Ayana mempercepat langkah kakinya saat mendengar suara blender dari dapur. Ekspresinya berubah masam saat ia sampai di sana dan menemukan Tama yang ada di sana. Decakan kesal terdengar tak lama setelahnya dan itu keluar dari mulutnya.
"Morning," sapa Tama sambil menuang jus alpukatnya ke dalam gelas.
Ayana hanya mampu memutar kedua bola mata malas dan bukannya membalas sapaan sang Abang. Selain karena masih marah, ia juga tersinggung dengan sindiran sang Abang. Sekarang sudah siang dan Tama menyindirnya dengan sapaan selamat pagi. Tentu saja Ayana malas membalas. Mencoba mengabaikannya ia kemudian menarik kursi yang ada di depan meja bar dapur dan duduk di sana.
"Ngapain lo ke sini? Enggak kerja?" tanya Ayana dengan nada ketusnya. Ia dan Tama memang sedang tidak begitu akur setelah ia tahu kalau Tama ikut campur menjodohkan dirinya dengan Saga. Tama jelas sudah tahu kalau dirinya masih enggan menjalin hubungan tapi masih aja mau dijodohin, jelas saja Ayana kesal.
"Kerja dong, kebetulan abis ketemu sama klien deket sini terus mampir deh." Tama kemudian meletakkan segelas jus alpukat di hadapan Ayana, "nih, gue bikinin jus alpukat kesukaan lo. Silahkan diminum adekku tersayang."
Ayana langsung mencibir saat mendengar nada Tama yang dibuat selembut dan semanis mungkin hanya demi meluluhkan hatinya. Meski demikian ia tetap mau meminumnya.
"Thanks, tapi jangan lo pikir lo bisa nyogok gue pake ini ya, Bang. Gue tetep masih marah sama lo."
Tama berdecak dengan wajah frustasinya. Ia sudah kehilangan akal untuk membujuk Ayana dan sekarang ia makin bingung harus ngapain. "Ya ampun, Na, kan gue udah bilang ke lo berkali-kali, kalau gue juga dipaksa Mama," ucapnya bersungguh- sungguh, "sumpah demi Tuhan, demi Allah, gue nggak ada niat serius buat jodohin kalian. Kan lo sendiri kemarin udah nolak, ya kali gue paksa-paksa lo? Enggak mungkin kan?" imbuhnya kemudian.
Ayana langsung menatap Tama tajam setelah meletakkan gelas kosongnya.
"Mau nambah?" tawar Tama sambil menyodorkan selembar tisu untuknya. Meski lagi-lagi masih dengan wajah dinginnya, Ayana tetap menerima tisu yang Tama sodorkan.
Ayana menggeleng. "Tapi tetep aja intinya lo bersekongkol dengan Mama buat deketin gue sama dia, Bang. Itu masalahnya. Kalau lo nggak ikut campur, Mama nggak bakal sengebet ini supaya gue sama temen lo itu deket. Ngerti?!"
Tama berdecak frustasi. Ia sudah kehilangan akal untuk membujuk sang adik. "Iya, gimana gue dipaksa, Na. Lagian Saga bukan kandidat buruk, harusnya lo beruntung karena gue kenalin lo ke dia." Ia berpikir sejenak sambil mengangkat sebelah tangannya, mencegah Ayana agar tidak berbicara lebih dahulu, "eh, bentar, tapi kan gue nggak ngenalin kalian secara langsung, Na. Gue cuma bilang ke Saga kalau gue punya adek yang single, kalau dia tertarik Mama bakal bantu urus, dan emang setelahnya semua Mama dan Saga sendiri yang ngurus dong? Gue nggak ikut campur dan harusnya lo nggak semarah ini lah sama gue. Iya dong?"
"Ya, mana bisa. Semua salah lo, kalau lo nggak temenan sama dia, Mama nggak bakal punya akses lebih buat jodohin gue sama dia, Bang. Ngerti nggak sih lo?"
Tama langsung menggeleng cepat. "Enggak, gue nggak ngerti sama sekali sama isi otak lo. Gue sama Mama tuh, cuma mau yang terbaik buat lo. Dan menurut kita Saga itu termasuk yang terbaik di antara yang baik, husband material banget lho, Na. Tampan, mapan, dewasa, nggak neko-neko, tajir, dokter, dosen. Apa lagi tuh, banyak deh pokoknya, gue jamin masa depan lo bakal terjamin kalau lo jadi sama dia." Tama mengangguk sambil mengacungkan jempolnya, "Percaya sama gue. Abang satu-satu lo cuma gue, kalau lo nggak percaya sama gue mau percaya sama siapa lo?"
