Terang lampu di sudut jalan menyoroti wajah Hanna yang berjalan gontai dan bertingkah seperti orang gila. Orang-orang di sekitar yang melihat gerak-gerik Hanna hanya mampu menjaga jarak, karena mereka merasa bahwa wanita itu gila dengan cara bicara yang aneh dan semakin tidak jelas.
Jarak antara rumah Hanna memang jauh jika dia berjalan dari sebuah Bar. Ya, itu benar, Hanna baru saja pulang dari Bar untuk menikmati waktu luangnya setelah lelah bekerja seharian di kantor bersama rekan-rekannya.
Orang-orang yang dilewati Hanna hanya melirik tidak peduli ketika cara jalannya yang gontai dan bahkan hampir rubuh karena di terjang hujan angin. Astaga, Hanna mabuk berat. Tidak yakin jika dia bisa sampai di rumah sebelum pukul sepuluh malam.
Malam kian larut, dan hujan pun sudah mulai berhenti, hanya gerimis kecil yang menyentuh wajah mulus Hanna. Jalan yang di lalui pun juga begitu sepi, hanya ada satu lampu jalan yang meneranginya.
"Haha ... rasanya aku ingin muntah ... seharusnya ... hik ... aku tidak ... minum terlalu banyak ... aduh kepalaku sakit sekali ..." katanya dengan nada orang mabuk.
Ketika dia hendak melanjutkan perjalanannya menuju rumah, seseorang dengan pakaian serba hitam datang menghadang Hanna. Wajahnya tertutup oleh rambut hitamnya yang basah karena diterka hujan. Dia menunduk dan menghalangi jalan Hanna.
"Hei! Menyingkir dari hadapanku ... kau menghalangi jalanku!" usir Hanna sambil menggerakkan tangannya yang seperti sedang mengusir.
Sosok itu mengangkat kepalanya dan terlihat wajah pucat terpampang jelas. Hanna yang masih mabuk berat tak peduli dan terus mengatakan hal-hal aneh.
"Eh ...? Bukankah kau temannya Alana ...? Wajahmu pucat sekali ... apa kau sakit ... hik!"
"Kau harus mati." Ucap orang itu tiba-tiba.
"Apa?! Kau bilang aku harus mati? Kenapa? Ahahaha!" Hanna membalas dengan nada meledek, walaupun begitu dia masih dalam pengaruh alkohol.
Tiba-tiba sekelompok orang datang dan membelakangi tubuh Hanna yang terlihat terkulai lemas akibat di hajar oleh sosok misterius itu.
"Kakak baik-baik saja, kan?" Tanya salah satu dari mereka begitu khawatir.
"Ahh ... ternyata kalian ... gadis ini ... menghalangi jalanku ..." ucap Hanna seraya bergumam tidak jelas.
"Kak, bukankah dia Helen?" Jason bertanya-tanya.
Hans langsung mengalihkan pandangannya ke arah orang yang disebut mirip dengan Helen.
"Bagaimana dia bisa sampai ke sini?" Hans pun juga mulai bertanya-tanya.
Set!
Dengan kecepatan bak kilat, Helen menghilang begitu saja dari hadapan mereka. Stevan berusaha mengejar namun dihalangi oleh Jason yang seakan memberi kode untuk tidak mengejar Helen.
"Kami akan mengantarmu pulang," kata Hans. Kemudian dia dan Jason membantu Hanna untuk berdiri.
"Ahh ... terima kasih ...."
Sesampai di rumah Alana ....
Alana berdiri di ambang pintu dengan ekspresi terkejut karena ketiga vampir itu datang ke rumahnya, dan ... astaga, mereka bersama Hanna.
"Kak Hanna? K-kalian?"
"Kakakmu mabuk berat, tolong bawa dia masuk dan berikan obat pereda mabuk." Ungkap Jason.
