"Yana! Bangun kamu! Jangan molor terus! Udah jam sepuluh ini."
Ayana berdecak kesal saat mendengar teriakan sang Mama. Bukannya bangun, ia malah menutup kedua telinganya menggunakan bantal, agar tidurnya tidak diusik lebih jauh lagi.
"Astaga, punya anak gadis satu pemalasnya minta ampun. Di luar sana ada nggak sih jasa yang bisa tukar tambah ganti anak, kalau ada Mama pengen banget ganti anak aja deh. Bosen tahu Mama lihat kelakuan kamu tiap hari begini," gerutu Kartika sambil membuka gorden kamar Ayana, "pulang tengah malem lah, pulang pagi lah. Duh, capek Mama lihatnya, Na."
"Tuh, lihat anaknya Ibu Mayang, berangkat pagi, pulang sore tahu-tahu dilamar. Nggak pernah bawa cowok ke rumah padahal, nggak pernah juga pulang malem. Beda banget sama kamu, bawa pulang cowok terus tapi nggak pernah ada yang ngelamar. Kamu itu sebenernya bisa nggak sih cari pacar? Kalau nggak bisa bilang, Na, biar dicariin sama Papa-mu atau nggak Abangmu. Atau kalau perlu Mama sendiri yang turun tangan buat cariin kamu suami?"
Kesal tidak dihiraukan, Kartika langsung memukul pantat Ayana dengan keras. Dan tentu saja hal ini sukses membuat perempuan itu menjerit kesakitan.
"Mama, iiih, nggak bisa banget lihat anaknya istirahat apa gimana sih? Sakit tau!" protes Ayana kesal.
Emosinya sampai di ubun-ubun. Semalam IGD penuh, alhasil susah untuknya mencuri waktu tidur dan sekarang kesempatan yang bagus untuknya beristirahat, tapi dengan seenaknya sang Mama malah mengacaukan jam istirahatnya. Sungguh menyebalkan.
"Udah siang, Na, bangun! Kamu nggak capek apa tidur terus?" omel Kartika sambil memukul pantat putri bungsunya sekali lagi.
"Astagfirullah, Ma, aku baru aja tidur tadi jam setengah delapan, kan aku abis jaga malam, wajar dong kalau aku bangunnya ntaran. Yang nggak wajar itu kalau Mama udah bangunin aku."
"Kalau kelakuan kamu begini terus-terusan gimana kamu bisa kasih Mama mantu dan juga cucu?" Kartika mendesah lalu duduk di tepi ranjang Ayana, "kamu tadi dengerin Mama ngomong nggak sih?"
"Yang mana?" Ayana masih terlihat mengantuk dan seperti bersiap kembali masuk ke dalam mimpi, namun, gagal karena Kartika kembali menepuknya.
"Astaga, punya anak gadis kerjaannya kalau di rumah kalau nggak makan ya tidur doang, jangan tidur dulu, Na!" omel Kartika, "itu loh, tadi Mama cerita kalau anaknya Ibu Mayang udah dilamar. Kamu kapan sih dilamar?"
Ayana mengucek kedua matanya yang masih mengantuk sambil mengingat siapa itu Ibu Mayang yang Mama-nya maksud. "Yang mana orangnya sih, Ma?" tanyanya menyerah saat ia tidak berhasil mengingat.
"Itu loh, yang rumahnya paling ujung, deket rumah Pak RT, Na."
Ayana ber'oh'ria sambil mengangguk paham, saat bayangan yang Mama-nya maksud sudah terbayang di otaknya.
"Pras? Maksud Mama?"
"Mama bilang dilamar, Na, bukan ngelamar. Ya kali Pras dilamar? Kamu ini ada-ada aja," omel Kartika sambil menepuk paha Ayana, "lagian Pras kan udah nikah akhir tahun kemarin, Na, bahkan anaknya udah lahir. Kan kemarin kita udah dapet gulai kambingnya, itu loh yang kamu makan kemarin masa lupa."
Ayana menghitung jarinya secara reflek, menghitung usia pernikahan mereka. "Lah, nikah akhir tahun kemarin tapi ini udah lahir? Lahir prematur apa gimana, Ma?"
"Normal. Ya, denger-denger emang pas resepsi kemarin udah hamil 3 bulan. Tahu sendiri kan kemarin nikahnya mendadak, tahu-tahu lamaran, tahu-tahu nikah, terus tahu-tahu anaknya lahir. Kita bantu doa aja, Na, biar nanti nggak tahu-tahu cerai aja."
"Astagfirullah, Mama, iiih, mulutnya pagi-pagi udah julid aja."
"Iiiih, julid apaan? Mama doain yang baik-baik loh, Na. Kamu itu kali yang julid," sahut Kartika tidak terima.
"Lah, kenapa jadi aku?"
"Ya, soalnya Perempuan selalu benar, dan ibu selalu benar. Udah jelas dong Mama yang benar?"
"Iya, terserah Mama deh, aku mau tidur lagi. Plis, jangan gangguin aku istirahat bisa dong, Ma?"
