Ayana merasa kewalahan saat harus menangani pasien berumur 7 tahun yang mengalami luka sobek pada kaki kirinya. Lukanya tidak terlalu besar namun terlihat cukup dalam sehingga ia perlu menjahitnya, tapi anak itu meronta-ronta tak ingin ia sentuh. Kakinya menendang ke sembarang arah, bahkan beberapa kali mengenai perut Ayana, dan itu cukup membuatnya meringis kesakitan. Meski baru berumur 7 tahun, tapi anak laki-laki ini memiliki tubuh bongsor sehingga cukup menyakitkan saat kaki itu menendang.
"Enggak mau! Enggak mau! Adek mau pulang! Adek mau pulang! Adek takut sama Kakak dokter." Tangis anak itu semakin histeris, membuat ulu hati Ayana seolah teriris. Ia paling tidak tega saat mendengar jeritan anak kecil.
"Dengerin Mama! Adek, dengerin Mama!" seru sang Ibu mencoba menghentikan tangis anak itu.
Dalam sekejap anak itu langsung diam meski sesekali masih sesegukan.
"Kakak dokternya nggak jahat, sayang, Kakak dokternya mau obatin adek. Adek nggak boleh begitu! Sekarang biarin Kakak dokter obatin luka adek, ya?"
"Enggak mau! Enggak mau!" Si anak kembali menolak dengan histeris.
Ayana menghela napas dan coba ikut membujuk lagi. "Tapi nanti kalau lukanya nggak diobati, kakinya tambah sakit loh." Ia kemudian menunjuk kaki yang terluka, "tuh, berdarah kan? Sakit kan? Kalau enggak diobati pasti nambah sakit, terus kalau tambah sakit gimana mainnya? Emang enggak mau main sama temen-temennya?"
Si anak nampak ragu-ragu melirik sang ibu.
"Enggak papa, sayang, kan biar cepet sembuh," bujuk sang ibu sambil mengelus rambut sang putra. Kedua matanya ikut memerah karena tak tega melihat sang buah hati kesakitan.
"Tapi adek takut."
"Kan adek pemberani," ucap Ayana mencoba merayu, "nanti kalau adek mau diobati, nanti dikasih hadiah. Gimana?" Tak ingin menyerah, ia coba bernego.
Bola mata anak itu terlihat kaget saat mendengar kata hadiah. Binar penuh minat memancar tak lama setelahnya. Ragu-ragu ia menoleh ke arah sang ibu lagi.
"Tuh, Kakak dokternya baik kan? Udah mau obati kaki adek terus mau kasih hadiah, masa adek masih mau nolak? Emang nggak pengen sembuh?"
Ragu-ragu anak itu akhirnya mengangguk cepat. Ayana kemudian berbisik kepada salah satu perawat untuk mengambilkan coklat yang dibelikan Malvin kemarin.
"Pinternya," puji Ayana sambil bertepuk tangan. Ia kemudian mengajak si anak mengobrol untuk mengalihkan rasa sakit.
"Adek pinter namanya siapa?" tanya Ayana sambil menyuntikkan anastesi agar si anak tidak merasakan sakit, saat ia menjahit lukanya.
"Fabian."
"Umur berapa, sayang?"
Si anak melirik sang ibu. Hal ini membuat Ayana tersenyum kecil.
"7 tahun," ucap Fabian setelah mendapat bisikan dari sang Ibu.
"Wah, udah 7 tahun. Berarti udah sekolah dong?"
Fabian mengangguk. "Kelas satu."
Ayana menjahit luka Fabian dengan hati-hati sambil terus mengajaknya mengobrol.
"Wah, temennya banyak dong?"
Fabian mengangguk. "Adek suka sekolah, ketemu banyak temen-temen, main sama mereka, tapi adek nggak suka kalau banyak PR," ceritanya dengan wajah polos.
Hal ini mengundang tawa beberapa orang yang ada di sana. Ayana bahkan sampai tertawa sedikit keras saking gemasnya dengan kepolosan Fabian.
"Oh, jadi Bu Guru suka ngasih PR banyak?"
Dengan wajah polosnya, Fabian mengangguk. "Padahal kan di sekolah udah belajar banyak, masa di rumah juga harus belajar banyak juga. Kan adek jadinya capek belajar terus."
Ayana tersenyum kecil, ia benar-benar merasa gemas dengan jawaban polos Fabian.
"Udah selesai," seru Ayana setelah menempelkan plaster penutup luka pada kaki Fabian yang selesai ia jahit.
Fabian terlihat kaget. "Udah, Kakak dokter?" tanyanya terlihat tidak percaya.
Ayana mengangguk cepat sambil melepas sarung tangannya. "Enggak sakit kan?"
Dengan wajah senangnya, Fabian mengangguk cepat. "Wah, beneran nggak sakit. Kakak dokternya pinter, Ma."
Ibu Fabian langsung tersenyum sambil mengelus rambut sang putra. "Kan tadi Mama udah bilang, Kakak dokternya baik kan? Kaki adek diobatin nggak sakit?"
Fabian langsung mengangguk cepat.
"Ayo, sekarang bilang apa sama Kakak dokter?"
"Makasih Kakak dokter. Hadiah buat adek mana?"
"Oh iya, Kakak dokter hampir lupa." Ayana pura-pura menepuk dahinya, "sekarang Fabian tutup mata dulu."
Dengan patuh Fabian langsung menutup kedua matanya.
