"Pak, tupperware punya-nya Ibu Tika sudah selesai saya cuci."
Saga hanya mengangguk saat mengiyakan ucapan sang ART, pandangannya tetap terfokus pada layar laptop. Ia baru menoleh saat masih merasakan keberadaan Darti di belakangnya. Sebelah alis pria itu terangkat tinggi saat kedua pasang mata mereka saling bertatapan.
"Anu... Pak, Bapak nggak mau segera balikin Tupperware punyanya Ibu Tika? Soalnya piring Bapak kemarin sudah dibalikin."
"Kenapa nggak dititipin sekalian?"
"Anu... Pak, kan kemarin kue-nya belum habis, jadi belum saya titipin sekalian gitu."
"Kan bisa dipindah."
Darti menepuk dahinya sendiri. "Oh iya, ya, Pak, kenapa saya tidak kepikiran ya?"
Saga geleng-geleng kepala tanpa mengeluarkan suara. Pandangannya kembali fokus pada layar laptop yang ada di hadapannya.
"Terus ini gimana dong, Pak?"
Saga menghela napas pendek dan menatap Darti dengan tatapan datarnya. "Balikin."
"Saya, Pak, yang balikin?"
"Terserah."
"Bapak saja kalau gitu yang balikin!" ucap Darti, "bentar, saya ambilin dulu di dapur, Pak." Tanpa menunggu jawaban dari sang majikan, Darti kemudian langsung bergegas menuju dapur untuk mengambil Tupperware.
Setelah kembali ke ruang tengah, Darti langsung menyerahkan Tupperware itu kepada sang majikan. Saga hanya mampu menerima benda itu dengan ekspresi bingungnya.
"Kalau gitu saya balik ke dapur lagi, Pak, lanjut masak. Terima kasih sebelumnya, permisi."
Saga hanya mendesah pasrah saat menatap punggung sang ART yang kian menjauh. Detik berikutnya ia tersadar kalau baru saja dikerjai.
Dengan perasaan sedikit tidak rela, ia kemudian menutup laptopnya dan segera berdiri. Ia tidak punya pilihan lain selain mengembalikan Tupperware milik tetangganya seorang diri. Saga paling malas kalau harus mengeluarkan kalimat panjang lebar hanya demi menyuruh sang ART mengembalikan Tupperware. Jadi, lebih baik ia sendiri yang langsung mengembalikan barang itu. Maka semuanya beres.
Saga dan sifat irit ngomongnya memang begitu.
______________________________________
"Mama! Ada tamu!" teriak Tama saat mendengar suara bell. Kedua netranya terfokus pada layar ponsel yang kini sedang menampilkan game.
"Siapa?" sahut Kartika ikut berteriak karena posisinya masih di dapur.
"Enggak tahu," balas Tama berteriak sekali lagi.
"Ya, dilihat dong, Tam!"
"Enggak bisa, Tama lagi sibuk."
Sibuk? Beo Kartika dalam hati. Ia merasa ada yang janggal dari jawaban sang putra sulung. Sejak Tama menikah dan tinggal di rumahnya sendiri, pria itu kalau ke sini pasti hanya untuk bersantai. Lalu kesibukan apa yang sedang dilakukan pria itu sampai enggan disuruh membuka pintu hanya demi memastikan siapa tamunya. Spontan Kartika menghentikan kegiatannya dan meninggalkan dapur. Dan betapa terkejutnya dia saat menemukan Tama sedang asik bermain game. Bahkan sesekali terdengar seruan heboh dari pria yang sebentar lagi akan punya dua anak ini.
"Astagfirullah, Tama! Main game kamu bilang sibuk sampai nggak bisa buka pintu?"
"Ya, nanggung soalnya, Ma."
Dengan tatapan galaknya, Kartika langsung merebut ponsel Tama. "Buka pintu sekarang atau nggak ada makan malam?!" ancamnya terdengar tidak main-main. Hal ini sukses membuat nyali Tama menciut. Lalu dengan pasrah ia segera berdiri untuk membuka pintu. Kalau sang Mama sudah bertitah, Tama mana berani ngelawan?
"Udah mau punya 2 anak juga tapi masih aja ngegame nggak inget waktu. Begini caramu mendidik Cucu Mama?"
"Ya, enggak, Ma. Iya, iya, ini aku juga mau buka pintu dan lihat siapa tamunya. Nggak usah marah-marah juga," balas Tama terdengar seperti gerutuan. Ia langsung meninggalkan ruang tamu dan bergegas keluar rumah untuk membuka gerbang.
Tama tidak bisa menyembunyikan raut ekspresi terkejutnya, saat menemukan sahabat karibnya yang cukup akrab dengannya tengah berdiri di depan rumah Mama-nya dengan kaos polo dan celana trainningnya.
"Lah, Ga, lo kok di sini? Ngapain?" tanya Tama masih dengan ekspresi kagetnya.
Bukannya langsung menjawab, pria itu malah menyodorkan tupperware kepada Tama.
Tama menampilkan ekspresi bingungnya. "Apaan nih?"
"Tupperware," jawab Saga singkat.
"Punya siapa?"
"Nyokap lo."
"Kok bisa ada di lo?" Ekspresi Tama semakin terkejut saat menyadari sesuatu, "lah, anjir, lo jadi ambil rumahnya?"
Saga mengangguk sebagai tanda jawaban.
"Kok bisa?"
Saga menaikkan sebelah alisnya, merasa heran dengan pertanyaan Tama. "Kan rekomen lo."
"Ya, emang gue yang kasih rekomendasi, tapi gue waktu itu iseng. Gue beneran nggak nyangka kalau lo bakal ambil tempat ini."