Ayana meneguk jusnya kembali dan melirik Tama. "Percaya sama Tuhan, Bang."
Tama manggut-manggut dengan malas. "Iya, maksud gue selain percaya sama Tuhan, lo bisa percaya sama gue, Na. Gue Abang lo, bukan orang asing. Gue sayang sama lo, nggak mungkin kan gue kenalin cowok sembarang ke lo?"
Ayana memilih diam dengan wajah menoleh ke sembarang arah. "Tapi gue nggak bisa sama dia, Bang," ucapnya tak lama setelahnya.
"Kenapa? Emang salah Saga apa? Dia baik banget loh, Na, apalagi ke lo dulu, lo juga dulu suka nempel loh sama Saga. Lo nggak inget?"
"Gue?"
Ayana menunjuk dirinya sendiri dengan ekspresi tidak percaya. Terkejut dengan pernyataan Tama. Ia tidak pernah merasa pernah mengenal pria itu di masa lalu, pertemuan pertamanya dengan Saga ya saat ia mengantarkan kue bolu bikinan sang Mama. Sebelum itu, ia bahkan belum pernah bertemu atau merasa kenal. Lalu kenapa Tama menyebut dirinya pernah suka nempel pada pria itu. Bukankah itu tidak masuk akal? Apa Tama sedang mengarang cerita?
"Sama temen lo yang pelit ngomong dan ekspresi itu?" Ayana mendesis tidak percaya sambil menyilangkan kedua tangannya tidak percaya, merasa lucu dengan ucapan Tama, "bercanda lo, Bang?"
Namun, dengan ekspresi seriusnya Tama menggeleng. Pria itu ikut-ikutan menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Bedanya ekspresi Tama terlihat penuh keyakinan, sedangkan Ayana justru sebaliknya.
"Lo hafal banget gue kalau serius gimana kan, Na?"
"Tapi..." Ayana kehilangan kata-kata, "tapi kok bisa?"
"Ya, kan gue sama Saga kenal sejak masih SD, dulu dia tinggal sekomplek sama kita, Na, sebelum pindah ke sini. Masih kecil banget sih lo dulu dan lo nempel banget sama Saga, tiap dia mau pulang lo pasti nangis-nangis dan nggak ngebolehin dia balik. Nah, ini salah satu alasan gue kepikiran buat kenalin kalian. Siapa tahu kalian emang jodoh."
"Ya, itu kan dulu, Bang, gue masih kecil belum ngerti apa-apa. Sekarang gue udah gede dan gue nggak mau sama dia. Udah itu intinya."
Tama menyipitkan mata curiga. "Emang kenapa sama Saga yang sekarang? Dia masih oke tuh meski usia dah nggak muda lagi, malah okean sekarang ketimbang dulu, Na."
"Ya gue mana inget dia yang dulu kayak apa. Pokoknya temen lo yang sekarang bukan tipe gue banget."
Tama menatap Ayana serius. Sebelah tangannya ia gunakan untuk menopang dagunya. "Karena dia keliatan cuek dan irit ngomong?" tebaknya kemudian.
"Iya. Tipe-tipe yang gituan tuh bukan gaya gue banget, Bang, lo ngerti kan maksud gue?"
Pria di hadapan Ayana itu langsung menegakkan tubuh sambil menggeleng kepala. "Gue nggak ngerti tuh. Na, gue kasih tahu, jodoh kita itu terkadang justru malahan yang bukan tipe kita loh. Lo tahu kenapa?"
"Karena Tuhan tahu apa yang lebih kita butuhkan daripada kita inginkan," balas Ayana dengan ekspresi malasnya.
Tama langsung menjentikkan jarinya. "Tuh, tahu. Ya kali aja Saga itu emang jodoh lo, siapa yang tahu. Katanya kalau belum mencoba kita tidak akan pernah tahu hasilnya. Jadi, ya udah coba aja dulu. Kali aja jodoh."
Ayana berdecak. "Lo kenapa ngebet banget sih pengen gue sama temen lo itu, Bang? Disogok apaan lo sama dia?" selidiknya penuh dengan kecurigaan.
