"Hasil tes darah dan urine-nya sudah keluar, dok," ucap seorang perawat sambil membawa lembar hasil tes, perawat dari laboratorium itu kemudian menyerahkan pada Ayana.
Sambil memasang senyum terbaiknya, Ayana menerima lembar kertas itu dan tak lupa mengucapkan terima kasih. Ia langsung berdiri dan membaca hasil tes itu dengan seksama, bukannya langsung menemui keluarga pasien, Ayana malah kembali duduk. Hal ini membuat dokter co-as yang tadinya sibuk mengerjakan rekam medis pasien, mendadak menoleh ke arah sang senior dengan tatapan heran.
"Kenapa, dok?" tanya dokter muda itu merasa bingung dengan gelagat tak biasa sang senior.
"Hasil HCG-nya positif," guman Ayana dengan wajah cemasnya.
Meski suara Ayana terdengar seperti gumaman, namun masih terdengar cukup jelas di indera pendengaran sang dokter co-as, karena jarak duduk mereka yang berdekatan, "tadi saya sempet curiga makanya minta dites HCG-nya sekalian. Eh, tahunya beneran positif."
Dokter muda itu mengerutkan dahinya bingung. Bukankah itu pertanda bagus? Lalu kenapa seniornya ini malah terlihat seperti orang yang merasakan kecemasan?
"Bukannya itu berita bagus? Kenapa dokter Yana terlihat cemas? Dokter kenal pasien tersebut?"
Ayana menggeleng dan langsung menoleh ke arah dokter co-as itu. "Ini hasil tes pasien di bed 6."
Baru kali ini dokter muda itu paham. Kedua matanya spontan membulat, bibirnya menganga lebar. Ekspresi terkejut terlihat jelas tidak bisa ia sembunyikan. Seingatnya tadi bed 6 ditempati pasien yang masih duduk di bangku sekolahan.
"Bukannya masih sekolah ya, dok? Tadi kayaknya ibu-nya bilang masih SMA deh."
Ayana mengangguk untuk membenarkan. "Masih kelas 2."
Dokter muda bername tag Dimas itu reflek membekap mulutnya sendiri dengan ekspresi tidak percaya. Meski hal ini sudah lumayan sering terjadi di masyarakat umum, tapi tetap saja Dimas merasa shock saat harus memberitahu pada keluarga secara langsung. Membayangkannya saja ia sudah merasa tidak sanggup dan bingung, bagaimana kalau sampai suatu saat ia sendiri yang akan mengatakan hal ini langsung kepada keluarga pasien seorang diri? Duh, Dimas tidak suka momen ini.
Ayana reflek terkekeh saat mendapati wajah shock sang junior. Ia kemudian kembali berdiri dan menepuk pundak Dimas. "Yuk, itu-nya tinggal dulu, dilanjut nanti aja, sekarang kita temui keluarga pasien dulu. Kasian udah nungguin lama."
"Saya ikut, dok?"
"Atau mau kamu sendiri?" tawar Ayana yang langsung dibalas gelengan tegas dari pria itu.
Dimas berdecak lalu ikut berdiri dan berjalan di sisi Ayana. "Sama dokter saja saya takut dan ngeri, gimana harus sendiri?"
"Loh, kenapa takut?"
"Enggak tega ngomong ke wali pasien, dok."
"Kamu ini calon dokter kan? Masa gini aja takut? Suatu saat nanti, meski itu nggak sering terjadi, kamu mungkin akan menemui momen seperti ini, atau mungkin yang lebih parah lagi."
"Dokter jangan nakut-nakutin saya deh." Dimas merengut kesal.
Ayana malah tertawa. "Bukan nakutin, cuma ngasih tahu, biar kamu lebih mempersiapkan diri lagi ke depannya. Kasus yang bakal kamu hadapi nantinya banyak, mulai dari yang paling nggak mengenakkan sampai bikin sedih kayak kemarin."
Dimas berdecak sambil memasukkan kedua tangannya pada saku snelli-nya. "Tapi saya belum siap, dok."
"Ya udah, kalau belum siap mending balik ke kampus lagi sana!"
"Iih, dokter Yana mah suka gitu."
"Ya gimana, namanya juga suka," kekeh Ayana sambil mengangkat kedua bahunya secara bersamaan. Ayana memang suka iseng dengan juniornya.
