Bukan Tidur Yang Bikin Aku Mimpi, Tapi Kamu
Diluar hujan, dan gue lagi duduk di sebuah restoran yang lumayan mewah di tepi jalan raya sayur asem nomor 081525. Entah kenapa hari ini tiba-tiba aja hujan, padahal gue enggak bawa payung maupun jas hujan. Soalnya pas gue berangkat tadi langit malamnya hitam cerah bertabur bintang, seakan mendukung gue untuk dateng ke restoran ini. Tapi setelah gue sampai di sini sekitar setengah jam yang lalu, hujan malah turun deres banget. Ya, gue enggak ada masalah sama ujan,sih, tapi nanti pulangnya gimana kalau hujan masih deres kayak gini?
Gue jarang dateng ke restoran ini, bahkan gue aja lupa nama tempat ini apa, padahal baru masuk dan duduk di kursi yang posisinya deket jendela sekitar setengah jam lamanya. Gue rasa pemilik restorannya enggak jago ngasih nama, sehingga mudah dilipakan oleh pengunjung yang pelupa kayak gue.
Penyebab gue jarang dateng ke sini bukan karena tempatnya jauh dari rumah, masih sama-sama di daerah kota Merica, kok. Butuh sekitar lima belas menitan jalan kaki dari rumah untuk sampai ke sini, jadi bisa dibilang deket.
Alasan gue jarang dateng ke sini itu karena emang harga makanannya di luar nalar, mahal. Keberadaan gue disini sekarang bertujuan untuk memenuhi janji gue kepada seorang teman sekelas yang katanya mau nraktir gue. Sebagai seorang pelajar kelas 2 SMA yang lahir dari keluarga pas-pasan dan sering menderita kantong kering stadium akhir, momen ini tergolong langka. Bagi gue, makan disni sama aja kayak liburan ke Bali, terus main selancar sama Cinta Laura yang lagi pake bikini, sama-sama momen langka.
“Udah kepikiran mau pesen apa, mas?”
Tiba-tiba aja mbak-mbak pelayan yang pakai baju setelan hitam putih khas pelayan restoran mewah dateng menghampiri. Gue yang setengah ngelamun sambil ngeliatin hujan yang membasahi aspal jalanan sambil berkhayal lagi main selancar bareng Cinta Laura seketika terseret ke kenyataan.
“Hemm..., apa ya mbak?”
Si pelayan itu memasang wajah datar. “Kan mas yang mau pesen, kenapa malah nanya saya?” Katanya dengan sedikit emosi.
Gue melihat ke arah kertas menu yang udah ada di atas meja sejak gue dateng ke sini. Ngomong-ngomong si pelayan yang saat ini berdiri depan gue udah dua kali nanya ke gue tentang apa yang akan gue pesan, dan gue selalu bilang nanti aja. Dan ini adalah yang ketiga kali, enggak enak kalau gue enggak cepetan mesen dan menjawab dengan jawaban yang sama.
Melihat ke arah tulisan dan gambar berbagai macam menu makanan dan minuman dengan harga mahal, gue jadi gugup. Beberapa kali gue membolak-balik kertas dari buku menu restoran yang tak begitu teba itul, mencoba menemukan minuman ataupun makanan yang pas di kantong.
Setelah sekitar tiga puluh detik, akhirnya gue dengan mantap mengalihkan pandangan dari buku menu ke arah wajah pelayan, terus bilang, “Kopi hitam aja, deh, mbak.”
“Udah itu aja?” Tanyanya.
“Iya, mbak...” Gue sedikit canggung. “Itu aja.”
Suara hujan yang deras di luar, terdengar samar-samar dari tempat kami berada.
Si mbak pelayan langsung memasang ekspresi wajah ketus sambil mencatat pesanan gue di atas kertas kecil yang dia bawa. Ekpresi wajah dan gerakan tangannya saat mencatat seakan menggambarkan isi hatinya yang berkata “Makan di tempat elit, padahal ekonomi sulit.” Kemudian dia pergi setelah menyuruh gue menunggu pesanan.
