Besok paginya.
Banyak banget piring kotor yang menumpuk di tempat cucian piring. Gue yang baru keluar dari kamar dan langsung pergi ke dapur, seketika memasang wajah cemberut pas ngeliat tumpukan piring itu. Bingung, aktivitas apa yang harus gue lakukan terlebih dahulu, bikin sarapan atau cuci piring dulu. Ketika perut gue berbunyi, saat itulah gue memutuskan untuk bikin sarapan dulu.
Gue tinggal sendiri di rumah peninggalan almarhumah nenek sejak gue kelas 1 SMA, atau kurang lebih setahun yang lalu. Karena orangtua gue sibuk dengan pekerjaannya dan jarang pulang, akhirnya gue bersama dengan kakak perempuan gue di suruh tinggal di sini biar rumah keluarga gue bisa di kontrakin. Lumayan, bisa buat nambah pemasukan.
Melangkah mendekati kulkas, otak gue berpikir untuk memasak mie instan yang di campur dengan telor serta daun sawi sisa semalam. Gue mengintip kulkas, menatap ke dalamnya, meratapi isinya yang tak seberapa. Gue ngeliat ternyata bener masih ada sawi dan telor, gue tersenyum sebelum mengambilnya.
Mie, daun sawi dan telor gue taruh di atas meja secara berjajar. Gue mulai memotong-motong daun sawi di atas telenan, kemudian mengupas bumbu-bumbu mie yang ada dalam kemasan dan mencampurnya ke dalam mangkok. Gue lalu mengisi panci dengan air secukupnya, meletaknya di atas kompor. Ketika airnya sudah mendidih, mie pun gue masukan ke dalamnya.
Jam setengah tujuh. Pagi ini cerah, sinar matahari masuk melalui jendela yang ruang tamu yang terbuka. Duduk di atas sofa sambil makan mie instan ala kadarnya, gue menonton berita di TV yang menyiarkan kabar tentang gempa yang terjadi di luar provinsi. Jaraknya sekitar 700an kilometer dari tempat gue, jadi aman. Gempa berkekuatan 5,6 magnitudo itu menghancurkan banyak bangunan dan menelan banyak korban jiwa.
Selesai sarapan, gue langsung siap-siap berangkat sekolah. Gue mengunci pintu rumah, merapikan seragam OSIS yang gue pake dan mulai melangkah pergi dengan sedikit rasa males yang nempel di tubuh.
Baru aja keluar dari gerbang rumah, tiba-tiba ada tukang pos yang berhenti di depan rumah gue. “kak Riyan, ya?” tanya tukang pos tersebut tanpa turun dari motornya.
Gue mengangguk.
Si tukang pos lanjut ngasih gue amplop surat berwarna putih, “Ini kak, ada surat untuk kakak.” Lanjutnya sambil senyum dan langsung tancap gas.
Gue diem sambil ngeliat amplop berwarna putih yang sedang gue pegang selama beberapa detik sebelum lanjut jalan. Kakak perempuan gue yang lagi kuliah di luar kota ngirimin gue surat dengan seenaknya, bener-bener cara yang kuno untuk menyambung komunikasi jarak jauh. Padahal, jaman sekarang ada banyak sosmed yang bisa di pake untuk berkomunikasi, enggak tahu kenapa dia malah ngirim surat. Gue ngambil HP dari katong celana OSIS, memfoto surat yang belum gue keluarkan dari amplopnya, lalu gue kirim foto itu ke kakak gue melalui WhatsApps tanpa menuliskan pesan apapun, cuman ngirim foto aja. Sebelum akhirnya gue membuang surat itu. Enggak penting, paling isinya tentang dia yang lagi liburan atau nyuruh gue untuk ngerawat diri dan ngelarang gue untuk maling duit SPP.
Berjalan kaki di tepi jalan raya menuju ke sekolah di pagi hari terasa menyengkan bagi gue yang kayaknya jarang menemukan hal yang bikin gue bahagia. Ngeliat jam tangan yang menunjukann pukul enam lebih empat puluh lima menit, gue masih bisa tenang dan enggak ada kekhawatiran telat masuk. Cukup beruntung rasanya tinggal di rumah yang lokasinya deket dengan sekolah.
Di sekeliling, ada juga anak-anak yang satu sekolah dengan gue sedang melakukan perjalanan ke sekolah, ada yang naik motor, ada juga yang jalan kaki. Orang-orang dewasa yang berangkat kerja juga lumayan banyak. Jalanan yang ada di samping gue juga lumayan dipadati kendaraan, pagi ini kota Merica kerasa lumayan produktif seperti biasa.
Suara gerigi rantai sepeda serta ban yang bergulir di aspal terdengar di sebelah kiri, membuat gue menoleh ke sumber suara.
“Pagi bro!” Sambil menaiki sepeda CTB Jieyang warna merah jambu, temen sebangku gue menyapa dengan penuh semangat.
