Suatu hari ketika Alex pulang dari hutan selepas berburu, dia berjalan menuju kamar dan tentu saja harus melewati lab profesor Charles. Alex kala itu tidak sengaja mendengar percakapan antara profesor dengan Nera di dalam lab. Hal tersebut memantik rasa penasaran pada diri Alex. Dia pun mengendap-endap untuk mendengar percakapan tersebut.
"Johan anak yang baik, apa kau tega mau membuangnya begitu saja?" Tanya seorang wanita yang tak lain dan tak bukan adalah Nera.
"Aku tidak membuangnya begitu saja. Aku mengubur Johan selayaknya seorang manusia." Sergah Charles.
"Aku tidak mungkin membuang anak-anak terlantar yang sudah kau rawat, aku mengubur mereka semua di tempat di mana tidak ada yang mengetahuinya." Sambungnya.
"Kenapa kau menyembunyikan hal itu padaku, Prof?"
"Aku tidak mau anak-anak lain mengetahui hal tersebut." ucapnya dengan nada pelan.
"Apa?" Nera tersentak dengan pengakuan Profesor Charles.
"Itu bisa mempengaruhi kesehatan mental dan fisik mereka jika mengetahuinya sebelum aku menyuntikkan virus baru itu kepada anak-anak."
"Apa kau belum cukup puas menjadikan mereka sebagai kelinci percobaan? Mereka masih anak-anak." Lirih Nera.
"Justru karena mereka masih muda, makanya ku jadikan sebagai percobaan, fisik mereka jauh lebih bagus dibandingkan dengan orang dewasa." Balas Charles.
"Sebaiknya kau hentikan semua eksperimen mu itu, Prof. Atau kau akan menyesal suatu hari nanti."
"Sudahlah, lebih baik kau siapkan sisa anak yang akan menjadi bahan percobaan untuk virus baruku." Charles menyudahi pembicaraan.
"Apa kau yakin kalau virus barumu akan aman dan berhasil?" Tanya Nera mulai khawatir.
"Aku sangat yakin. Aku sudah membuatnya sesuai dengan bentuk virus yang ada di dalam tubuhmu."
Nera pun menggeleng pelan sambil menghela napas kasar lalu berjalan meninggalkan lab Charles.
Dengan cepat Alex mengumpat agar tidak ketahuan oleh Nera.
Dia benar-benar sangat terkejut dengan apa yang baru saja didengarnya.
"Jadi, kami ini kelinci percobaan?" Ucapnya monolog.
"A-aku harus memberitahu yang la--"
"Apa yang kau lakukan di sini, Alex?" seru seseorang. Sial, Alex ketahuan.
Alex melotot. "Profesor?"
"Apa kau sudah cukup lama berada di sini?" Tanya Charles pada Alex yang masih mematung.
"A-aku, hanya ..." Alex menundukkan kepalanya karena masih tidak percaya. Setelah semua yang sudah Charles berikan padanya dan anak-anak lain, ternyata ada maksud dan tujuan tersembunyi.
"Apa kau mendengar semuanya?" tanya Charles kembali. Kali ini dengan tatapan tajam nan serius.
"Baiklah, aku akui! Aku mendengar semuanya, kenapa kau melakukan hal itu pada kami?! Kupikir kau orang yang baik karena mau merawat anak terlantar. Tapi, dibalik semua kebaikanmu ternyata ada maksud dan tujuan lain yang bahkan tidak kami ketahui. Kau sudah merenggut nyawa teman-temanku karena percobaan aneh mu itu!" seru Alex yang sudah tak mampu mengontrol emosinya.
Padahal dia bukanlah tipe orang yang emosian, dia sendiri juga sangat terkejut dengan apa yang baru saja diucapkan. Alex sebenarnya anak yang pendiam dan tak banyak bicara, tapi setelah Charles menyuntikkan virus itu, dia menjadi sangat berani dan dipenuhi adrenalin yang tinggi.
Charles mengerutkan dahinya. Virus itu membuat Alex menjadi lebih percaya diri dan berani menentang dan melawan, dia adalah salah satu percobaan ku yang berhasil. Bagus sekali. Batin Charles lalu tersenyum kecil.