Mama-nya ini memang punya kebiasaan kalau ia sedang tidak ada shift pagi pasti selalu digangguin. Heran, kalau bosan kan bisa main ke rumah tetangga kenapa harus gangguin anaknya sih? Batin Ayana tidak habis pikir.
"Enggak bisa."
"Ma, anaknya kecapekan loh abis ngurusin pasien semalaman masa jam istirahat malah digangguin? Enggak kasian emang? Nanti kalau anak gadisnya sakit gimana?"
"Enggak usah khawatir, anak gadis Mama kan dokter dan tahan banting dari segala penyakit."
Kantuk Ayana benar-benar nyaris lenyap. "Ma, dokter juga manusia kali, bisa sakit juga."
"Iya, Mama tahu, tapi kan kamu nggak gampang sakit, Na, jadi ngapain Mama khawatir? Mending Mama kasih tahu gosip baru deh, eh, bukan gosip deh, Na, ini fakta kok, kalau rumah kosong yang di depan rumah kita sekarang udah ada yang nempati loh," ucap Kartika tiba-tiba.
"Bagus tuh, Mama jadi punya temen yang buat diajak ngegosip kan?"
"Enggak bisa, Na."
"Kenapa nggak bisa? Nggak suka ngegosip kayak Mama ya? Lebih bagus lagi tuh, biar Mama tobat."
Merasa kesal dengan ucapan yang putri, Kartika langsung memukul Ayana. "Sembarangan! Orang tetangga kita itu cowok, belum berkeluarga dan yang paling penting ganteng, Na. Mama udah ngintip tadi, ya ampun Mama mau deh mantu kayak dia. Keliatannya kalem dan dewasa banget, Na. Mama rasa kamu butuh suami yang modelan kayak tetangga baru kita deh."
"Dih, apaan sih Mama ngintip-ngintip bintitan ntar baru tahu rasa."
"Sembarangan kamu sama Mama-nya sendiri kok nyumpahin gitu. Nggak sopan banget, disekolahin mahal-mahal juga."
"Ya abis Mama ngeselin gitu, anaknya mau istirahat tapi malah digangguin terus."
Mendesah pasrah Kartika kemudian bangkit berdiri. "Ya udah, tidur lagi kamu, nanti mau dibangunin jam berapa?"
"Aku pasang alarm," balas Ayana dengan nada malas. Ia paling malas kalau dibangunkan sang Mama. Karena saat ia pesan ingin dibangunkan jam 12, maka dari jam 11 ia pasti sudah dibangunkan. Jelas saja ia tidak suka.
Kartika mengangguk paham dan bergegas keluar dari kamar Ayana. Belum sampai ia menutup pintu, tiba-tiba ia masuk ke dalam kamar lagi.
"Na," panggil Kartika sambil menggoyangkan lengan Ayana.
"Apa lagi sih, Ma?" decak Ayana sebal, matanya barusan sudah terasa kembali memberat dan siap masuk ke dalam mimpi. Tapi kenapa sang Mama malah kembali merecoki?
"Mama mau ngintip tetangga baru kita lagi loh, yakin kamu nggak mau ikutan?"
"ASTAGFIRULLAH, MAMA!!"
______________________________________
Tin Tin
Ayana terpaksa membunyikan klaskonnya karena malas turun dan harus membuka gerbang sendiri. Beruntung tak lama setelahnya Sari, asisten rumah tangga mereka keluar dari rumah dan segera membukakan pintu gerbang. Ayana tersenyum tipis saat menyapa sang ART-nya, tak lupa ia mengucapkan terima kasih setelahnya. Sambil menyampirkan jas putihnya, ia kemudian turun dari mobil.
"Papa nggak ngantor ya, Mbak? Tumben Mas Joko belum keluarin mobil?" tanya Ayana sambil menutup pintu mobil.
"Joko lagi ke belakang, Mbak, lagi di kamar mandi. Kayaknya sih keburu kebelet makanya belum sempet keluarin mobil."
Ayana manggut-manggut sambil ber'oh'ria. Ia kemudian pamit pada ART-nya dan masuk ke dalam rumah.
Bukannya langsung ke kamar untuk mandi atau sekedar membersihkan diri, Ayana malah melipir ke ruang makan. Perutnya meronta ingin diisi.
"Pagi, Pa," sapa Ayana pada sang Papa yang nampak sibuk dengan koran beritanya.
Hari membalas sapaan sang putri lalu melipat korannya. "Perasaan Papa lama banget nggak lihat kamu, Na?" tanyanya sambil meraih cangkir kopinya.
Ayana meringis. Dalam hati ia membenarkan ucapan sang Papa, ia sendiri juga merasakan hal demikian.
"Ngelayap mulu sih," sambar Kartika dengan wajah juteknya. Ia kemudian meletakkan sepiring roti panggang di hadapan sang suami, "punya anak gadis kok rasanya kayak nggak punya anak."
Ayana merengut sambil beristigfar. Mamanya kalau sedang mode nyinyir memang semenyebalkan ini. Tangannya kemudian berniat mengambil piring, tapi malah dipukul Kartika.
