Adit enggak bisa di ganggu hari ini, dia sibuk berlatih menggambar dengan keras, sampai-sampai di bawa ke sekolah. Alhasil dia cukup lumayan mencuri perhatian temen-temen di kelas. Dia bener-bener serius mau jadi penulis komik. Ngeliat patner gue yang serius kayak gitu, gue jadi pengen berusaha lebih kelas. Oke de, nanti gue bakal mulai nulis naskah komiknya.
"Hari ini gue harus bisa menyelesaikan satu bab ..." Ujar gue pada diri sendiri.
Siang hari sepulang sekolah, gue menyibukan diri dengan menulis cicilan naskah komik. Gue memiliki tekad kalau hari ini harus menulis seseuatu , seenggaknya satu bab. Gue mencoba berkonsentrasi dan hanya fokus pada lembar putih kosong di Microsoft Words sambil ngarep semoga hari ini menjadi hari yang produktif bagi gue setelah beberapa hari belakangan cuman ngisi waktu luang untuk bermalas - malasan, maen game dan asik di sosial media.
Gue udah bertekad dalam hati, berjanji pada diri sendiri untuk mengubah kebiasaan buruk menjadi lebih produktif. Janji untuk enggak bermalas-malasan, tidak mengandalkan mood saat menulis, serta tidak menunda-nunda ide yang sudah menumpuk di dalam kepala.
"Mulai hari ini, gue akan menulis semuanya!!" Gue menyemangati diri sendiri. Duduk dengan santai di tempat belajar, kedua telapak tangan udah berada di atas keyboard laptop. Matanya fokus menatap lembar kosong Microsoft Word di layar, serta otak udah ngebayangin adegan per adegan dari apa yang hendak gue tulis. Dengan satu tarikan nafas penuh keseriusan, dengan mantap, gue mulai menulis.
Baru saja ia menulis beberapa kata , tiba - tiba HP berdering. Seseorang menelpon, membuat konsentrasi gue terpecah. Dengan kecepatan tinggi, tangan ini segera meraih HP yang terletak di atas meja belajar, tepat di samping tangan kiri.
"Halo." Gue menjawab telepon dengan cepat.
"Riyan, lo sibuk enggak? Kita nongkrong yuk ! Di tempat biasa." itu adalah suara Bunga, temen sekelas gue yang rumahnya di daerah sini.
la menelpon Gue untuk ngajakin pergi nongkrong di tempat biasa.
"Oke." Tanpa basa-basi dan banyak tanya, gue langsung menerima ajakan dari Bunga. Setelah mengganti baju, Gue langsung berangkat.
Dan disinilah Bunga dan gue duduk, di sebuah kedai kopi sederhana langganan Bunga. Gue dan Bunga duduk saling berhadapan menikmati pesanan masing-masing. Gue memesan es kopi susu, sementara Bunga memesan es cappucino latte.
Siang-siang begini, di tengah udara yang panas, memang cocok kalau ngabisin waktu buat bersantai sembari menikmati minuman dingin.
"Gilak, hari ini panas banget ya, enggak kayak biasanya." Keluh Bunga, ia masih mengenakan seragam SMA, dan lagi-lagi ia tidak mengenakan rok ,tapi malah pake celana panjang yang harusnya di pakai sama anak cowok. Sebuah tas gitar menempel di punggungnya.
Begitu selesai latihan bersama anggota ekstrakulikuler musik, Bunga langsung menuju ke tempat ini tanpa pulang dan ganti baju dulu.
Gue menatap pendingin ruangan yang nempel di dinding, tepat di atas barista yang sedang sibuk bekerja meracik kopi. Lampu indikator pada alat itu nyala, warnanya hijau, tanda kalau alat pendingin ruangannya masih berfungsi dengan baik.
"Iya, padahal AC-nya nyala, tapi masih berasa panas banget." Kata gue sambil ngeliatin pendingin ruangannya.
Tujuan Bunga ngajak Gue ke kafe Semangka sebenarnya bukan untuk sekedar nemenin dia bersantai ngisi waktu luang aja, tapi dia punya maksud lain.
Beberapa hari belakangan ini Bunga lagi kebingungan, dia bosen ngebawain lagu orang lain setiap kali mengisi acara musik bersama grup band nya. Bunga ingin punya lagunya sendiri.
Kata dia, tadi saat di ruang musik, Bunga udah nyoba merangkai nada-nada untuk di jadikan sebuah lagu. Berkat bantuan salah satu temennya, akhirnya ya berhasil. Tapi sayangnya, Bunga enggak bisa nulis lirik.
