______________________________________
"Sorry, telat, macet."
Ayana langsung mencibir pria yang baru masuk ke dalam IGD, seraya melepas stestoskop yang tadi melingkar pada lehernya dan menggantungkannya di tempat biasa.
"Lagu lama, lo telat hampir 15 menit lebih. Dan selama itu gue udah tanganin 2 pasien. Lo tuh, lama-lama ngelunjak tahu. Telat mulu perasaan," gerutu Ayana sambil melepas snelli-nya dan menyampirkan pada lengan kiri.
"Ya, gimana beneran macet, Na. Pasien di rumah juga nanggung, kalau banyak sekalian gue nggak terlalu sungkan buat nolak mereka, karena jelas nggak bakal sanggup gue tanganin semua. Tapi kalau satu dua kan susah, Na, gue nggak enak nolaknya. Jadi ya gue tanganin dulu lah sebelum berangkat. But, thanks, ya. Dan sorry banget," sesal Yogi benar-benar merasa tidak enak.
Ayana hanya mampu memasang wajah cemberut dan mengangguk pasrah. Kalau mendengar jawaban begitu, ia bisa apa? Marah-marah pun percuma.
"Ya udah, kalau gitu gue langsung cabut ya," pamit Ayana kemudian.
"Oke, thanks ya, sekali lagi."
Ayana hanya membalasnya dengan acungan jempol.
"Hati-hati nyetirnya!"
Kali ini Ayana berbalik sambil tersenyum. "Gue nggak bawa mobil."
Yogi kemudian berlari kecil untuk menyusul Ayana, kebetulan belum ada pasien yang perlu pria itu tangani. "Lah, terus lo baliknya gimana? Mau pake mobil gue dulu, besok gue ambil di tempat lo," tawarnya kemudian. Ia lalu merogoh kantong celana dan mengeluarkan kunci mobilnya dari dalam sana.
Ayana tersenyum sembari menggeleng. "Enggak usah, thanks," tolaknya halus, "Duluan ya, good luck! Selamat bertugas, dokter Yogi."
"Terima kasih dokter Yana." Yogi kemudian terkekeh, "dijemput cowok lo? Balikan nih?" godanya kemudian.
"Enggak--" Ayana menghentikan kalimatnya dan merogoh tasnya saat merasakan getaran dari dalam sana, "eh, sorry, gue angkat telfon dulu, ya."
Yogi mengangguk paham dan pamit undur diri. "Iya, santai. Gue juga mau balik ke sana, lo hati-hati pulangnya," ucapnya sambil menepuk pundak Ayana pelan.
Ayana mengacungkan jarinya membentuk huruf O, lalu menjawab panggilan nomor yang tidak dikenal.
"Ya, halo, ini siapa ya?"
"Saga."
Reflek Ayana langsung menegakkan tubuhnya saat mendengar nama itu. "Oh, dokter Saga. Ada apa ya, dok? Ada yang bisa saya bantu?"
"Di mana?" Bukannya menjawab Saga malah balik bertanya.
"Masih di IGD. Tapi udah mau pulang kok, dok."
"Saya sudah di tempat parkir. Kamu bisa langsung ke sini."
"Enggak, dok, saya pulang sendiri. Dokter Saga tidak perlu repot-repot nganter saya, saya--"
"Ada yang mau saya omongin," potong Saga membuat Ayana langsung terdiam.
"Soal?" tanyanya kemudian.
"Saya tunggu di tempat parkir," ucap Saga sebelum mematikan sambungan telfon begitu saja.
Ayana tercengang. Pandangannya menatap lurus ke arah ponsel. Ia tidak menyangka kalau pria itu akan mematikan sambungan telfon secara sepihak seperti barusan. Shock jelas ia rasakan. Kelakuan begini tapi bisa jadi dokter dan dosen? Yakin nggak nyogok nih dulunya?
"Mau ngomongin apa?" tanya Ayana begitu masuk ke dalam mobil.
Persetan dengan sopan santun dan tata krama. Ayana sudah tidak peduli. Menurutnya pria sejenis Saga tidak perlu ia perlakukan dengan sopan.
Saga tidak menjawab, ia hanya melirik gadis itu sekilas lalu menyuruh Agus menjalankan mobilnya. Bisa dibilang pria itu mengabaikan pertanyaan Ayana.
Ayana makin dibuat jengkel olehnya. Gadis itu paling tidak suka diabaikan. Dan lagi-lagi kini ia diabaikan? Bolehkah ia menjambak rambut pria ini untuk meluapkan kekesalannya?
Tolong katakan iya agar Ayana tidak merasa bersalah saat melakukannya.
