"Na, tadi mama bikin kue bolu pandan. Kamu anterin ke tetangga baru kita ya, sekalian kenalan."
Ayana menghentikan kunyahan dan menatap sang Mama dengan tatapan horor. Minggu ini ia tidak dapat jatah jaga malam, alhasil ia bisa bersantai disore hari. Tapi apa yang barusan ia dengar? Kenalan dengan tetangga baru? Jangan bilang Mama-nya ini menganggap serius ucapan ngawurnya, yang ingin mendekati tetangga baru mereka waktu itu?
"Yana," seru Kartika dengan nada jengkel, karena sang putri tak kunjung membalas ucapannya, "kamu itu kalau diajak ngomong sama orang tua tuh dijawab dong, Na, masa diem aja?" protesnya kesal.
"Mama pengen aku jawab apaan?" tanya Ayana kembali mengunyah cemilannya.
"Iya Allah, Yana, beginian aja musti diajarin juga? Kamu ini bisanya apa sih?" decak Kartika kesal.
Ayana menghela napas berat. "Ya udah mana kue-nya."
"Nah, gitu kek dari tadi. Masa harus pake disindir-sindir dulu biar paham." Kartika melirik Ayana sinis, "Mama jadi curiga deh sama kamu."
"Astagfirullah, sama anak sendiri kok curigaan terus." Ayana geleng-geleng sambil melirik sang Mama dengan tatapan tidak percayanya.
"Kamu diputusin terus karena kurang peka ya, Na," tuduh Kartika tiba-tiba.
Ayana menghela napas. "Ma, jadi suruh nganter kue-nya nggak sih?" tanyanya dengan tatapan datarnya.
"Jadi lah, tunggu sebentar, kamu ganti baju sama dandan dulu sana! Biar kamu nanti nggak dikira pembantu baru Mama."
Ucapan Kartika sukses membuat Ayana melongo. Kepalanya secara reflek menunduk, memperhatikan pakaian yang dipakai. Perasaan celana jeans dan kaosnya belum terlihat lusuh apalagi buluk, lalu kenapa sang Mama tega menyamakan dengan pembantu?
Cepat-cepat Ayana menyambar ponselnya untuk berkaca pada layar hapenya. Penampilannya masih oke kok, masih terlihat segar dan cantik seperti biasa.
"Ganti dress sekalian, Na, terus touch up tipis-tipis, masa mau nemuin gebetan pake celana jeans sih, mana ada yang mau ngelirik?" ucap Kartika tiba-tiba muncul dari dapur sambil membawa tapperware berukuran sedang.
Gebetan? Beo Ayana dalam hati dengan ekspresi bingung.
"Gebetan siapa?"
"Ya gebetan kamu lah, masa gebetan Mama. Mau di kemanain ntar Papa-mu?"
"Tapi aku lagi nggak ada gebetan loh, Ma."
Kartika berdecak sambil menyerahkan tupperware-nya pada Ayana. "Itu tetangga baru kita, Na."
Ayana geleng-geleng kepala. "Apaan sih, ngaco aja." Ia kemudian memilih untuk segera pamit dan mengantarkan kue-nya sebelum maghrib.
Ayana langsung masuk ke halaman tetangga barunya--yang kebetulan gerbangnya tidak ditutup--.
"Assalamualaikum!" teriak Ayana di depan pintu, "permisi! Asalamuallaikum!"
"Wa'allaikumsalam. Ada apa ya, Mbak?" balas seorang perempuan dengan daster batiknya membukakan pintu.
"Emm, saya Yana, Mbak, anaknya Tante Tika yang rumahnya di depan itu," ucap Ayana sambil menunjuk ke arah rumahnya, "Mama saya abis bikin kue bolu pandan, terus minta saya bagiin sama tetangga baru. Ya, anggap aja seperti ucapan selamat datang di komplek ini."
"Oh, saya Darti, Mbak, ART di rumah ini. Tunggu sebentar ya, Mbak. Saya panggilkan Bapak dulu, mari Mbak silahkan masuk."
Ayana terkesiap. "Eh? Anu... enggak usah, Mbak, nitip ini saja. Saya mau langsung pulang saja, Mbak."
"Enggak papa, mari masuk dulu, Mbak, sekalian kenalan sama Bapak. Mbaknya belum sempet kenalan kan sama majikan saya?"
Ayana meringis. Jangan kan berkenalan, lihat orangnya yang mana saja ia belum pernah.
"Enggak usah, Mbak, saya di sini saja kalau gitu. Saya kalau dipersilahkan masuk suka lupa pulang," canda Ayana diiringi cengiran khasnya.
"Ya sudah kalau begitu, tunggu sebentar ya, Mbak, saya panggilkan Bapak dulu."