Enggak butuh waktu lama, kopi hitam pesanan gue pun akhirnya dateng. Gue menatap secangkir kopi hitam yang masih menjulurkan asap tipis itu dengan seksama. “Begini doang dua puluh ribu?” Kata gue, enggak nyangka. Padahal, kalau di warkop biasa, untuk kopi dengan ukuran cangkir yang sama harganya cuma tiga ribu aja, disini bisa hampir empat kali lipatnya.
“Pahit.” keluh gue setelah menyeruput kopi.
sempet kepikiran kalau temen yang lagi gue tungguin ini mungkin enggak jadi dateng karena ujan deres. Tapi beberapa menit kemudian saat gue menikmati kopi sambil ngeliat hujan di luar jendela, orang yang gue tunggu-tunggu akhirnya dateng. Dia keliatan kebingungan di antara puluhan tempat duduk yang ada di restoran, dan gue hanya memperhatikan sambil memegangi cangkir berisi kopi hitam yang udah mulai sedikit dingin.
Dengan memakai jaket imut tebal berwarna merah jambu, cewek itu terus ngeliat ke segala arah ruang restoran dengan wajah kebingungan, pasti lagi nyariin gue. Dari jauh gue perhatiin dia diem-diem, sengaja enggak mau nyapa duluan, seneng aja liat dia kebingungan.
Beberapa saat kemudian, dia ngeluarin handphone dari dalem saku celana levis yang keliatan basah di beberapa bagian, lalu mencoba menelpon seseorang dan gue yakin orang yang dia telpon itu adalah gue. Tersenyum sambil tetep ngeliatin dia, hati ini ngerasa cukup puas.
“Riyan!” Kata dia sambil senyum dan melambaikan tangan kayak orang yang enggak tahan lagi uji nyali di tempat angker.
Gue mencoba membalas sapaannya dengan senyuman semanis mungkin. Pandangan kita saling bertemu sesaat setelah dia manggil nama dia, lalu dia pun bergegas menghampiri gue yang duduk di dekat jendela restoran.
“Sorry, ya, gue telat. Soalnya pas gue dalam perjalanan, tiba-tiba aja hujan, akhirnya nyuruh sopir berhenti dulu di toko untuk beli payung.” Temen gue meminta maaf dengan tulus, dia nyesel dikit.
“Iya, enggak apa-apa.” Gue menggaruk kepala sambil tersenyum, canggung. “Gue kira lo enggak jadi dateng karena ujan.”
Kita lantas duduk saling berhadapan. Setelah duduk dengan nyaman, temen gue segera memanggil pelayan, lalu membuka buku menu di meja dan membacanya dengan seksama. Selagi dia sibuk memperhatikan daftar menu yang tertulis, gue menatap dia sambil senyum. Wajahnya cantik alami, rambut panjangnya sedikit basah terkena hujan, sesekali dia senyum sembari menunjuk gambar makanan dan minuman yang dia pesan.
“Lo mau pesen apa, yan?” katanya secara tiba-tiba. “Sesuai perjanjian, malem ini lo gue traktir.” Lanjutnya.
“Terserah lo mau mesenin gue apa, gue ngikut aja deh.” Gue tersenyum menutupi kecanggungan.
Dia mesen makanan yang jarang gue makan, seperti, spageti, steak, pizza, iga bakar madu, pastel tutup, browies, fish and chip, dan es krim vanila. Gue hanya bengong ketika dia berbicara dengan lancar menyebutkan beragam menu yang di pesan, seakan dia udah terbiasa makan di tempat kayak gini.
“Lo enggak mau mesen minum yang lain?” Dia nanya sambil ngeliatin cangkir kopi yang gue pegang. “Kita bakal makan iga, lho!” Katanya, seakan memperingati.
“Es jeruk aja juga enggak apa-apa.” Gue ngerasa sungkan.