"Jaga ucapanmu. Kalau bukan karena diriku, kalian tidak akan bisa merasakan hidup selayaknya manusia," sergah Charles yang tidak terima dengan ujaran Alex.
"Setidaknya kami semua akan hidup walaupun kelaparan," balas Alex dengan ketus, dia pun berjalan menjauh dari Charles.
"Alex! Kau mau ke mana?!" seru Charles.
Alex berjalan menyusuri lorong demi lorong dari rumah besar tersebut dengan langkah cepat. Sesampai di ruang tengah, dia mendapati Hares sedang memainkan piano. Dengan gerakan cepat Alex meraih tangan Hares lalu membawanya pergi.
"Alex? A-ada apa ini?" Hares bertanya-tanya. Dia bingung dengan sikap Alex hari ini.
"Kita harus pergi dari tempat ini sekarang juga," ucap Alex tanpa menghiraukan apapun yang ada di sekitarnya, termasuk hanya untuk menoleh ke arah Hares.
"Tapi, bagaimana dengan Hans dan yang lainnya?" Tanya Hares.
"Aku tidak peduli, ayo pergi!"
Alex dan Hares pergi tanpa sepengetahuan Charles dan yang lainnya. Setelah kepergian kedua anak itu, Charles yang sudah selesai membuat virus baru langsung menyuntikkannya pada Jayden, Sean, dan Hans. Sisanya menunggu karena saat itu kesehatan fisik mereka sedang buruk.
Tak terasa sudah satu malam Alana berada di rumah besar itu bersama ketujuh vampir dan wanita bernama Nera.
Bahkan Alana sudah tidak merasa takut atau pun cemas ketika berada di rumah besar bernuansa kuno itu. Ketiga vampir termuda yakni Sean, James, dan Nicole suka bermain dengan Alana. Mereka mengetahui banyak hal dari gadis itu, mengenai kehidupan manusia yang sebenarnya.
"Aku iri padamu, Alana."
"Iya aku juga, kau menjalani kehidupanmu sebagai manusia dengan sangat baik."
"Apakah suatu hari nanti kita bisa sepertimu, Alana?"
"Aku juga tidak tau." Alana tersenyum kikuk.
"Apakah manusia-manusia di kota tidak takut pada vampir?"
"Ehm ... entahlah, tapi jika vampir yang mereka lihat setampan ini, kurasa mereka tidak akan takut."
"Benarkah? Kapan-kapan aku ingin ke rumahmu, Alana!"
"Aku juga!"
"Sepertinya seru."
"B-baiklah."
Setelah cukup lama mengobrol bersama ketiga vampir menggemaskan itu, dia kembali ke ruangan di mana Helen masih terbaring lemah di atas ranjang. Di depan pintu ruangan khusus itu Alana mematung dan sempat merasa bersalah dengan apa yang sudah menimpa Helen.
Alana menundukkan kepala. Dia mengingat sesuatu tentang pembicaraannya antara ketujuh vampir dan Nera kemarin malam.
Semalam ....
"Sebenarnya Moorblood itu apa?" tanya Alana yang tengah dikerumuni.
"Moorblood itu istilah untuk darah campuran." Sahut James.
"Darah campuran? Maksudmu darahku ini blasteran?" Tanya Alana kebingungan.
"Blasteran?" James mengerutkan keningnya. Dia bahkan tidak tau apa itu blasteran.
"Misalnya aku ini memiliki darah campuran Korea dan Amerika." Jelas Alana secara singkat.
"Ahh, bukan seperti itu konsepnya, darahmu bukan campuran dari kedua negara itu melainkan gabungan antara DNA manusia dan vampir." Sahut Jason menjelaskan.
"Gabungan DNA?!" Seru Alana terkejut.
Jason dan yang lain mengangguk pelan.
"Alana, apakah kau tau siapa orang tuamu?" Tanya Nera dengan raut wajah serius.
"Kakakku bilang mereka meninggal saat usiaku masih sangat bayi." Jawab Alana jujur.
Semua terlonjak kaget mendengar pengakuan Alana. Semua menatap satu sama lain karena benar-benar bingung.
"Kakak?
Alana mengangguk.