"Mau ngapain kamu?" tanya Kartika galak.
"Sarapan."
"Baru pulang juga masa mau langsung makan. Cuci tangan dulu kek minimal." Kartika berdecak, "kamu itu udah gede, udah tua, dokter lagi, masa kayak ginian aja perlu diingetin Mama? Gimana kamu mau ngatur suami dan anak kamu nantinya kalau hal sepele gini aja masih Mama juga yang ingetin?"
Hari kemudian langsung mengkode sang putri agar segera meletakkan piringnya kembali.
Pasrah. Ayana kemudian meletakkan piringnya dan bergerak menuju wastafel untuk mencuci tangan.
Suara Kartika kembali terdengar. "Kenapa nggak sekalian mandi sih?"
"Nanti, Ma."
"Kenapa nanti kalau bisa sekarang?"
Ayana tidak mau kalah. "Ya, kenapa harus sekarang kalau bisa nanti?"
"Masih bisa ngejawab?" Kartika hampir terlihat seperti kehilangan kata-katanya.
"Ma, sudah, mungkin Yana udah keburu laper makanya mau makan dulu baru mandi. Udah lah, biarin aja kenapa sih? Putrimu kan baru pulang kerja, habis ngurusin pasien semalaman. Capek, Ma, jangan kamu tambah-tambahin, kasian," ucap Hari mencoba menengahi.
"Belain aja terus, mentang-mentang anaknya sendiri," gerutu Kartika.
"Loh, kalau nggak mau belain anak sendiri, emang mau ngebelain anak siapa lagi?"
Itu suara Ayana jelas. Hari mana berani bilang begitu kepada istrinya. Kalau kata Ayana sih, Papanya ini tipekal suami yang takut istri.
"Na, sudah," ucap Hari memperingatkan sang putri, "kalau laper langsung sarapan. Berantemnya diskip dulu, nunggu Papa berangkat ngantor."
"Iya, Pa," ucap Ayana pasrah.
"Na, gimana tadi kamu udah lihat tetangga baru kita?"
Seperti ibu pada umumnya, sekesal-kesanya mereka pada sang anak biasanya memang cepat lupa.
Sambil mengunyah nasi gorengnya Ayana menggeleng.
"Tadi belum lihat?"
"Belum kalau orangnya, baru mobilnya doang. Bagus sih, Ma, bukan orang sembarangan kayaknya."
Kartika mengangguk semangat. "Iya, dokter juga, Na. Tapi udah spesialis. Denger-denger emang belum punya calon loh, Na."
Ayana memelankan kunyahannya dan menatap sang Mama dengan tatapan herannya. "Mama tahu dari mana?"
"Tadi pas Mama sama Sari pergi beli sayuran di depan, ibu-ibu komplek pada ngomongin. Duh, Mama jadi pengen jodohin sama kamu deh, Na."
"Mama jangan mulai lagi deh," keluh Ayana dengan wajah kesalnya.
"Loh, Mama bahkan belum mulai, Na. Mama yakin kamu juga bakal suka kok, orang ganteng, tipe kamu banget."
Ayana kemudian menoleh ke arah Hari. "Pa, istrinya itu loh."
Hari terkekeh geli. "Mama-mu cuma bercanda, Na, jangan dianggep serius. Papa udah selesai sarapannya, mau berangkat dulu." Ia kemudian menyodorkan tangan kanannya pada sang putri. Dengan sigap Ayana langsung mencium punggung tangan sang Papa.
"Hati-hati, Pa!"
"Iya, kamu jangan terus-terusan bikin pusing istri Papa ya, Na. Papa sampai ikut pusing loh tiap pulang dengerin keluhan Mama tentang kamu terus," pesan Hari sebelum meninggalkan ruang makan.
Ayana hanya merengut saat mendengar candaan sang Papa, lalu kembali melanjutkan sarapannya.
"Na, barusan Mama lihat tetangga baru kita lagi," cerita Kartika setelah kembali dari mengantar suami sampai teras depan.
"Terus?" tanya Ayana pura-pura tertarik.
"Ternyata pas pake stelan kerjanya, gantengnya bertambah kali lipat." Kartika kemudian terkikik geli, "ganteng, dokter spesialis, udah punya rumah sendiri, kalem dan berwibawa. Yakin nggak mau jadiin dia mantu Mama, Na?"
Ayana mengerutkan dahinya heran. Emang seganteng apa sih tetangganya itu sampai Mamanya bersikap seberlebihan ini? Batinnya bertanya-tanya
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 171 Episodes
Comments
Liliek Retno Yuwanti
emak saya dulu juga gitu..tiap pulang arisan bawa foto cowok..nggak cuma 1,
kadang bawa 3 foto cowok..la wong sohibnya punya kost²an cowok
2023-10-15
0
Adinda Ramadhanti
jngan 2 dokter randu nih
2023-10-04
0
kookv
jangan2 tetangganya temen abangnya si Nana...
2023-06-23
0