"Jadi gini, beberapa hari… hampir seminggu ini aku ngerasa ada yang aneh sama pacarku." Olivia membuka ceritanya. Kita masih berjalan di tepi jalan raya ketika malam mulai mendingin. Suasana sekitar lebih sepi dari beberapa menit yang lalu.
"Aneh gimana?" Gue penasaran.
"Ya, beda aja dari sebelum-sebelumnya," Olivia menghela napas sebelum melanjutkan, "dulu pas awal-awal kita pacaran, dia tuh romantis banget, kita mesra. Sesibuk apapun dia, pasti nyempetin buat ngabarin. Begitu pula sebaliknya, aku juga selalu nyempetin diri untuk ngabarin di sela-sela kesibukan."
"Oh, gitu… terus lo…" Belum sempet gue lanjut ngomong, Olivia memotong omongan gue yang belum selesai.
"Terus, ya, di sekolah juga kita udah mulai jarang ngobrol lama-lama akhir-akhir ini." Olivia akhirnya berhenti.
"Kenapa?"
Dia menggelengkan kepala, tanda kalau dia enggak tahu menahu soal itu. Lalu, bilang, "Aku khawatir kalau dia mulai bosen sama.aku, yan." Olivia kelatan cemas, dia menatap lurus ke depan. Seakan berusaha menepis pikiran tersebut.
Kayaknya, dia sayang banget sama pacarnya sampai-sampai cemas begitu hanya karena jarang saling ketemu di sekolah. Dulu pas kita masih pacaran, dia juga kayak gini kalau kita enggak ketemuan sepulang sekolah. Gue bisa merasakan kecemasan yang sama, dengan begitu gue bisa mengambil kesimpulan kalau Olivia menyukai pacarnya yang sekarang, sama seperti mencintai gue dulu, atau bahkan lebih cinta sama pacarnya yang sekarang. Hmm…
Kenapa gue malah mau ya nemenin dia jalan, padahal gue bisa aja tadi nolak dan nganterin dia balik ke rumah Bunga. Walaupun terkesan jahat banget, tapi itu pilihan yang tepat. Entah kenapa jadi ada rasa penyesalan sedikit ngajak pacar orang jalan.
Gue mencoba tersenyum disaat hati gue merasa sedikit cemburu. "Lo terlalu khawatir, liv."
Olivia ngeliat ke arah gue.
Gue lanjut ngomong, "Mungkin aja dia sibuk sama urusannya sendiri di sekolah." Gue berpikir sejenak sebelum akhirnya melanjutkan, "Ada kegiatan ekskul misal, atau kalau pacar lo kelas 3, dia bisa aja sibuk latian UN atau les sana-sini."
Kita saling diam sampai beberapa langkah ke depan. Kayaknya dia ragu kalau hanya karena mau UN, pacarnya sampe enggak bisa meluangkan waktu. Gue tahu, pasti ada hal lain dari pacarnya dia yang bikin mulai jarang ada waktu.
"Iya, kamu bener, pacar aku kelas 3, dan dia lagi disibukan dengan latian UN." Dia menggigit bibir bawahnya. "Tapi, sesibuk-sibuknya dia latian UN juga pasti enggak sampai bikin dia enggak bales WA dari aku tiap saat, lah. Aku ngerasa dia seakan menjauh dari aku, atau ya, cintanya luntur. Tapi semoga aja enggak gitu."
Olivia menunduk, tampak murung, seakan lebih galau dari gue yang pusing mikirin tujuan hidup tadi. Entah kenapa gue ngerasa sedih juga liat dia murung gitu. Dan yang enggak gue sangka-sangka, gue ngerasain perasaan kesel juga. Alasan dari kenapa gue kesel ialah, gue jadi mikir kalau semakin galau Olivia terhadap pacarnya yang lagi enggak jelas, semakin dalem juga perasaan yang dia punya untuk pacarnya, seakan Olivia takut kehilangan.
Hal itu bikin gue galau juga, berat rasa di dalem dada, kayak ada besi kecil yang nyantol di relung hati.
"Kalau di sekolah kalian jarang ketemu lama-lama, memaklumi kalau dia sibuk latian UN adalah alesan yg tepat. Tapi kalau sampe jarang bales WA tuh ya mungkin ada hal lain yang ngebuat dia enggak bales WA lo." Gue menyimpulkan.
