian siswa-siswi yang pulang sekolah begitu terasa, suara kendaraan di jalan raya yang ada di sebelah kiri kita terdengar saling bersautan.
Sambil terus jalan bareng bareng Olivia, kepala gue enggak berhenti mikir pertanyaan apa yang harus gue tanyain ke dia. Gue sempet mau nanya tentang berapa harga beras di pasaran, tapi ngapain juga gue nanya begitu. Akhirnya, dengan spontan gue nanya lagi, “Lo mau ke mana? Kok kita jalan searah?”
“Tuh,” Olivia menunjuk ke depan, tepanya ke arah halte yang tak begitu jauh dari kita berdua, “Aku mau ke halte.”
“Berangkat sekolah naik bis ya tadi?”
Olivia menggelengkan kepala, “Enggak, aku di anter. Ini juga nanti di jemput, suruh nunggu di halte situ katanya.” Olivia tersenyum setelah menjawab.
“Oh, gitu.” Gue juga tersenyum, tapi canggung. “Bukannya rumah lo jauh banget dari sini ya? Kalau naik bis juga harus beberapa kali, naik kendaraan pribadi juga lama.”
Olivia diam beberapa saat sebelum berkata, “Oh, aku sekarang udah pindah, aku sama mamah tinggal di rumah tante.”
“Oh, ya?” Gue penasaran.
“He’em.” Olivia mengangguk.
“Di daerah mana?” Tanya gue.
“Gandamaya.”
Gue memegangi dagu. Daerah situ, ya. Beberapa temen sekelas ada yang rumahnya di daerah situ juga, kebanyakan dari mereka yang tinggal di sana pada naik angkot untuk berangkat ke sekolah. Tapi, kenapa Olivia pindah ke sana? Terus, kenapa dia tinggal sama tantenya? Gue yakin pasti ada sesuatu, kalau gue tanyain lebih jauh rasanya enggak sopan dan terlalu berlebihan. Sebaiknya gue pendam rasa penasaran gue.
Tak lama kemudian, ada cowok berseragam SMA mengendarai motor kawasaki ninja warna hijau menepi dari jalan raya, kemudian berhenti di halte yang sedang di tuju oleh Olivia.
“Nah, itu dia orang yang jemput aku.” Kata Olivia sembari menatap orang yang masih pakai helm dan jaket kulit.
“Syukur, deh, kalau orang yang lo tunggu udah dateng.” Kata gue.
“Iya, aku kira nanti bakal nunggu lama di halte, ternyata dia tepat waktu.”
Cowok yang jemput mantan gue kemudian perlahan membuka helm warna item yang dia pakai. Ketika helm tersebut udah terlepas sepenuhnya dari kepala, gue dapat melihat dengan jelas wajah cowok tersebut. Dia adalah cowok yang bareng Olivia pas ada di restoran Lada Hitam semalem.
“Dia siapa?” Bodoh banget gue kenapa gue nanya gitu, pada hal udah jelas kalau...
“Oh, itu pacar aku.” Jawab Olivia sambil tersenyum.
Kan, pasti pacarnya.
“Riyan, aku duluan, ya.” Olivia tampak ingin bergegas mempercepat langkah kakinya.
“Iya, silahkan.”
Olivia berlari kecil menghampiri pacarnya yang ada di dekat halte. Dia sempet noleh ke belakang, memberikan gue sepotong senyumannya yang manis, gue hanya bisa membalas senyuman itu dengan prasaan datar dan sedikit rasa cemburu. Lemes. Bahkan sampai Olivia dan pacarnya berlalu, gue masih diliputi rasa cemburu.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 68 Episodes
Comments
Krupuk Cocol Sambel
ganti nama bang, lagi sakit belum sempet edit2 hehe...
2023-06-05
0
Dinnost
Ganti nama ato beda orang?
Si cewek cindo bukannya Jane
2023-06-05
0