"Buka matanya!"
"Wah, coklat. Terima kasih Kakak dokter yang cantik," seru Fabian kegirangan saat mendapat hadiah cantik.
"Sama-sama ganteng. Abis ini kalau main hati-hati ya, biar nggak jatuh lagi. Oke?"
Fabian mengangguk sambil memeluk leher sang Ayah.
"Kalau begitu kami langsung urus administrasi, dok, terima kasih. Maaf sekali karena tadi anak saya sampai nendang dokter," ucap ibu Fabian penuh penyesalan.
Ayana tersenyum maklum sambil menggeleng. "Enggak papa, Ibu, udah biasa. Cepet sembuh buat adeknya."
"Iya, dok, makasih. Permisi."
Prok Prok Prok
Malvin bertepuk tangan menyambut Ayana yang baru menangani pasiennya. "Emang paling hebat ya ibu dokter yang satu ini kalau ngadepin anak-anak," pujinya dengan nada bercanda, "cocok banget lo jadi dokter anak, Na. Buruan ambil spesialis deh!" Kali ini nada bicaranya terdengar lebih serius.
Ayana menggeleng. "Males belajar mulu gue, Vin."
"Ya elah, Na, jadi dokter tuh emang tugasnya ngurus pasien sama belajar. Kalau lo males belajar, harusnya jangan jadi dokter."
"Nah, harusnya dulu gue emang nggak ambil kedokteran, Vin. Sekarang gue baru sadar, kalau ternyata gue salah ambil jurusan."
"Kenapa lo meringis sambil pegang perut? Hari pertama lo?" tanya Malvin khawatir saat menyadari ada yang tidak beres dengan sang sahabat, "udah minum obat?"
Ayana menggeleng sambil merasa perutnya sendiri. "Bukan. Ditendang anak yang tadi."
Malvin terlihat kaget. "Yang barusan?"
Ayana mengangguk.
"Buset, ayo sini gue cek bentar." Malvin langsung menarik tangan Ayana dan menyuruhnya duduk di bed pasien. Ia langsung menarik tirai agar Ayana tidak risih, "kalau itu bocah bongsor yang nendang, pasti memar gue rasa. Mana badan lo segini."
"Heh! Enggak usah rasis lo," decak Ayana tidak suka, "lagian resiko pekerjaan diginiin udah biasa kali. Kayak lo belum pernah aja."
Malvin manggut-manggut cuek. "Buruan angkat baju lo dikit!" suruhnya kemudian.
"Ya, lo jangan liat lah, Vin. Enak aja, lihat ke arah sana! Jangan ngintip!"
"Ya elah, kayak sama siapa aja lo," gerutu Malvin sambil membalikkan badannya.
"Ya, justru karena orangnya itu lo, Vin. Mata keranjang, yang hobinya ngintipin daerah privasi perempuan."
"Anjir, kan gue residen obgyn, Na. Wajar kalau ngintipnya gituan." Ia kemudian sedikit mengintip ke arah belakang, "gimana? Udah selesai?"
Ayana mengangguk. "Udah."
"Memar nggak?"
"Dikit."
Malvin terlihat tidak puas. "Gue cek sendiri deh, Na, coba lihat!"
"Enggak usah modus lo! Yuk, cari makan. Mau balik kan abis ini?"
Meski sedikit tidak rela, Malvin pada akhirnya mengangguk pasrah. Lalu keduanya keluar dari IGD beriringan, di luar mereka tidak sengaja bertemu Tama.
"Loh, Bang Tama? Sendiri, Bang?" sapa Malvin langsung mengajak Tama berjabat tangan. Pria itu membalas jabat tangannya.
"Enggak, tadi sama anak kantor, abis jengukin karyawan sakit. Terus mampir mau ketemu Yana. Kalian mau ke mana?"
"Cari makan." Malvin langsung merogoh kantongnya saat merasakan getaran dari ponselnya. Ayana yang kebetulan melihat siapa yang menelfon langsung menepuk pundak pria itu.
"Gue makan sama Bang Tama aja deh, Vin, lo balik aja."
Malvin menggeleng tidak setuju. "Bentar, gue angkat telfonnya dulu. Lo jangan main pergi ninggalin gue," decaknya tidak setuju. Ia kemudian menggeser tombol hijau pada layar ponsel sebelum menempelkan pada telinga kirinya.
"Ya, halo."
"Pasien atas nama Ibu Lita sudah pembukaan lengkap, dok, dokter Malvin diminta mendampingi Dokter Susi. Dokter Malvin langsung ke ruang bersalin ya?"
Klik.
Ayana langsung terkekeh saat mendapati wajah Malvin berubah masam. Tama pun demikian, pria itu langsung mendorong bahu Malvin dengan ujung jarinya dan langsung merangkul sang adik.
"Selamat bertugas dokter Malvin, dokter Yana makan sama gue ya, dadah!"
"Semangat dokter Malvin, gue duluan ya. Good luck!" Ayana tidak mau kalah.
"Sialan kalian berdua."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 171 Episodes
Comments
dementor
modus loe vin.. modus sama yana..
2023-06-12
0
cha
dokter Malvin ngintip privasi perempuan...itu bukan ngintip di kasih kan liat langsung Ama tu ibu ibu
2023-06-05
1
Nunuk Bunda Elma
kek nya Dokter Malvin ada hati sama dokter yana
2023-05-01
1