“Pagi.” Gue menjawab dengan malas.
Dia mencoba mengimbangi kecepatan berjalan gue dengan menggowes sepedanya sedikit-sedkit.
Temen sebangku gue ini namanya Adit, dia adalah orang yang penuh semangat. Rumahnya enggak jauh dari sekolah, tapi ya enggak deket juga, sih. Menurut gue berangkat sekolah naik sepeda adalah pilihan yang tepat bagi Adit.
Tapi ada yang aneh pagi ini, dia naik sepeda punya adik perempuannya, padahal biasanya dia berangkat naik sepeda gunung warna merah, punya dia sendiri.
“Sepeda lo kenapa?” Gue mencoba bertanya.
“Rusak.” Jawabnya, sambil berusaha menjaga keseimbangan sepedanya yang berjalan pelan. “Gue males benerin, jadi gue pinjem sepeda adik gue aja untuk sementara.” Jelasnya.
“Rusak apanya?”
“Rantainya putus.”
Ngebenerin rantai sepeda yang putus emang lumayan susah, sih, gue bisa memaklumi itu. “Trus, adek lo berangkat sekolah gimana?”
Adit terseyum santai, kemudian menjawab, “Dianterin ibu gue.”
“Pasti dia nangis karena sepedanya lo pake.” Gue mencoba sedikit becanda.
“Adek gue udah kelas 7, udah enggak cengeng lagi.”
Adit ngeliat kedepan sambil tersenyum entah pada siapa, mungkin kenalannya.
“Eh, gue duluan, ya. Gue belum nyelesein tugas IPS.” Katanya.
Gue ngeliat jam tangan, “Udah jam segini, IPS ada di jam pertama, emang masih sempet?”
Adit keliatan harap-harap cemas ketika menjawab, “Semoga aja sempet, sih.”
Sebelum Adit menambah kecepatan laju sepedanya, dia sempet nawarin gue tumpangan gratis, tapi gue tolak dengan tegas. Karena kalau dipikir-pikir, boncengan sesama cowok naik sepeda itu kebayangnya kita kayak pasangan homo yang baru jadian.
Kita emang biasa saling ketemu pas berangkat sekolah, tapi enggak tiap hari. Biasanya, Adit bakalan turun dan nuntun sepedanya biar bisa jalan bareng ke sekolah. Tapi karena dia ada tugas yang belum dia kerjain, dia harus pergi duluan.
Sampailah gue di depan gerbang sekolah. Gue bersekolah di SMA brokoli, satu dari beberapa SMA swasta di kota Merica. Alasan gue bisa sekolah disini adalah karena nilai gue yang pas-pasan sehingga enggak keterima di negeri. Otak gue enggak pinter, sih, tapi ya enggak terlalu dangkal juga, biasa aja.
Gue berjalan di antara gerombolan siswa-siswi yang memasuki gerbang, sesekali gue enggak sengaja menghirup aroma parfum cewek-cewek yang lumayan nusuk di hidung. Yang cowok-cowok pada lari-larian menuju ke dalem sekolah, seru-seruan aja sama temenya. Di antara para siswa yang penuh semangat pagi, gue mungkin salah satu dari sedikit orang yang masih males-malesan dan ngarep bisa tidur sedikit lebih lama.
Bel sekolah berbunyi, semua orang langsung pada gugup untuk masuk ke kelas masing-masing. Gue yang udah mau sampai di dekat kelas, hanya berjalan santai di antara mereka yang berlarian dan berjalan cepat.
Ketika gue tiba di teras kelas, Nadia terlihat sedang berjalan dari arah yang berlawanan sambil ngobrol sama temennya. Ketika dia hampir masuk ke kelas, pandangan kita saling bertemu. Waktu berasa bergerak lambat pas kita saling ngeliat satu sama lain, ingatan gue terbang ke kejadian tadi malem.
Tadi malem, setelah Nadia menyatakan perasaannya ke gue, di tengah guyuran hujan, di atas zebra cross, di bawah payung yang sama... gue cuman bisa diem. Gimana enggak diem, kejadian tersebut enggak gue duga sama sekali. Gue emang sempet mengira di balik traktiran semalem itu tersimpan maksud lain, tapi gue kira dia bakal minta bantuan ngerjain PR bahasa Inggris atau minta bantuan lain, tapi ternyata dia malah nembak gue. Jelas, gue bingung dan otak berhenti gerak.
Dengan mempertimbangkan apapun termasuk apa yang akan terjadi, gue nolak ajakan Nadia untuk pacaran. Gue pikir setelah mendapat penolakan, dia akan guling-guling di zebra cross sambil ngerengek minta seblak, atau dia bakal menjaga jarak dari gue, keluar dari naungan payung, ngebiarin dirinya terguyur hujan biar dramatis, trus bilang “Kamu jahat.” Ternyata dia enggak melakukan itu, dia tetep mau nganterin gue pulang.