"Na, lo itu berharga buat gue, ya kali gue gitu, enggak lah. Nih, gue kasih tahu ya, Saga itu emang keliatannya cuek dan irit ngomong, tapi aslinya..."
"Aslinya?"
Tama menyengir. "Baik." Ia garuk-garuk kepala salah tingkah.
"Baik dalam artian apa?" desak Ayana tak sabaran.
"Na, lo jangan gini deh sama gue. Gue tadi abis ketemu klien, konsep yang tim gue ajuin ditolak mentah-mentah sama klien. Ini gue nanti harus lembur loh buat revisi total konsepnya, panas kepala gue rasanya, hibur gue kek, jangan nambahin mumet. Bisa dong?"
Ayana menatap sinis ke arah Tama dan langsung berdiri. "Ya, itu urusan lo, salah lo sendiri, udah tahu ada revisian konsep yang harus lo bahas sama tim lo, lo-nya malah ngelayap. Pake acara nyalahin gue lagi," gerutunya tidak terima, "balik ke kantor lo, jangan mentang-mentang bos, jadi lo bisa seenaknya sendiri gini dong, Bang. Yang tanggung jawab lah, jangan malu-maluin Papa."
"Ya, rencana gue emang gitu, abis ini langsung balik ke kantor. Tapi gue belum mau balik sebelum lo kabulin permintaan gue."
Ayana mengangkat kedua bahunya acuh tak acuh seraya mengupas buah apel. Ia tidak peduli.
"Na, lo jangan gitu lah."
"Terserah. Lakukan apapun yang lo suka, Bang. Gue nggak peduli."
"Lo nggak peduli juga sama Mama?"
Decakan kesal dan detingan pisau membentur piring terdengar tak lama setelahnya. Diikuti tatapan tajam milik Ayana yang tengah menatap Tama.
"Gue nggak bilang gitu ya, Bang."
"Ya, makanya lakuin ini demi Mama, Na. Jangan demi gue atau Saga, tapi demi Mama. Lo nggak mau--"
"Ya oke," potong Ayana geram, "mau lo apa?"
"4 kali ngedate bareng Saga dalam waktu sebulan. Kalau dalam 4 kali dia nggak bikin lo ngerasain something like, you know lah, ya pokoknya yang begitu-begitu dan sejenisnya." Tama langsung mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi, "gue nyerah. Gue nggak bakal kenalin lo ke temen-temen gue lagi. Gue janji."
"What?! 4 kali itu banyak, Bang. Lo serius pengen gue ngedate sama dia sebanyak itu dalam waktu sebulan?"
"Yes." Tama langsung mengangguk yakin sambil mencomot potongan apel yang selesai Ayana kupas.
"Are you kidding me?"
"Of course not."
Ayana terlihat berpikir serius. Mencari cara agar ia bisa keluar dari situasi ini, tapi sepertinya sulit baginya.
"Gue yang nentuin date-nya?"
"Kalau masalah itu harus dibagi sama rata dong, Na. Dua sama. Harus adil. Kalau lo mau, gue bakal beliin tas yang kemarin lo incer. Karena gue baik gue kasih bonus sepatu. Bebas lo bisa pilih sendiri. Deal?"
Sialan. Ayana mengumpat keras dalam hati. Tama paling tahu kelemahannya. Ia mana tahan kalau dikasih godaan beginian? Maka dari itu yang ia langsung mengangguk pasrah sambil menyodorkan tangannya.
"Ya udah oke, date yang nentuin gantian."
Tama langsung tersenyum puas dan memeluk Ayana. "Thank you, adekku sayang." Tak lupa ia memberikan kecupan ringan pada pucuk kepala sang adik semata wayang, "kalau gitu gue cabut ya. Nanti tasnya langsung gue kirim ke sini. Masih yang kemarin itu kan?"
Ayana mengangguk dengan ekspresi menahan senang.
"Oke, tapi itu sekalian buat kado pas ultah lo, ya, jadi nanti pas lo ultah jangan nagih kado lagi. Bye!"
What?!
Ternyata oh ternyata.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 171 Episodes
Comments
chika anaya
abangnya asik ya..
2024-01-30
0
Anisa 977
sip, bener itu🤭
2023-09-20
0
Anisa 977
bener itu bang tama saya ngerasain sendiri.
2023-09-20
0