Selama beberapa saat suasana masih hening, tidak ada yang memulai pembicaraan. Sampai akhirnya Ayana mulai kehilangan kesabarannya.
"Dokter Saga!" panggilnya terdengar tidak sabaran.
"Nama saja."
Kening Ayana mengkerut heran. Ini orang kenapa kalau ngomong suka setengah-setengah sih? Batinnya kesal.
"Maksudnya?"
"Panggilnya."
"Ya, mana bisa?" balas Ayana tidak setuju.
"Kenapa tidak?"
Ayana memutar kedua bola mata malas. "Ya, umur anda jelas jauh di atas saya. Mana mungkin saya panggil nama, itu namanya enggak sopan."
Eh, tapi kan menurutnya pria sejenis Saga tidak masalah kalau tidak diperlakukan dengan sopan. Lalu kenapa ia harus peduli dengan sopan santun? Aneh.
"Saya seumuran Tama."
Ayana tidak dapat menahan keterkejutannya saat mendengar nama sang Abang disebut-sebut. Rasa curiga tiba-tiba hadir tanpa bisa dicegah.
"Dokter Saga kenal Abang saya?"
Dengan wajah datarnya, pria itu mengangguk sebagai tanda jawaban.
"Kok bisa? Kenal di mana?" tanya Ayana shock.
"Sekolah," balas Saga lagi-lagi singkat.
Masih sedikit shock, Ayana mengangkat telapak tangannya. "Bentar, tunggu sebentar, dokter Saga bukan temennya yang mau dikenalin ke saya kan?"
Dalam hati Ayana berharap agar Saga tidak mengenalinya. Namun, ternyata tidak sesuai harapan dan doa Ayana, Saga mengangguk dan membenarkan. Lalu dengan santainya dia bertanya, "Mau atau tidak?"
"Apanya?"
"Sama saya."
Ayana mengerutkan dahi bingung. "Ngapain?" tanyanya heran.
Bukannya kalau pulang, ini mereka lagi pulang bareng.
"Menjalin hubungan," ucap Saga tanpa beban.
"To the point banget," guman Ayana pelan.
"Saya kurang suka basa-basi," balas Saga kembali membuat Ayana semakin tercengang.
Ayana merasa kehilangan kata-kata untuk membalas. Dilirik Saga ragu-ragu. Sebenarnya ia merasa sedikit tergiur, secara penampilan maupun financial, keduanya sama-sama terjamin. Tapi secara kepribadian Ayana kurang suka. Menurutnya Saga terlalu kaku dan kurang asik. Mana tahan ia dengan pria model begini?
"Dokter Saga tertarik sama saya?"
Saga mengangguk namun tidak mengiyakan. "Kamu menarik."
Ayana merasa itu bukan jawaban yang ia inginkan.
"Anda tidak tertarik secara pribadi dengan saya dan hanya disuruh Abang saya? Begitu?" tanyanya memastikan.
"Mama kamu lebih tepatnya," koreksi Saga yang membuat Ayana ingin sekali memutar kedua bola matanya malas.
"Dan anda nurut gitu aja?" seru Ayana dengan nada tidak percaya.
"Saya hanya mencoba."
Ayana semakin tercengang dengan jawaban yang diberikan pria itu. Ia tidak mampu berkata-kata setelahnya. Yang dilakukan hanya menghela napas panjang dan mengalihkan pandangan pada luar jendela. ia terlalu speechless.
"Jadi, mau atau tidak?"
Ayana berdecak kesal. "Anda berani bertanya demikian?"
Dengan wajah polos bak tak punya dosa, Saga langsung mengangguk untuk mengiyakan. Namun, tetap saja tanpa mengeluarkan suara.
"Tahu lah, dok, saya bingung mau jawabnya."
"Bukankah sudah jelas?"
"Ya itu menurut dokter Saga."
"Kan jawabannya tinggal iya atau tidak."
Ayana memilih diam dan mengabaikan pria itu. Bodo amat, ia tidak peduli. Daripada terus-terusan mengobrol dengan pria ini yang membuatnya naik darah, lebih baik ia diam. Kesabarannya terlalu tipis untuk meladeni pertanyaan pria itu. Daripada makin tersulut lebih baik ia diam.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 170 Episodes
Comments
Efvi Ulyaniek
suka bagus... penulisan jg bagus...bahasa mudah dipahami...blm ketemu typo lho ga kaleng"nulisnya
2023-08-16
0
dementor
lama2 bisa tersulut esmosi,emosi gara2 saga..
2023-06-12
0
cha
atas nama di minta mama ...padahal emang udah cinta
2023-06-05
1