Entah seberapa jauh kita melangkah, kita tiba di sebuah perempatan jalan, di dekat situ ada halte bis. Ya ampun, tanpa sadar kita hampir tiba di sekolah. Olivia kemudian mengajak kita duduk di halte bis. Kita duduk bersebelahan di bangku panjang halte warna biru yang terbuat dari besi. Kita duduk madep depan, ngeliatin kendaraan yang lewat.
"Menurut kamu, hal lain itu apa?" Dia ngelanjutin obrolan kita yang belum selesai.
"Hemm…, apa ya?" Gue memegangi dagu. Agak nyesel sih dengan omongan gue sebelumnya. Pengen gue jawab 'yang lain' itu dengan 'cewek lain' tapi kesannya gue malah suuzon dan jahat. Ya, meskipun gue berharapnya begitu tapi enggak seharusnya gue jawab gitu. Entah kenapa gue selalu ngerasa lebih baik dari pacarnya dia yang sekarang padahal belum tentu begitu, heran sama diri sendiri.
"Bisa aja dia kerja sampingan, beberapa anak kelas 3 biasanya ada yang begitu, kan?" Gue menjawab sekenanya.
"Bisa jadi…" Olivia menatap gue sambil memiringkan kepalanya, "Tapi, dia enggak pernah bilang soal itu." Katanya.
Gue menggaruk kepala, "Ya, enggak semua hal harus di ceritain ke lo kali, liv." Gue tersenyum kemudian melanjutkan, "Kadang, laki-laki punya dunianya sendiri yang enggk pengen di ketahui pasangannya."
"Iya, sih, bisa aja pas WA ku enggak di bales tiap malem, dia lagi sibuk sama urusannya yang mungkin enggak perlu aku ketahui." Lantas Olivia tersenyum.
"Iya, positif thinking aja." Gue juga tersenyum.
Ada satu hal lagi yang bikin gue bingung. Gue yakin, Olivia masih orang yang dulu, enggak curhat ke sembarang orang, bahkan dia lebih sering memendam masalanya sendiri. Mungkin dia juga belum nyeritain masalah ini ke Bunga, atau mungkin ke Adit. Dia adalah orang yang mencari orang ternyaman menurut dia untuk dengerin dia curhat, dan itu adalah gue.
Bisa dibilang, gue cukup seneng dia masih milih gue sebagai temen curhatnya karena dengan begitu, setidaknya gue masih di anggep oleh hatinya. Kalau emang begitu adanya, bisa kali ya, gue balikan ketika dapet momentum yang tepat. Apalagi, dia lagi was-was terhadap pacarnya.
"Tapi, ya, yan.." Dia bicara lagi.
"Apa?"
"Sekali pun kamu nyuruh aku mikir yang baik-baik, perasaan cemas masih ada. Aku takut dia…" Olivia terdiam sejenak, terus lanjut, "Aku khawatir, jangan-jangan ada aku bukan satu-satunya buat dia."
Sial, kenapa dia malah mikir gitu, dan kenapa pula gue tersenyum ketika dia bilang gitu. Jujur aja gue jadi ngerasa enggak enak hati sama pacarnya Olivia. Beneran, gue enggak ada niatan untuk bikin hubungan mereka makin ke arah yang enggak jelas. Bukan berarti gue mendukung hubungan mereka dan nyerah buat dapetin mantan. Lebih tepatnya sih, gue enggak mau dituduh sebagai orang ketiga, gue gamau kena masalah apapun, gue pengen hidup santai.
Lama-lama, udara sekitar terasa makin dingin gue malah jadi pengen minum minuman anget, wedang ronde atau jahe enak kali, ya. Di sekitar sini juga tempat dimana ada banyak orang jualan. Apa sebaiknya gue ajak Olivia mampir ke tempat makan aja kali, ya?
"Riyan, perut aku laper, kita cari tempat makan yuk!" Katanya tiba-tiba.
Kebetulan banget, dia seakan ngebaca pikiran gue? Jadi mikir, apa jangan-jangan hati kita masih terhubung? Gue jadi GR.
Bersambung …
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 68 Episodes
Comments
Mila Nuur
aku suka, tulisan kamu rapi
2023-06-12
0
Liling Sarungallo
🥰🥰
2023-05-25
0