Sambil tersenyum canggung, Ayana mengangguk, mempersilahkan ART yang bernama Darti itu masuk ke dalam rumah. Tak berapa lama seorang pria dengan tubuh lumayan tinggi tegap berjalan mendekat ke arahnya.
"Ada yang bisa saya bantu?"
Alamak. Jerit Ayana dalam hati. Jadi ini pria yang Mama-nya bangga-banggakan selama ini?
Buset beneran ganteng banget, anjir.
Pembawaan pria ini memang bukan tipe yang kelihatan ramah, lebih ke arah datar seolah tanpa ekspresi sebenarnya. Tapi meski demikian tatapan matanya justru terlihat lembut dan sama sekali tidak mengitimidasi. Selain itu, pria ini memiliki mata yang indah. Coba aja kalau tersenyum, nambah berpuluh kali lipat nih pasti gantengnya. Pantas saja Mama-nya bersikap seberlebihan itu. Ternyata modelannya begini.
"Ada yang bisa saya bantu?"
Lamunan Ayana buyar. Ia menggeleng cepat lalu menyerahkan tapperware yang ia bawa tadi. Bukannya langsung menerima, pria itu malah menaikkan sebelah alisnya heran.
"Maaf?"
"Oh, itu... anu... ini ada kue bolu pandan buatan Mama saya buat Masnya. Rumah saya di situ," ucap Ayana sambil menunjuk ke arah rumahnya, "kita tetanggaan."
Berhubung pria ini terlihat lebih tua darinya, Ayana memutuskan untuk memanggilnya 'Mas' demi menjaga sopan santun yang diajarkan oleh kedua orang tuanya.
"Terima kasih." Saga kemudian menerima tapperware yang Ayana sodorkan.
"Sama-sama. Kalau gitu saya langsung permisi pulang, Mas," pamit Ayana.
"Tunggu sebentar," cegah Saga. Ia kembali masuk dan tak lama setelahnya ia membawa piring ukuran sedang berisi rendang dan menyerahkannya pada Ayana.
Gadis itu mengerutkan dahinya tidak paham.
"Maaf ini apa?"
Saga menaikkan sebelah alisnya heran. Ekspresi wajahnya seolah sedang bertanya 'kamu tidak tahu ini apa?'
"Rendang," jawab Saga pada akhirnya.
Ayana menggeleng cepat. "Bukan, maksud saya untuk apa?"
"Dimakan."
Ayana berdecak kesal. "Ya, tahu rendang emang untuk dimakan. Tapi..."
"Buat Mama kamu. Buat kamu juga. Terima kasih untuk kuenya," ucap Saga lalu masuk ke dalam rumah begitu saja. Meninggalkan Ayana sendiri dengan ekspresi bingungnya.
Ayana melongo. "Anjir, masa gue langsung ditinggalin gitu aja? Sopankah begitu?" decaknya tak suka.
Ganteng sih ya, emang ganteng tapi kelakuan begitu ya buat apa wajah gantengnya? Enggak guna. Gerutu Ayana dalam hati.
Tak selang berapa lama Darti muncul kembali. "Duh, maafin Bapak ya, Mbak. Bapak emang begitu orangnya, tapi sebenernya baik kok. Mungkin Bapak lagi buru-buru makanya masuk gitu aja. Maafin ya, Mbak."
Buru-buru sih, buru-buru tapi masa iya langsung masuk ke dalam rumah tanpa permisi lebih dahulu. Sopankah begitu?
Ayana mengerutkan dahinya heran. Kenapa jadi ART-nya yang meminta maaf, kan yang salah majikannya.
"Duh, ngapain Mbak Darti minta maaf? Kan yang salah bukan Mbak Darti, udah nggak usah minta maaf, Mbak, ntar jadi saya yang nggak enak."
Darti tersenyum. "Enggak papa, Mbak, saya cuma nggak mau Mbak Yana salah paham dengan Pak Saga."
Oh. Jadi namanya Saga. Batin Ayana.
"Pak Saga itu sebenernya baik, cuma ya emang begitu, irit banget ngomongnya, Mbak. Biasanya emang suka bikin salah paham orang, kalau ngomong suka setengah-setengah, pokoknya kayak mahal gitu suaranya. Kadang emang bikin gemes, Mbak, saya aja kadang juga suka gemes sendiri, tapi ya bagaimana, karakter Bapak emang begitu, jadi saya minta Mbak Ayana sedikit maklum dan tidak membenci majikan saya."
Ayana meringis canggung. Bingung harus bereaksi bagaimana. Tadi sebenarnya ia memang merasa kesal sekali dengan sikap Saga, tapi mendengar penjelasan Darti, membuat kekesalan Ayana perlahan memudar, meski hanya sedikit.