Orang yang saat ini sedang duduk di hadapan gue namanya Nadia, temen sekelas gue. Kita enggak terlalu kenal satu sama lain,sih, awalnya, tapi beberapa hari ini kita jadi lumayan deket karena sering satu kelompok tugas pelajaran Bahasa Inggris. Alasan dia nraktir gue makan di restoran ini juga enggak begitu jelas, tadi siang pas pulang sekolah tiba-tiba dia nawarin traktiran. Pas gue tanya dalam rangka apa, dia bilang, “Kita kan udah nyelesain tugas materi Grammar yang susah, tuh, dan lo berperan penting dalam kelompok, gue rasa lo harus gue teraktir.”
Ya, emang, sih, gue adalah anggota yang paling menonjol dan paling aktif ngerjain di antara anggota yang lain ketika ngerjain tugas Bahasa Inggris, dia bener. Dan nilai kelompok kita pun memuaskan, hampir sempurna. Tapi menurut gue, itu bukanlah hal yang patut di rayakan secara berlebihan sampe ngadain traktiran segala. Lagian, kalau mau ngadain acara traktiran kayak gini setidaknya ngajak anggota yang lain juga, bukan cuma gue aja. Jadi curiga gue, jangan-jangan dia punya maksud lain.
Es krim Vanila pesanan Nadia pun datang. Sambil nunggu datengnya pesanan yang lain, kita saling mengobrol membicarakan apa aja.
“Lo sering dateng kesini, enggak?” Nadia bertanya setelah memakan sesendok es krimnya.
Gue menggelengkan kepala, “Cuman sekali.” Kalau gue enggak salah inget, pas acara reuni SD setahun yang lalu. Waktu itu ada guru tajir yang mau ngebayarin makanan kita. Gosipnya, sih, baru aja lahiran anak pertama, jadi sekalian syukuran.
“Jadi, enggak salah, ya, kalo gue nraktir lo disini, hehe...” Nadia tersenyum dan lanjut memakan es krim vanilanya lagi.
“Ya, bisa dibilang begitu.”
Gue menyeruput kopi, kemudian ngeliat ke arah es krim yang sedang di nikmati Nadia. Setelah beberapa detik memandang es krim tersebut, gue kemudian ngeliat keluar jendela, dan di luar masih hujan deres. Heran sama ini cewek, cuaca lagi dingin begini malah makan es krim dengan riang. Semoga ketika pulang kerumah nanti badannya enggak meriang.
Alunan lagu natal berjudul Have Yourself a Merry Little Christmas terdengar dengan tak begitu kencang di seluruh ruang restoran, bercampur dengan suara pengunjung yang sedang makan sambil mengobrol. Meskipun gue enggak ngerayain natal, tapi setidaknya lagu tersebut bikin gue inget kalau ini udah bulan Desember dan sebentar lagi natal. Sumpah, gue hampir lupa ini bulan apa, jarang nge-check kalender.
“Ngomong-ngomong, gue salut sama lo, yan. Jago banget pelajaran Bahasa Inggris, rahasianya apa, sih?” Nadia secara enggak terduga memuji gue. “Padahal lo, kan, jarang belajar.” Lanjutnya.
Gue hanya terdiam. Seneng-seneng aja, sih, kalau di puji gitu, tapi kalimat terakhir Nadia lumayan nusuk. “Gue, sih, enggak ngerasa jago, ya. Cuma beruntung, aja.”
“Gue udah tau lo bakal bilang gitu.” Nadia tersenyum, lalu lanjut bertanya. “Hobi lo apa, yan?”
“Apa ya?” Mata gue ngeliat ke langit-langit ketika ditanya demikian. Jujur, gue enggak punya hal yang bener-bener gue sukai secara spesifik. “Nonton film, mungkin.” Gue asal jawab, karena emang itu yang sering gue lakukan sepulang sekolah.
“Film barat?”
Gue mengangguk. Emang gue seringnya nonton film barat, sih, terutama film MCU (Marvel Cinematic Universe.)
