Akhir pekan adalah waktu yang dimanfaatkan bagi sebagian orang untuk berkumpul bersama kerabat, kenalan, ataupun teman-teman. Tak terkecuali bagi Alana. Sekali pun dia memiliki hari libur, namun dia habiskan hanya untuk menjaga rumah karena kakaknya telah kembali sibuk dengan pekerjaannya.
"Kakimu masih sakit?" tanya Hanna pada Alana. Dia baru saja selesai berdandan, hari ini Hanna akan ada janji dengan klien barunya di salah satu cafe.
"Tidak terlalu, aku masih bisa berjalan, walaupun masih sedikit sakit," kata Alana sambil membuka pintu kulkas untuk mengambil minuman.
"Ya sudah, kalau begitu aku pergi dulu, jaga rumah baik-baik, ya!" ucap Hanna yang sudah siap untuk pergi.
"Iyaaa."
"Oh iya ... jangan sembarangan membukakan pintu untuk orang yang tidak dikenal, okey?" Hanna memperingatkan Alana.
"Okey."
Hanna menjadi overprotektif karena dirinya mendapat kabar bahwa adiknya pernah hilang di hutan.
Alana kembali sendirian, menikmati hari liburnya yang membosankan. Gadis itu duduk di sofa dan meletakkan beberapa camilan di atas meja, dia pun menoleh-noleh ke sembarang arah mencari sesuatu.
"Ahh, ini dia!" ucap Alana yang ternyata mencari remote TV.
"Ahh, senangnya bisa bersantai seperti ini, tanpa harus dijaga oleh ketiga vampir menyebalkan itu," dengusnya, lalu mulai bersemangat untuk menonton salah satu drama yang sangat ia nantikan.
Beberapa menit kemudian ....
Tok tok tok!
"Siapa sih yang datang mengganggu acara menontonku? Menyebalkan!" decaknya.
Suara ketukan semakin keras. Alana pun berjalan sedikit cepat. "Aish! Dia tidak tau kalau kakiku masih terkilir," gerutunya semakin kesal.
"Tunggu sebentar,"
Tiba-tiba Alana menghentikan langkahnya dan sedikit memundurkan diri dari balik pintu. "Kak Hanna bilang jangan membukakan pintu untuk orang yang tidak dikenal, s-siapa yang mengetuk pintu? Apa mungkin itu pencuri? Ahh ... tidak mungkin, mana ada pencuri mengetuk pintu dulu. Atau jangan-jangan ...."
Lagi-lagi suara ketukan itu semakin menjadi, Alana yang berada di depan pintu sangat terganggu dan memutuskan untuk membukanya.
"Hai, Alana!" Dengan nada imut orang yang berada di depan pintu memberi salam dengan suara keras.
"A-apa yang kau lakukan di sini?" tanya Alana pada orang yang sudah berada di hadapannya, orang itu tersenyum sambil memandang wajah Alana dengan mata berbinar.
"Apa-apaan wajahmu itu ... seperti melihat orang asing saja, ini aku Jio! Pria yang memiliki wajah tampan nan imut."
"Aku tau itu kau, Kak. Yang kutanyakan adalah kenapa kau ada di sini?"
"Eeeh? Kenapa kau masih memanggilku Kakak? Aku tidak menyukainya, panggil aku Jio saja."
Alana menghela napas kasar. "Iya baiklah, omong-omong ada keperluan apa kau datang ke rumahku?" tanya Alana.
"Aku berniat mengajakmu ke Ice Skating," jawabnya sambil tersenyum lebar.
"Apa?"
"Sebenarnya aku mendapatkan dua tiket untuk masuk ke ice skating rink, karena aku memenangkan lotre hadiah utama. Kau mau, kan?" tawar Jio, sambil menunjukkan dua tiket ice skating.
Bermain ice skating? Kakiku tidak akan sanggup bermain ice skating, dan lagi hawa di tempat itu pasti sangat dingin. Batin Alana.
"Maaf, hari ini aku harus menjaga rumah selama kakak menemui kliennya," tolak Alana dengan cara halus agar tidak menyinggung Jio.
"Minta izinlah dengan kakakmu, kumohon ... tiketnya hanya bisa dipakai hari ini saja." Jio memelas di hadapan Alana.
"Kenapa kau tidak mengajak yang lain saja?" tandas Alana sambil memicingkan matanya.
"Aku sudah menawarkan mereka satu persatu, tapi tidak ada yang mau,"
"Oh ya?"
"Iya, Alana Sereina."
"Hmm ... bagaimana, ya ...?"
Alana pun semakin bingung dengan tawaran yang diberikan untuknya. Sebenarnya dia juga tidak tega jika menolak keinginan Jio untuk bermain ice skating, bagaimana mungkin Alana tega menolak tawaran kakak kelas yang terkenal di sekolah karena kecerdasan dan ketampanannya itu, dan lagi dia sangat imut ketika wajahnya memohon seperti itu.
Ahh ... bagaimana ini? Gerutunya dalam hati.