"Ya sudah, kalau gitu saya langsung pamit ya, Mbak. Sampaikan terima kasih saya untuk Pak Saga kalau begitu, soalnya tadi saya belum sempat bilang makasih."
"Baik, Mbak, nanti saya sampaikan."
Ayana mengangguk. "Permisi ya, Mbak!" lalu undur diri.
Darti mengangguk, mempersilahkan. "Sering-sering main ke sini, Mbak!" serunya kemudian.
Ayana menoleh sambil meringis. Dalam hati ia menggerutu 'sering-sering main ke sini? Ogah. Kecuali kalau dirinya sedang ingin menaikkan tekanan darahnya. Baru ia akan main ke rumah ini dan mengajak pria itu mengobrol.'
______________________________________
"Ada acara apaan nih, tumbenan ada rendang di meja makan?" tanya Hari heran saat menarik kursi yang hendak ia duduki, kedua matanya menangkap sepiring daging rendang tersaji di atas meja bersandingan dengan beberapa lauk pauk dan lainnya.
"Dari calon mantu-mu, Pa," ucap Kartika sambil terkikik geli.
Tadi saat Ayana pulang dari rumah Saga, ia heran saat melihat wajah bete sang putri. Namun, di balik perasaan herannya, ia mendadak senang bukan main karena Ayana membawa sepiring penuh daging rendang. Menurut Kartika itu suatu permulaan yang bagus.
Hari mengerutkan dahi heran. "Calon mantu? Bukannya kita udah punya mantu, Ma?"
Kartika berdecak sambil menatap sang suami dengan kesal. "Kan putri bungsu-mu belum kasih calon mantu, Papa."
"Oh," respon Hari, "jadi ini dari calonnya Yana?" tanyanya sambil menunjuk ke arah piring yang berisi daging rendang.
Dengan wajah sumringahnya, Kartika mengangguk cepat.
"Na, kamu punya pacar baru?"
Ayana langsung mendengus saat menarik kursi dan sudah mendapat pertanyaan aneh. "Dapet gosip dari mana tuh?"
"Tuh," ucap Hari sambil menunjuk sang istri, "katanya rendang itu dari pacarmu."
"Astagfirullah, Mama!" Ayana langsung melotot kesal ke arah sang Mama.
"Aamiin, Na," koreksi Kartika, "ucapan itu adalah doa, apalagi yang ngucapin orang tua kamu sendiri. Masa nggak pinter-pinter, dulu Mama keluarin banyak uang ya, buat bayar guru ngaji kamu."
Ayana mendesah lelah. Semenjak diputusin Tio, kelakuan sang Mama memang ada saja. Ayana benar-benar capek menghadapinya.
"Papa! Tolong dong istrinya diurus, Yana capek loh tiap hari diginiin."
"Loh, emang Mama ngapain?" protes Kartika tidak terima.
Ayana berdecak. "Ya, itu mau jodoh-jodohin aku sama tetangga baru kita."
"Loh, ya nggak papa kan kalian sama-sama single. Mana orangnya baik dan dapat dipercaya, ya Mama semangat lah jodohinnya. Lagian kamu udah umurnya buat nikah, punya hubungan harusnya diseriusi malah bubaran. Gimana sih?"
"Oh, jadi rendang ini dari tetangga baru kita?" tanya Hari, "tapi nggak papa sih, Na, kalau semisal Mama-mu mau jodohin kamu sama tetangga baru kita. Papa sih seneng-seneng aja asal dia beneran masih single dan mau sama kamu. Papa perhatikan dia anaknya baik, kalem dan sopan kok. Kayaknya juga nggak neko-neko."
"Tuh, dengerin Papa kamu aja ngomong gitu. Penilaian yang lebih berpengalaman itu penting, Na, lihat kan selama ini yang kamu ajak ke rumah pasti nggak ada yang bener. Buktinya gagal terus."
"Ma, hubungan kami gagal bukan berarti dia nggak bener. Mama jangan ngomong begitu," balas Ayana tidak terima.
"Belain aja terus, jelas-jelas mereka ninggalin kamu."
"Sudah-sudah! Ngobrolnya dilanjut lagi nanti, sekarang kita makan, nanti keburu dingin makanannya enggak enak," ucap Hari menengahi perdebatan antara putri dan istrinya yang terlihat seperti hampir mulai.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 171 Episodes
Comments
Liliek Retno Yuwanti
punya anak² cewek tu banyak lika-liku ceritanya...manis..pahit..getir
2023-10-15
0
Efvi Ulyaniek
asik nih cerita nya
2023-08-16
0
dementor
lanjut ya author sampe tamat.. ceritanya bagus.. semangat ya author..
2023-06-12
0