Nadia menatap datar. “Pantesan jago.”
“Nonton film berbahasa Inggris enggak serta merta bikin orang jadi jago pelajaran Bahasa Inggris juga.” Ketika menyeruput kopi, saat itulah gue sadar kalau kopi gue udah mulai dingin.
“Ngaruh tahu,” Nadia berusaha mempertahankan argumennya dengan menambahkan, “karena lo sering nonton film barat, lo jadi sering denger orang ngomong bahasa Inggris, dan itu bisa bikin lo jago bahasa Inggris juga.”
Masuk akal. Gue mulai mempertimbangkan pendapat Nadia. Mungkin salah satu contohnya adalah, jika bayi lahir di negara yang orang-orangnya memakai bahasa Inggris dalam percakapan sehari-hari, maka bayi tersebut akan otomatis dapat berbicara dengan bahasa Inggris secara lancar saat ia tumbuh meskipun tidak mendapat pelajaran bahasa Inggris secara khusus. Karena bahasa itu yang sering masuk ke telinganya sejak bayi.
“Oh, gitu,ya.” Gue mengangguk, menyetujui.”
Kita mengobrol dengan topik yang sama selama beberapa menit sampai akhirnya makanan yang Nadia pesan tadi berdatangan satu persatu. Kita ngobrol sambil menikmati makanan.
Makanan yang pertama kali gue incer adalah steak, karena keliatannya enak banget, daging.
“Aduh-duh,” Jari gue kepanasan ketika dengan sengaja memegang hot pan.
Nadia spontan tertawa melihat gue yang kepanasan. Sementara gue menuip-niup jari gue yang sedikit melepuh. Melihat kepolosan gue, Nadia kemudian mengajari gue cara memakan steak dengan benar. Sampai akhirnya kita bisa makan dengan hikmat sambil lanjut mengobrol.
Nadia mengganti topiknya jadi tentang hewan peliharaan. Dia cerita kalau dia punya anjing Chihuahua yang imut. Kata dia, anjing peliharaannya suka buang air besar sembarangan meskipun udah sering di latih untuk buang air pada tempatnya, dan tempat buang air besar terparah anjing biadab tersebut adalah di atas muka bapaknya Nadia ketika beliau sedang tidur. “Bisa-bisanya itu anjing poop di muka bokap gue pas lagi tidur siang di sofa ruang tamu.” Jelasnya.
Gue hanya diem. Bisa-biasanya dia ngobrolin hal itu ketika kita sedang menikmati makanan. Otak gue, kan, jadi ngebayangin bentuk kotorannya pas lagi makan brownies.
Waktu berlalu, Gue dan Nadia udah ngobrol tentang ini itu. Semua makanan yang ada di meja juga udah gue cobain satu per satu, perut gue lumayan kenyang. Karena kehabisan bahan obrolan, akhinya kita sibuk dengan diri masing-masing. Gue sibuk ngeliat keluar jendela sambil setengah ngelamun, sementara Nadia sibuk dengan ponselnya. Sesekali dia selfie dengan gaya imut, kadang juga memajukan bibirnya kayak bebek.
“Riyan?”
Gue menoleh ketika di panggil Nadia.
“Kita selfie bareng, yuk!” Nadia bersiap dengan ponselnya.
Tapi gue geleng-geleng, menolak. “Enggak, ah, gue enggak suka selfie .”
Nadia menggembungkan pipinya, kayaknya sedikit kecewa. “Enggak asik banget lo.”
Entah kenapa gue enggak begitu nyaman kalau memotret wajah gue sendiri dan mengunggahnya ke sosial media. Gue adalah golongan orang yang ngerasa ganteng ketika ngaca dan menganggap diri gue jelek ketika selfie.
Setelah memotret beberapa kali wajahnya sendiri, Nadia langsung sibuk dengan ponselnya lagi. Udah pasti, dia lagi upload sana-sini, dan gue hanya mengamati dalam diam.