"T-tunggu dulu! Apa yang sudah terjadi pada kakakku? Kenapa kalian yang mengantarnya pulang?" tanya Alana.
"Biasanya dia bisa pulang sendiri walaupun dalam keadaan mabuk berat." Lanjutnya masih keheranan.
"Kakakmu hampir diserang ol--"
"Aww!" Jason sedikit kesakitan. Ucapannya terpotong karena Hans refleks menginjak satu kakinya.
"Ada apa?" tanya Alana bingung.
"Akan kami ceritakan lain kali, lebih baik kau bawa masuk kakakmu ke dalam, dia benar-benar mabuk dan butuh istirahat." Saran Hans terkekeh pelan.
"Iya, baiklah " Alana mengangguk lalu membawa Hanna masuk ke dalam rumah.
"Selamat beristirahat, Alana," ujar Jason tiba-tiba, sambil mengedipkan satu matanya.
Alana menoleh dan tersenyum kikuk.
"Bukankah seharusnya kau mengucapkan itu pada kakaknya?" tandas Stevan tiba-tiba.
"Eh? M-maksudku, aku juga ingin mengatakan itu tadi. Selamat beristirahat untuk kalian berdua." Jelas Jason.
"Iya ..." balas Alana.
Keesokan harinya ....
Di dalam ruang kelas yang ramai, suasana benar-benar berisik oleh ocehan murid-murid perempuan yang menggosip, Alana sedikit terganggu karena saat ini dirinya tengah membaca buku. Dia baru ingat kalau hari ini ada ujian bahasa Inggris. Alana tidak sempat belajar semalam karena harus mengurus kakaknya yang sedang mabuk berat.
"Alana, kau rajin sekali ..." Elice dan Yuri datang menghampiri.
"Aku hanya membaca sedikit materi supaya nanti aku tidak bingung saat menjawab beberapa soal," balas Alana, sebenarnya dia malas menanggapi kedua temannya itu.
"Apa kau tau?" Elice memulai. Kalau Elice sudah mengatakan ini, maka akan ada yang menjadi topik hangat.
"Kau belum memberitahu apapun." sahut Yuri.
"Ada murid baru lagi di sekolah ini." ujar Elice terlihat excited.
Alana menoleh sejenak. "Hah?" Dia mengernyit.
Perasaan baru kemarin ketiga vampir itu masuk ke sekolah ini.
Elice mengangguk pelan. "Yuri yang memberitahuku. Iya, kan?" Dia pun menyenggol bahu Yuri.
"Iya itu benar." Yuri mengangguk.
"Kau bilang dia sangat tampan, bukan?"
"Ya ... kalau tidak salah namanya Hares."
"Apa?!"
Yuri dan Elice menoleh saat Alana terkejut dengan apa yang baru dituturkan oleh Yuri.
"Kenapa kau terkejut begitu?" tanya Elice keheranan.
"Ahh ... tidak apa-apa, aku hanya ... sedikit terkejut dengan materi ini, lumayan sulit." Alana menukar topik.
"Ouh ... kupikir kau mengenal murid baru itu," ujar Yuri sambil membuka bungkus permen karet lalu memasukkannya ke dalam mulut.
"Menurut kalian dia akan masuk ke kelas mana?" tanya Elice.
"Murid itu masuk di kelas sebelah. Tepatnya masuk di kelasnya Hans dan Jason," sahut Yuri yang sepertinya tau banyak tentang anak baru itu.
"Itu dekat dengan kelas kita. Bukankah ini anugerah yang Tuhan berikan kepada kita? Dengan memberikan pria-pria tampan di sekolah ini ... ah, rasanya sungguh sangat wow!" ucap Elice yang menikmati waktu halunya.
"Berhenti berkhayal," sergah Yuri. Elice pun mempoutkan pipinya.
"Apa kalian ingat kalau sekarang tepat dua bulan semenjak hilangnya Helen di hutan itu." ujar Yuri tiba-tiba.