Setelahnya, perjalanan pulang ke rumah bareng Nadia terasa sangat canggung dan dingin, lebih dingin dari dinginya hujan. Gue dan Nadia sama sekali enggak saling ngomong lagi, atmosfer di sekitar Nadia pun terasa kelam. Gue yang canggung setengah mati hanya bisa jalan sambil berusaha menghindari kontak mata sama Nadia hingga tiba di depan rumah gue. Sumpah enggak enak hati banget semalem.
Tanpa menyapa atau tersenyum saat melihat gue, Nadia dan temenya masuk ke dalam kelas. Gue sadar kalau dia masih ngambek dan mungkin ada sedikit rasa sakit hati. Mungkin sebaiknya nanti gue harus minta maaf ke dia kalau ada waktu.
Gue duduk di bangku pojok belakang, deket jendela kelas. Adit yang duduk di sebelah gue keliatan lagi sibuk nyontek tugas milik seseorang dengan gugup kayak maling ayam yang ketahuan maling motor. Sesekali dia ngeliat ke arah pintu, memastikan ke datangan guru. Gue hanya ngelirik dia tanpa mengatakan apapun.
Guru pelajaran IPS akhirnya memasuki kelas. Cewek-cewek yang asik ngegosip langsung pada diem, cowok-cowok yang lagi asik mabar (main bareng) langsung memasukan HP-nya ke dalem tas, dan Adit yang gugup nyontek tugas, segera ngelempar buku contekan yang dia pakai ke pemiliknya yang kebetulan duduk di seberang kanan.
“Udah selesai?” Tanya gue.
“Udah, alhamdulilah.” Adit mengacungkan ibu jarinya ke gue.
Gue menatapnya dengan tatapan aneh sambil berkata dalam hati, “abis nyontek kok alhamdulilah?”
Masuk ke dalam ruang kelas dengan langkah yang mantap, guru pelajaran IPS yang bernama pak Bejo itu memberikan sapaan seperti biasa, kemudian setelah sapaannya di jawab, pak Bejo mulai bicara.
“Nah, sebelum kita mulai pelajarannya, ada hal penting yang akan bapak sampaikan pada kalian.” Pak Bejo berhenti bicara, meperhatikan seisi kelas yang keliatan penasaran, termasuk gue. Pensaran, kira-kira pak Bejo mau bilang apa, apakah sekolah kita bakal kedatengan Cinta Laura untuk ngajarin bahasa Inggris? Kalau emang bener, gue bakal jadi orang yang paling caper dan unjuk gigi kemampuan bahasa Inggris gue yang pas-pasan. Tapi, gue terlalu nge halu, enggak mungkin banget itu bakalan terjadi.
Setelah puas ngeliat para siswa-siswinya penasaran, pak Bejo melanjutkan pengumumannya.
“Kita akan kedatangan murid baru, dia pindahan dari sekolah sebelah.”
Semua orang di kelas kecuali pak Bejo, makin penasaran, mereka menebak-nebak, siapa gerangan murid baru yang akan jadi bagian dari kelas ini. Yang cowok-cowok pada berharap dia adalah murid cewek yang cantik. Termasuk Adit, dari mukanya udah keliatan kalau dia juga ngarep itu murid adalah cewek cantik. Para cewek ngarep murid itu adalah opa korea.
Kalau gue, terserah, sih, mau cewek maupun cowok. Pada akhirnya juga gue bakal sulit jadi temenya, karena gue jarang nyapa orang duluan, juga jarang memulai pembicaraan sama orang lain. Enggak begitu peduli juga, sih.
“Silahkan masuk, enggak apa-apa, jangan malu-malu.” Pak Bejo menghadap ke pintu kelas, mempersilahkan si murid baru yang di maksud.
Sosok yang di nanti-nantikan akhirnya dateng juga, semua mata tertuju pada sosok cewek berseragam OSIS yang memiliki atribut agak beda dengan siswa di kelas, atribut seragam dari sekolah lain. Dia langsung mencuri perhatian seisi kelas, termasuk gue. Jantung gue berdetak kencang ketika ngeliat dia, gue kaget setenga mati.
“Halo, selamat pagi. Perkenalkan Namaku Evi Selvi Olivia, atau biasa di panggil Olivia. Salam kenal semuanya.” Murid baru itu tersenyum ramah kepada semua orang setelah memperkenalkan diri.
Murid baru itu, ternyata adalah mantan pacar gue, Olivia.
Bersambung ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 68 Episodes
Comments
kim myujin 💜
mampir Thor 🥰 💜💜
2023-05-22
0
Gadih Hazar
Setau aku kalau untuk menyampaikan narasi nya pakai kata Bahasa Indonesia baku deh kak .. kalau pas dialog baru boleh seperti lu gue itu kak.. Benar nggak sih..?
2023-05-17
2
Ninasyifa
lanjut kak
2023-05-11
1