“Oh, iya...” Nadia keliatan panik dikit, dia ngomong sama dirinya sendiri. Kayaknya dia lupa sama hal tertentu.
“Apa?” Kata gue dalem hati.
“Gue lupa live Instagram.” Lanjutnya. “Enggak papa, deh.” Katanya lagi, masih bicara dengan dirinya sendiri.
“Narsis amat.” Kata gue lagi, dalem hati.
Gue menunggu ajakan pulang dari Nadia yang masih sibuk di dunia maya. Mau ngajak ngobrol lagi tapi bingung mau bahas apa. Mau main HP, tapi punya gue ketinggalan di rumah. Gue udah bosen ngeliat hujan di luar jendela yang enggak kunjung reda, sampai ada genangan air di beberapa bagian jalan.
Lagu barat klasik masih terdengar merdu di dalam restoran yang udah mulai agak sepi. Gue mengamati sekitar, orang-orang udah mulai pada bayar tagihan dan keluar dari restoran. Beberpa orang ada yang masih sibuk makan sambil ngobrol. Gue enggak tahu sekarang jam berapa karena enggak bawa HP, mau nanya Nadia tapi takut ngganggu. Mata gue terus mengamati sekeliling sambil nunggu Nadia kembali ke dunia nyata.
Ketika sibuk ngeliatin para pengunjung yang lain, gue menemukan sosok cewek yang gue kenal, bahkan sangat gue kenal. Berjarak beberapa meter dari tempat duduk gue, cewek itu berhasil mencuri perhatian gue sepenuhnya. Dia adalah mantan pacar gue, namanya Olivia, dan saat ini dia lagi sama pacar barunya.
Enggak tahu kenapa hati gue masih berat aja ngeliat mantan lagi sama orang lain, masih cemburu. Olivia lagi ketawa saat gue memperhatikan dengan seksama, tanda kalau dia udah bahagia sama pacar barunya. Tapi hati gue masih berat, masih enggak rela. Gue belum bisa move on.
Kalau di bilang nyesel udah dateng kesini, sih, enggak, ya. Tapi gue ngerasa enggak seharusnya gue ada disini, ngeliat mantan gue ketawa bahagia dengan yang lain. Seakan sedang merayakan kemenangan atas dirinya yang lebih dulu move on ketimbang gue. Mungkin Olivia sama sekali enggak ada pikiran kayak gitu, tapi entah kenapa gue ngerasanya gitu.
“Riyan, Riyann!!”
Gue yang setengah ngelamun karena cemburu ngeliat mantan lagi sama pacarnya, langsung kebingungan ketika memalingkan wajah gue ke Nadia.
“Iya... kenapa?” Gue bingung.
Nadia ngeliat ke belakang, memperhatikan orang-orang untuk beberapa detik, lalu ngeliat ke arah gue lagi.
“Ngeliatin apa, sih?” Tanyanya.
“Itu, mmm... ada orang yang mirip sodara gue, tapi setelah gue perhatiin ternyata bukan.” Gue berbohong sambil senyum.
“Oh, gitu.” Nadia tersenyum manis.
Gue yakin, ketika Nadia ngeliat ke belakang selama beberapa detik untuk mencari tahu apa yang gue tadi ngelamun, dia sempet ngeliat Olivia, tapi enggak tahu kalau itu adalah mantan gue karena kita beda sekolah.
“Udah malem, nih, kita pulang aja, yuk!” Ajak Nadia.
Gue mengangguk, lalu ngeliat keluar jendela untuk beberapa saat, hujannya udah mulai sedikit reda.
Dinginya udara malam yang sedang di guyur hujan terasa sampai ketulang ketika gue dan Nadia baru aja keluar dari Restoran. Di samping gue ada sebuah papan kecil berwarna hitam yang ada tulisannya “Restoran Lada Hitam.” Huruf-hurufnya berwarna putih, di tulis menggunakan huruf tegak bersambung yang keliatan klasik. Gue baru inget lagi nama restoran ini ketika baca tulisan itu.