"Apa yang sedang mereka lakukan? Siapa pria itu? Dia terlihat sangat dekat dengan Alana," kata Stevan yang sedang bersembunyi di balik pohon dekat rumah Alana.
Aku tau kau sangat peduli pada Alana. Hanya saja kau gengsi mengatakannya. Batin Hans yang diam-diam mengikuti adiknya dan mengamatinya dari kejauhan.
"Baiklah, aku sudah minta izin pada kakak, dia bilang--"
"Dia mengizinkanmu, kan?" Jio menyela ucapan Alana yang belum terselesaikan.
"Eh ...? I-iya, dia mengizinkanku untuk pergi, asalkan tidak sampai larut malam."
"Tenang saja, kita tidak akan pulang sampai larut malam, ayo!" ucap Jio yang sangat antusias.
"Tunggu! Aku harus ganti pakaian dulu. Tidak mungkin aku pergi menggunakan piyama." Pekik Alana.
"Ahh ... kalau begitu bersiaplah, aku akan menunggumu di sini."
"Kau yakin? Tidak mau menunggu di dalam saja?"
"Tidak perlu."
Alana pun masuk kembali ke dalam rumah untuk mengganti pakaiannya. Jio dengan sabar menunggunya di luar.
"Orang itu mencurigakan," kata Stevan, pandangannya tak lepas dari Jio sedikit pun.
Setelah beberapa menit Jio menunggu Alana yang tengah mengganti pakaian, akhirnya sang empu keluar dari rumahnya. Jio yang menyadari ada seseorang tepat di belakangnya menoleh dan memancarkan mata berbinar ketika melihat penampilan Alana.
"Cantik ..." ucap Jio, matanya tak teralihkan ketika melihat penampilan Alana.
"Kau mengatakan sesuatu?"
"Ahh ... tidak! Ayo!"
Mereka pun langsung melanjutkan perjalanan menggunakan angkutan umum.
"Kalian mau pergi ke mana?" seru Stevan dari arah belakang. Jio dan Alana menoleh ketika mendengar ada seseorang bertanya kepada mereka.
Alana yang melihat keberadaan Stevan membuka matanya lebar-lebar dengan mulut menganga. "Kau?!
"Alana, dia siapa? Kau kenal dengannya?" tanya Jio.
"Aku teman sekelas Alana, namaku Stevan," balasnya dengan tatapan dingin ke arah Jio.
"Ahh ... jadi kau teman sekelas Alana. Perkenalkan, namaku Jio, teman Alana sejak kecil." Jio mendekat ke arah Stevan dan memperkenalkan dirinya sambil mengulurkan satu tangan untuk bersalaman.
"Apa kau tidak mendengarkan kakakmu? Bukankah dia menyuruhmu untuk menjaga rumah? Dan kau dengan santainya ingin meninggalkan rumah hanya untuk pergi bersama orang ini?" sembur Stevan.
Alana langsung menganga ketika mendengar ucapan Stevan dan juga cara bicaranya yang sedikit cerewet.
Dia cerewet sekali. Tapi, dari mana dia tau kalau kak Hanna menyuruhku untuk menjaga rumah? Apa dia benar-benar menguntit selama ini? Gumam Alana tak karuan.
"Orang ini? Apa maksudmu itu adalah aku?" pekik Jio.
"Aku tidak bicara denganmu." Stevan menatap Jio lebih dingin, "kau harus tetap di rumah." titah Stevan.
"Aku pergi ke mana pun itu urusanku, lagi pula aku sudah meminta izin pada kak Hanna dan dia juga tau kalau aku akan pergi dengan Jio. Jadi, biarkan aku pergi dengan tenang!" ucap Alana dengan nada tinggi.
"Kalau begitu aku ikut." ujar Stevan.
"Hah?" Alana kembali terkejut.
"Aku sudah berjanji pada Nera, kakakmu, dan semua saudaraku yang ada di rumah untuk menjagamu." lanjut Stevan.
"K-kau tidak perlu sampai sejauh itu, a-aku tidak apa-apa. Jio sangat pandai menjagaku. Benar, kan?" Alana berusaha menolak dengan halus agar Stevan tidak ikut dengannya.
Merepotkan sekali kalau sampai dia ikut bersamaku. Gumamnya.
"Tapi, tidak ada salahnya jika Stevan ikut dengan kita. Lebih bagus jika kita pergi bersama-sama, pasti menyenangkan. Iya, kan?" ujar Jio, yang justru berpihak pada Stevan.
Stevan tak merespon tanggapan Jio dan hanya menunjukkan wajah datarnya.
"T-tapi, bukankah tiketnya hanya untuk dua orang?" Alana masih berusaha membuat alasan. Wajahnya mulai khawatir karena Stevan memaksa ikut, dan Jio terlihat antusias.
"Jangan khawatir, aku akan belikan satu lagi untuk Stevan. Ayo!" balas Jio dengan santai. Tanpa sadar Jio dan Stevan sudah mendahului Alana.
"T-tunggu!" Teriak Alana yang juga menyusul walau dengan tertatih akibat cedera yang masih membuat kakinya merasa nyeri.
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 65 Episodes
Comments