"Harga sama tempatnya cocok."
"Tapi harga rumah di sini nggak murah, Ga."
"Yang penting mampu kan?"
Tama garuk-garuk kepala. "Ya, iya juga sih."
"Kalau mau murah beli kuaci."
Tama mendesah pasrah sambil melirik pria itu sinis. "Njir, lama nggak adu mulut sama lo kangen juga gue, Ga. Masuk dulu, yuk, abis adu mulut, baku hantam kita."
"Gue sibuk. Nggak minat. Bilang ke nyokap lo makasih. Gue cabut," pamit Saga langsung pergi begitu saja setelah menyerahkan Tupperware ke Tama, tanpa menunggu dipersilahkan pria itu.
"Anjir, langsung ditinggalin gue? Parah tuh anak, dari dulu nggak pernah berubah," gerutu Tama lalu memutuskan untuk masuk ke dalam rumah setelah menutup pintu gerbang.
"Mana tamu Mama?"
"Pulang," balas Tama sambil menyerahkan Tupperware kepada sang Mama.
"Kenapa nggak disuruh masuk dulu sih? Ini dari tetangga baru di rumah depan kan?"
Tama mengangguk untuk mengiyakan dan memilih menghempaskan tubuhnya pada sofa panjang. "Sibuk dia, Ma, langsung pulang."
"Iih, padahal Mama pengen undang dia makan malam di rumah kita."
Tama spontan menegakkan tubuhnya. "Lah, Mama inget sama Saga? Aku pikir udah lupa loh, soalnya kan terakhir main ke rumah pas jaman SMA, sejak dia masuk kedokteran nggak pernah tuh main ke rumah lagi. Wow, ingatan Mama bagus juga ternyata."
"Hah?" Kartika malah menunjukkan wajah bingungnya, "kamu ngomongin siapa sih, Tam? Mama nggak paham."
"Tetangga baru Mama, yang baru pindah ke rumah depan. Saga, Ma, temen Tama dari jaman SD, dulu sering ke rumah. Yang suka bantu jagain Yana dulu."
"Tetangga baru Mama, Saga yang itu? Temen kamu yang suka main ke rumah? Yang tiap ke sini nggak dibolehin pulang sama adikmu kan?"
Tama mengangguk mengiyakan. "Yang apa-apa maunya sama Saga, Ma. Bahkan sampai pake celana kalau dia abis pipis maunya dipakein Saga, yang ini kelewatan sih, Ma. Duh, Tama suka malu sendiri kalau inget bagian ini."
Kartika langsung memasang wajah sumringahnya. "Kamu masih akrab nggak sama dia, Tam?"
"Masih, kenapa? Masih suka nongkrong bareng kalau ada waktu."
"Coba deh kamu jodohin mereka, Tam. Mama suka deh sama anaknya, baik, kalem, terus juga kayaknya masih kayak dulu. Nggak neko-neko. Beneran belum punya pacar dia?"
Tama terkekeh sambil menggeleng. "Ya, belum sih--"
"Bukan duda kan?"
"Bukan."
"Nah, kenalin aja ke adikmu, Tam. Keburu sold out nanti temenmu."
"Tama pernah tawarin, tapi emang Yana-nya yang nggak mau, Ma."
"Itu urusan Mama, yang penting kamu bujuk temen kamu biar mau dikenalin sama adikmu."
"Kalau soal itu gampang, Ma, yang jadi masalah Yana. Itu anak gadis Mama kayaknya belum move on deh dari mantannya. Biarin aja dulu lah."
Kartika langsung menepuk pundak Tama. "Obat terbaik supaya cepet move on itu ya ketemu orang baru dan berani membuka lembaran baru. Kalau nggak gitu nanti lama move onnya, Tam. Ini itu kesempatan adikmu, mending kamu kenalin mereka. Nggak kasian kamu lihat adikmu galau terus?"
Tama menaikkan alisnya heran. "Emang Yana gitu?"
"Kan kamu bilang adikmu belum move on." Sekali lagi Kartika menepuk pundak Tama lalu berdiri dan menarik tangan sang putra, "udah, sekarang kamu ke rumah temenmu itu dan bujuk dia biar mau dikenalin sama adikmu. Sisanya biar Mama yang urus."
"Ini serius, Ma?" tanya Tama terdengar tidak yakin. Adiknya itu bisa mengamuk kalau tahu ia ikut ambil adil dalam perjodohan ini, "enggak mau, ah, anak gadis Mama kalau ngamuk galak loh. Tama nggak mau ikutan." Pria itu menggeleng tegas dengan ekspresi ngerinya.
"Oh, jadi kamu lebih takut sama adikmu daripada Mama? Lebih nurut sama adikmu daripada Mama yang udah mengandung dan melahirkan kamu? Enggak mau nurut sama orang yang udah besarin kamu," sindir Kartika dengan wajah galaknya.
Seketika nyali Tama langsung menciut. "Ya, kalau itu sih sebenernya takut dua-duanya."
"Mau jadi anak durhaka kamu?"
Tama menggeleng tegas. "Enggak! Iya, iya, aku ke rumah Saga sekarang juga. Assalamualaikum," pamitnya langsung pergi begitu saja, setelah mencium punggung tangan Kartika secepat kilat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 171 Episodes
Comments
kookv
tuh kan... temen ya bang Tama... si saga itu...
2023-06-23
0
dementor
mau jadi anak durhaka ya tama.. kayak simalin kundang,anak durhakim..
2023-06-12
0
cha
magic word Mak Mak....mau jadi anak durhaka kamu🤣🤣🤣
2023-06-05
1