Nadia berjalan menghampiri satpam yang ada di dekat kami, lalu bebicara dengannya. Satpam itu kemudian ngambil payung berwarna hitam yang ada di dalam posnya. Payung itu di serahkan ke Nadia setelah mereka saling ngomong dikit. Nadia jalan ke arah gue sambil bawa payung item yang masih tertutup.
Setelah membuka payungnya Nadia bilang, “Yuk, gue anter lo pulang dulu. Rumah lo deket dari sini, kan?”
Gue diem beberapa saat, sebelum nanya, “Enggak apa-apa, nih?”
Nadia mengangguk. “Sopir gue lagi nunggu di dalem mobil, mungkin sekarang lagi ketiduran di dalem, jadi ga masalah bagi dia buat nungguin gue sedikit lebih lama.” Nadia tersenyum.
Gue memperthatikan mobil milik Nadia yang terparkir di depan restoran. Gue tahu yang mana mobilnya karena dia berangkat sekolah selalu di anter pake mobil itu.
“Oke deh.”
Gue sama Nadia akhirnya berjalan beriringan berada di bawah payung yang sama. Kita bertukar pandang beberapa saat sebelum akhirnya melangkah menininggalkan Restoran Lada Hitam dan berjalan beriringan di tengah hujan.
Selama perjalanan, gue dan Nadia enggak banyak bicara. Cuman beberapa patah kata aja, sih. Dia nanya Instagram gue apa, tapi gue enggak punya akun Istagram, hal tersebut bikin dia agak kecewa, keliatan dari mukanya.
Derasnya hujan ngebuat jalan raya terasa sepi, kota Merica kayak kota mati. Toko-toko di pinggir jalan sebagian besar udah pada tutup semua. Hanya ada sedikit kendaraan yang lewat ketika kita berdua berjalan di atas trotoar. Sunyi.
Tiba-tiba saja, saat kita berjalan melewati zebra cross, Nadia menghentikan langkahnya. Gue yang enggak bisa memprediksi kehendak Nadia, maju dua langkah lebih di depannya, sehingga membuat badan gue basah terkena hujan karena yang megangin payung itu Nadia.
Gue segera berteduh lagi di bawah payung. “Kenapa tiba-tiba berhenti?” Gue bertanya.
Bukanya menjawab atau lanjutin jalan, Nadia malah diem di tempat sambil menundukan kepalanya dan enggak ngomong sama sekali.
“Lo kenapa?” Gue bingung, badan kita saling berdempetan.
Sempat diam beberapa detik, Nadia kemudian menatap mata gue dalam-dalam dan berkata, “Riyan, gue suka sama lo, gue jatuh cinta sama lo...”
Hujannya jadi makin deras beberapa saat setelah Nadia mengungkapkan perasaannya ke gue. Otak gue ngelek, gue berdiri tepat di depan Nadia, satu payun sama dia di tengah derasnya hujan di malam hari.
Karena gue hanya diem membisu, Nadia memilih untuk lanjut ngomong, “Seharusnya gue mau ngungkapin perasaan gue ketika kita masih ada di restoran tadi, tapi gue enggak punya keberanian.” Nadia terdiam, lalu sekali lagi dia berkata. “Gue sayang sama lo.”
Gue merasakan dinginya air hujan, mungkin Nadia juga sama. Kalau di perhatiin, badannya agak menggigil. Perihal apa yang Nadia katakan ke gue, jujur aja gue enggak tahu harus merespon apa.
Karena gue masih sayang sama mantan, dan ngarep bisa balikan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 68 Episodes
Comments
Dinnost
kwkwwkkw..
asal makanan yg di depan mata gak berubah wujud aja ..
2023-06-05
0
L❄V🌙
Sama kek aku suka juga nonton film MCU
2023-05-28
0
Liling Sarungallo
keren Thor..sukses terus ya
2023-05-17
0