Lagi-lagi mereka terkejut dengan jawaban yang telah diberikan Alana. Semua berbisik-bisik tidak jelas. Alana yang berada di kondisi seperti itu hanya bisa mengerutkan keningnya.
"Nera, bukankah kau pernah memberitahu kami bahwa darah Moorblood itu hanya dimiliki oleh satu orang? Kenapa Alana mengatakan bahwa dia memiliki kakak? Apa sebenarnya darah Moorblood itu ada dua?" Bisik Jason pada Nera. Mereka tepat bersebelahan.
"Aku tidak tau. Sepertinya aku melupakan sesuatu, dan aku sama sekali tidak mengingatnya setelah profesor Charles meninggal," jawab Nera yang membalas dengan cara yang sama seperti yang dilakukan Jason.
Semua orang terlihat mengerutkan keningnya dan nampak terheran-heran. Hal itu membuat Alana hanya menatap kosong dengan keheningan yang terjadi di antara mereka.
"Ugghhh ...."
Tiba-tiba Helen mengerang bak orang kesakitan, sontak saja membuat keheningan yang terjadi di ruangan itu pecah dan semua orang menoleh ke arah Helen.
"Helen ...?" Alana yang pertama kali menyadari hal tersebut langsung berjalan mendekati ranjangnya.
"A-aku ada di mana?" Helen yang baru sadar terduduk sambil memegangi kepalanya.
"Helen, syukurlah kau sudah sadar, aku sangat--"
Tiba-tiba Alana menghentikan ucapannya. Dia pun memundurkan langkahnya secara perlahan.
Sepertinya aku harus mulai berhati-hati pada Helen. Batin Alana.
"Alana, kita ada di mana?" tanya Helen yang sangat kebingungan.
"K-kita ada ... eum ... di rumah orang yang sudah menyelamatkan kita." jawab Alana gagap.
"Benarkah? Aww, kepalaku ..." Helen masih terlihat kesakitan, dia terus saja memegangi kepalanya.
"S-sebaiknya kau jangan terlalu banyak bergerak." kata Alana.
Mendengar Alana bicara dengan nada gemetar, Helen menatap mata Alana dengan rasa curiga.
"Kenapa kau terlihat takut?" Tanya Helen.
"Ahh, aku tidak apa-apa." Alana terkekeh, berusaha bersikap tenang.
Helen sudah tahu raut wajah Alana ketika sedang merasa ketakutan. Raut yang sama saat dia dan Alana masih tersesat di tengah hutan.
"Kau terlihat seperti menjauhiku. Apa aku melakukan kesalahan?" Tanya Helen lagi.
Mata Alana bergerak tak terarah sambil melipat bibir saking groginya. "Eh ... i-itu, ehm ...."
"Wah! Kau sudah sadar. Hai puteri tidur." seru Sean sambil tersenyum ke arah Helen, dia berusaha menghilangkan ketegangan antara keduanya.
"Puteri tidur?" Helen mengerutkan dahinya.
"Kau tidur sepanjang hari, apa kau tidak ingat?" balas Sean kembali. Padahal baru beberapa hari Helen tidak sadar.
Sean tak henti-hentinya melebarkan senyumnya yang manis seperti buah peach.
Semua mengangguk seakan setuju dengan ucapan Sean.
Lagi-lagi pandangan Helen mengarah pada Alana yang masih memainkan bola matanya tak terarah. Seperti orang yang kebingungan sekaligus ketakutan.
"Alana, kau kenapa?" Tanya Helen tiba-tiba, membuat Alana sedikit terkejut.
"Ehm ... aku baik-baik saja, kok," balas Alana berusaha untuk tetap tenang.
"Kau menjauhkan diri dariku. Kau pikir aku tidak tau gerak-gerikmu yang mencurigakan." Tukas Helen.
"Ahh, i-itu hanya perasaanmu saja,"
"Jangan bohong, katakan saja yang sejujurnya padaku." Helen memaksa Alana untuk memberitahunya.
"Alana, biarkan aku saja yang menjelaskannya. Kau dan yang lain keluar dulu, ya." sela Nera.
"Baiklah." Alana mengangguk kemudian keluar ruangan bersama ketujuh vampir.
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 65 Episodes
Comments