Elice menoleh. "Kau benar, sudah dua bulan ternyata."
"Gadis yang malang, semoga dia tenang di alam sana," lanjut Elice seraya mengepalkan kedua tangannya, seperti orang yang sedang berdoa.
"Alam mana?" Yuri mengerutkan dahi.
"Aish, tentu saja di surga, memangnya kalau orang yang sudah meninggal akan hidup di mana?"
"Entahlah, mungkin di neraka."
"Ah ... benar juga, aku tidak kepikiran."
Alana yang berada di situasi itu hanya diam dan menunduk. Rasa bersalah mulai menghantuinya kembali.
"Alana, ikut aku!" ajak Stevan, lalu berjalan keluar kelas. Alana pun mengikuti Stevan dari belakang.
Keduanya berjalan beriringan saat di koridor sekolah, dan selang beberapa detik kemudian mereka sampai di taman sekolah yang masih terlihat ramai. Karena menurut Stevan tempatnya sangat ramai oleh murid-murid lain, dia pun berjalan untuk mencari tempat sepi. Ternyata dia mengetahui tempat tersembunyi dari sekolah itu. Tepat sekali, di area pembuangan sampah.
"Kenapa kau membawaku ke tempat ini?" cicit Alana sambil menutup hidungnya.
Entah apa yang dipikirkan Stevan sampai harus mengajak Alana ke tempat pembuangan sampah. Dia hanya tampan, tapi kurang mengenali tempat yang bagus untuk dijadikan tempat pertemuan.
"Kita tunggu Jason dan kak Hans." Ujar Stevan.
"Apa? Yang benar saja!"
"Itu mereka."
"Wah, kalian sudah di sini ... maaf, kami agak lama." Jason melambaikan satu tangannya.
"Tidak perlu basa-basi, cepat katakan," ujar Alana terlihat sangat kesal.
"Kenapa wajahmu terlihat kesal begitu? Apa Steve yang membuatmu seperti ini?" tanya Jason dengan nada meledek.
"Sudahlah, cepat katakan!" decak Alana yang mulai kehilangan kendali akan emosinya. Jason pun mengangguk dan tersenyum tipis. Dia tak menyangka bahwa Alana akan sangat emosional hari ini.
"Baiklah. Sebenarnya ini mengenai Hares, menurut informasi dari James, anak itu datang ke sekolah ini dengan alasan ingin belajar. Aku tidak percaya dengan ucapannya, dia pasti datang ke sini untuk mengincarmu, kami hanya ingin kau untuk tidak dekat-dekat dengannya." Hans angkat bicara sebagai perwakilan.
"Baiklah," balas Alana dengan malas.
"Kau harus melihat mata lawan bicaramu, jangan mengabaikan Kak Hans." pekik Stevan.
Alana menoleh ke arah Stevan karena tersinggung. "Apa ucapanku tadi kurang jelas? Aku sudah bilang 'baiklah' Apa itu tidak cukup untuk kalian?!" terang Alana dengan nada tinggi.
"Kenapa kau tiba-tiba jadi kesal begitu? Aku rasa ucapan Stevan tidak ada salahnya." Jason berusaha menenangkan gadis itu.
"Ahh, sudahlah!" Alana yang kesal dengan sikap ketiga vampir itu pergi tanpa menoleh.
"Gadis itu benar-benar sangat aneh Lebih baik biarkan saja gadis itu dimangsa Alex atau Hares. Aku sudah tidak peduli lagi." pekik Stevan.
Hans menoleh. "Apa?"
"Kalian saja yang mengurus gadis manja itu." Stevan pun ikut pergi.
"Hei! Kau mau ke mana?!" teriak Jason.
Hans meraih tangan Jason yang hampir menyusul adiknya. "Biarkan saja,"
"Tapi ...."
Hans menggeleng.
"Yaa baiklah ..." Jason mengangguk.
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 65 Episodes
Comments