Oh, iya, Bunga ini salah satu dari anggota ekskul musik, tapi dia enggak gabung ke band sekolah karena dia punya grup band sendiri di luar sekolah. Dulu pas masih kelas 1 gue pernah menang lomba cerpen dan puisi mewakili sekolah, terus semua orang di kelas nganggep gue jago nulis. Karena itulah dia butuh bantuan gue untuk memenuhi tujuannya menciptakan lagu.
"Gimana? Bagus enggak nada-nya?" Usai bersenandung di depan gue, gue bertanya demikian.
"Bagus kok, udah enak di dengar, lumayan merdu." Gue, mengangguk. Nada-nada yang disusun Bunga emang udah enak di dengerr, gue merasa kagum sama Bunga dan temannya.
"Ya kan? Tapi sayang banget belum ada liriknya." Keluhnya. "Bantuin gue ya, lo kan bisa nulis. " Lanjutnya.
"Lo mau lirik yang kayak gimana?" Tanya gue, berniat untuk membantu.
Bunga keliatan bingung, ia ngeliat ke arah langit-langit kafe sambil memikirkan apa yang ingin dia ungkapkan dalam lagu tersebut. "Hmm... gimana ya?" Bunga berfikir keras. Cewek setengah tomboy itu sedang memikirkan tentang apa yang ingin dia sampaikan di dalam lagu itu.
Dia cerita, awalnya saat memiliki ide untuk membuat lagu, Bunga menginginkan sebuah lagu yang galau, yang bercerita tentang perpisahan. Tapi nada - nada yang ia susun bersama temannya itu terdengar seperti lagu tentang kebahagiaan, terdengar ceria di telinga. Tantu saja itu tidak cocok jika liriknya berisikan tentang kesedihan.
"Lagu galau ya? Hmm..." Gue terdiam, terus mulai memikirkan sesuatu.
"Gue sih awalnya mikir mau nulis lagu galau, orang - orang pada suka lagu yang kayak gitu." Tutur Bunga, mengungkapkan ide. "Tapi nadanya begini, ceria banget. Enggak cocok kalau jadi lagu galau... " Bunga keliatan cemberut, ia pesimis.
"Kalau belum di coba, mana tau." Gue memotong. "Gue minta kertas sama pinjem pulpen!" Pinta gue pada Bunga.
Bunga mengambil buku tulis dan pulpen dari tas gitarnya, ya dari tas gitarnya, dia naroh, peratatan sekolah satu tempat sama gitar kesayangannya. Dia sama sekali enggak bawa ransel atau tas jinjing, dia hanya membawa gitar dan satu buah buku tulis ke sekolah, tiap hari juga begitu. Menurutnya, ekstrakulikuler musik itu lebih penting ketimbang mata pelajaran.
Setelah menerima kertas dan pulpen dari Bunga, Gue bersiap buat mulai nulis, gue beneran serius. Sesekali gue ngelirik ke arah Bunga. Dia keliatan senyum-senyum sendiri sembari menopang dagu pake kedua telapak tangannya. Kayaknya, dia ngerasa senang sekaligus penasaran dengan apa yang akan gue tulis.
Gue belum dapet ide jelas bakal nulis kayak gimana liriknya. Apakah akan sesuai dengan yang Bunga harapkan? Bunga bener-bener keliatan penasaran.
Gue nyoba memikirkan hal-hal yang menyedihkan dalam hidup, entah itu kesialan dalam percintaan atau nasib sial dalam hal lainnya.
makin gue berkonsentrasi, semakin gue mendapatkan cahaya inspirasi. Gue pernah mendengar sebuah pepatah dari penulis terkenal melalui sebuah video di Youtube. Dalam video tersebut, si penulis hebat itu berkata, "Karya yang bagus datang dari keresahan diri sendiri." Mengingat kalimat itu membuat gue berusaha untuk mencurahkan keresahan.
Sosok Olivia tiba-tiba muncul di kepala gue lagi saat gue berusaha berfikir. Sebenernya, dalam lubuk hati gue yang terdalam, gue masih berharap gue bisa menghubungi Olivia. Tapi sayangnya gue semalem lupa nge save nomer barunya Olivia dan udah terlanjur menghapus nomor tersebut, agak nyesel.
Sebenarnya kalau mau, gue bisa minta nomor telpon Olivia lagi lewat Facebook, tapi kalau di pikir-pikir, itu akan jadi hal yang memalukan. Karena dia udah punya pacar.
Setelah merenung beberapa saat sambil memikirkan Olivia, Gue tiba-tiba tersenyum kemudian segera menuliskan sesuatu di atas lembar kosong di buku yang tadi di kasih sama Bunga.