Dimas merengut sebentar. Ia langsung mengubah ekspresinya setelah berhadapan dengan pasien dan keluarga.
"Gimana, dok, apa hasilnya sudah keluar? Anak saya baik-baik saja kan?"
Ayana tersenyum kecil lalu mengangguk. "Hasil tes darah maupun tes urinenya sudah keluar, Bu. Hasilnya bagus," ucapnya sambil melihat ke arah lembar kertas yang ada di genggamannya, "tapi berhubung untuk hasil tes urine menunjukkan HCG-nya positif. Saya sarankan habis ini Ibu bawa putrinya ke dokter kandungan, kebetulan hari ini dokter Ambar, salah satu dokter kandungan di rumah sakit kami ada jadwal praktek pukul 10--"
Plak!
Tanpa Ayana duga, sebuah tamparan cukup keras mengenai pipinya. Reflek ia memegang pipinya yang mendadak perih.
"Astaga, dokter Yana tidak papa?" tanya Dimas panik. Ia terlihat tidak terima dengan perlakuan keluarga pasien dan ingin melayangkan aksi protesnya. Namun, ditahan Ayana. Ia menyuruh juniornya itu untuk tidak berbicara dan berbergerak mundur.
"Maksud anda apa?" seru ibu itu terlihat murka, "anda menunduh anak saya hamil begitu? Anda tidak lihat betapa polosnya anak saya? Bisa-bisanya anda menyuruh saya menemui dokter kandungan?" Ibu itu mendengus tidak percaya, "apa anda bilang? Positif? Anda ingin mempermalukan saya?"
Tarik napas panjang, hembuskan! rapal Ayana dalam hati. Oke, ia tidak boleh tersulut emosi.
"Mohon maaf, Ibu, dengan apa yang ibu lakukan terhadap saya barusan justru membuat anda malu sendiri," ucap Ayana sambil tersenyum ramah, pandangannya kemudian mengedar ke seluruh ruangan IGD. Tampak beberapa pasang mata tengah menatap mereka penuh dengan rasa penasaran.
Si ibu tampak malu. Dengan wajah judesnya, ia kemudian mengajak sang putri pergi. "Ayo, kita cari rumah sakit lain. Pelayanan di sini tidak memuaskan."
Ayana mengangguk dan mempersilahkan si Ibu untuk pergi. Di sampingnya, Dimas tampak menampilkan wajah tidak percayanya.
"Kok dokter biarin si ibu pergi gitu aja tanpa minta maaf ke dokter?"
"Buat?" Ayana terkekeh sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jas putih kebanggannya.
"Ibu tadi salah loh, dok. Bisa-bisanya dokter biarin si ibu pergi gitu aja? Kan dokter cuma menyampaikan hasil diagnosis, kenapa dokter Yana yang kena tampar, kan harusnya anaknya," gerutu Dimas terlihat benar-benar kesal, "lagian si ibu sok tahu banget sih?"
"Si ibu kaget tadi, Dim, bingung harus bereaksi gimana," jawab Ayana santai.
"Terus harus gitu nampar dokter Yana?"
Ayana menggeleng. "Ya, sebenernya nggak harus. Tapi sekarang saya tanya sama kamu, kamu kalau semisal lagi shock denger berita yang menurutmu nggak bisa kamu percaya. Masih bisa mikir jernih gitu?"
Diam menunduk dengan ekspresi masamnya.
"Susah kan?" tebak Ayana, "nah, begitu juga ibu tadi. Dia kaget sekaligus shock denger anaknya dikira sakit malah didiagnosis hamil di luar nikah. Mana masih SMA lagi. Jelas si ibu kaget dan nggak percaya, karena kalau saya perhatikan kayaknya si anak tipe yang di rumah anak baik-baik tapi nekat di pergaulan." Ia mengajak Dimas untuk kembali, "udah lah, kamu sebagai calon dokter jangan baperan ya, jangan apa-apa dimasukkan ke hati. Sana lanjut kerjain tugas kamu," perintahnya kemudian.
"Baik, dok."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 171 Episodes
Comments
soñar
jujur agak kesel dikit
2024-01-06
0
kookv
beda generasi beda ujiannya....
2023-06-23
0
dementor
anak2 sekolah memang seperti itu.. kalem kalau dirumah,kalo dollar rumah kelakuannya kayak setan alas.. diem2 bunting duluan..
2023-06-12
0