"Wah udah mulai dapet sesuatu ya?" Ucap Bunga ketika ngeliat gue yang mulai menulis, bibirnya perlahan mengukir sebuah senyuman.
"Yep. Tapi cuman dikit, ini bagian reff- ya aja." Tangan gue menggoreskan tinta dari pulpen itu dengan serius, bergerak seiring dengan perasaan yang mengalir lembut.
Gue menulis sambil tersenyum. Sesekali Gue bersenandung saat menulis, untuk mencocokan lirik dan nadanya.
Beberapa menit menulis, akhirnya lirik buatan gue selesai juga. Langsung deh gue tunjukin kertas berisi lirik itu pada Bunga.
"Coba lo nyanyiin pake nada yang tadi lo buat, pasti cocok." Kata Gue, ngerasa yakin.
"Oke deh." Dengan satu tarikan nafas, Bunga mencoba untuk menyanyikannya sambil memainkan gitar.
" Seharusnya kita masih bisa menjadi teman, Yang takkan pernah bisa saling cinta. Dan biarkan saja kisah kita menjadi kenangan, Yang takkan pernah bisa ku lupakan."
Gue ngarang kata-katanya dengan baik dan sesuai dengan nada yang di susun oleh Bunga. Beberapa pengunjung kafe yang ada di situ terlihat tersenyum menikmati suara Bunga yang sedang bernyanyi, mereka merasa sedikit terhibur dengan nyanyian cewek setengah tomboy itu.
Di meja kerjanya yang berjarak sekitar dua meter dari tempat duduk gue dan Bunga, si barista terlihat mengacungkan jempol kearah Bunga sambil tersenyum, tanda kalau lagunya emang bagus.
Bunga pun membalas dengan berkata pada si barista, " Dia yang ngarang liriknya !! " Dia ngomong dengan suara yang agak keras agar si barista bisa mendengar suaranya. Bunga berbicara sambil mengacungkan telunjuknya ke gue. Si barista hanya merespon dengan mengacungkan jempolnya lagi dan kembali melanjutkan pekerjaannya.
Lirik yang gue tulis itu hanya untuk bagian reff nya aja, untuk sementara kita belum nentuin lirik untuk bagian intro dan autro nya.
Namun itu enggak jadi masalah bagi Bunga, setidaknya lagu buatannya udah memiliki lirik, walaupun hanya bagian reff aja setidaknya Bunga tahu gambaran tentang akan jadi seperti apa lagu karangannya tersebut.
"Makasih banget lho, Riyan. Akhirnya nemu liriknya juga walaupun cuman bagian reff aja, nanti sisanya gue lanjutin sendiri." Bunga merasa senang, dia berterimakasih pada Gue sambil memegang salah satu tangan Gue dengan kedua telapak tanyannya.
"Enggak sia-sia gue ngajak lo kesini." Lanjutnya.
Gue tersenyum tipis sambil berucap singkat, "Iya." Gue hanya menatap Bunga dengan ekspresi datar saat salah satu tangannya di ayun-ayun oleh kedua telapak tangan miliknya.
Gue dapat merasakan telapak tangan itu terasa kasar, beda dengan kebanyakan cewek lain yang biasanya memiliki telapak tangan halus.
Gue ngerasa kalau Bunga benar-benar berusaha keras di bidang musik.
Selesai dengan urusan lagu, Kita berdua lanjut mengobrol santai seperti biasa sambil menikmati minuman masing-masing. Kening Bunga di basahi keringat, ia sesekali mengipasi dirinya sendiri dengan buku tulis.
Hari ini benar-benar panas . Di tengah obrolan kita, tiba-tiba Bunga bertingkah seperti orang penting setelah dia ngeliat jam tangannya. "Waduh, udah jam segini nih, gue ada janji nemenin ibu gue belanja." Katanya sambil memasukan gitar ke dalam tasnya.
Gue yang sedang asik meminum es kopi susu jadi lumayan kebingungan.
"Hmm...?"
Selesai memasukan gitarnya ke dalam tas, Bunga lalu beranjak dari tempat duduk dan berkata singkat pada Gue. "Bye."
Kemudian meminum sedikit es coppucino late miliknya sebelum akhirnya pergi meninggalkan Gue. Gue yang masih menyedot es kopi susu dengan santai kemudian berhenti, terus ngeliat Bunga yang sudah tiba di pintu keluar-masuk kafe itu, sebelum akhirnya benar-benar pergi.
"Dia belum bayar pesenannya." Kata gue.
Bersambung ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 68 Episodes
Comments