Kembali Ke Rumah

Edi gemetar di kamarnya,sekarang dia sedang uring-uringan sendiri memikirkan bagaimana caranya menghadapi kemarahan Rahmat.

"Gue harus bagaimana ini?" dia bingung,kalang kabut tidak bisa berpikir jernih. "Sepertinya gue harus nelpon Tari ni."

Sudah berjam-jam berlalu,bahkan dia sudah kelaparan di kamarnya,tapi tidak berani keluar,padahal sudah waktunya makan malam,namun apa boleh buat dia harus menahan rasa laparnya karena Rahmat pasti sedang menunggu dirinya keluar dari kamar.

"Gue nggak mau kena bogem mentah dari si kumis dan kenapa juga gue takut kan ini rumah gue?" pikir Edi.

"Hii..." Edi bergidik ngeri. "Nggak mungkin juga keluar,muka Rahmat pasti seram banget,apa lagi gue sudah membakar kumis kesayangannya dia." Lirih Edi dia kesal dengan dirinya sendiri.

Beberapa saat kemudian terdengar suara klakson mobil. Edi tersenyum senang,karena akhirnya orang yang diharapkannya tiba juga.

Di luar kamar,Rahmat dengan wajah muram membuka pintu,dan betapa terkejutnya ketika dia melihat tamu yang datang itu adalah mamanya.

"Lho,mama kok datang ke sini,sama Tari lagi mau ngapain?" tanya Rahmat dengan mukanya yang terlihat malas gitu.

"Mau lihat kamu!" jawab sang mama dengan gamblang.

"Minggir aku mau masuk!" ucap Tari langsung saja menerobos pintu dan masuk ke dalam rumah.

"Ih,main nyelonong aja,kamu kira ini rumah kamu?" celetuk Rahmat kesal.

"Edinya di mana?" tanya bu Dian,karena heran melihat Edi yang tidak ada di sana.

"Dia masih di kamar" jawab Rahmat.

"Aku panggilin kak Edi dulu ya ma?" Tari segera menuju kamar Edi,rumah yang hanya memiliki satu lantai itu begitu luas jika hanya ditempati satu atau dua orang saja,Tari mulai berpikir mungkin Edi juga anak orang kaya,kalau tidak,mana mungkin dia mampu membeli rumah sebesar itu,padahal dirinya baru setahun bekerja.

"Kak... buka pintunya dong ini aku,Tari!" seru Tari dari luar.

"Iya sebentar." Edi langsung memutar kunci dan membuka pintunya,terlihatlah Tari dengan wajah manisnya yang tersenyum-senyum ke arah Edi.

"Nggak usah senyum gitu,terlihat jelas kalau kamu sedang mengejek." Ujar Edi,dia kembali menutup pintunya dan mengajak Tari untuk ke ruang tengah,dan di sana sudah ada bu Dian yang sedang duduk santai sambil terlihat berbincang-bincang dengan anaknya,si kumis.

"Baru keluar Edi,kenapa? apa kamu takut dia akan marah?" tanya bu Dian tersenyum dikulum.

"Tante nggak lihat kumisnya sudah pendek seperti itu!?" tunjuk Edi,dia duduk dekat dengan Tari,jauh dari Rahmat karena masih memiliki rasa waspada,takutnya amarah temannya itu masih bersarang di hati.

"Bagus,tante senang kenapa nggak semuanya aja kamu bakar?" tanya wanita itu,yang membuat anaknya kembali tersulut emosi.

"Mama bukannya ngebelain anak sendiri,ini malah tambah ngomporin."

"Kak Rahmat jangan marah-marah sama kak Edi,kan kak Edi nggak sengaja." Tari mencoba mencairkan suasana.

"Iya Mat,gue minta maaf tadi itu gue benar-benar nggak sengaja," ucap Edi tulus.

Mendengar permintaan maaf yang tulus dari Edi hati Rahmat sudah agak tenang,tadinya dia memang sangat marah tapi kejadian ini juga tidak bisa menyalahkan Edi,sebab dia sendiri yang menyuruh Edi,padahal saat itu Edi sedang tiduran.

"Iya gue maafin,lain kali awas lo kalau terjadi hal yang sama!" jawab Rahmat,dia sudah memaafkan dan tak lupa diakhir kalimatnya,ya seperti biasa pasti mengucapkan sebuah kalimat ancaman.

"Tante juga ikut ke sini,padahal tadi aku cuma minta Tari aja yang datang,jadi enggak enak ngerepotin gitu." Ujar Edi merasa bersalah.

"Em... Enggak kok,tante sama Tari sebenarnya memang sudah merencanakan untuk datang ke sini dari tadi siang," jelas bu Dian.

"Mama mau minta uang yang aku pinjem dari bi Inem kan?" tebak cowok itu.

Tari melirik kakaknya dengan ujung mata,terlihat begitu sinis. "Kalau nebak itu yang benar,kak Rahmat kebiasaan ni,suka curigaan sama orang." Ucap Tari tidak senang.

"Mama ke sini mau jemput kamu pulang!" jawab mamanya berterus terang.

"Apa?" Rahmat kaget dibuatnya.

"Syukur Alhamdulillah...!" Edi malah senang.

"Ngapain terkejut gitu? Memangnya kakak nggak mau pulang lagi ke rumah?"

"Bukan nggak mau,tumben banget mama berubah pikiran begitu cepat,pasti ada sesuatu yang disembunyikan," dia tambah curiga.

"Tante nggak salah ambil keputusan?" kini giliran Edi yang bertanya.

"Kenapa salah?" wanita itu bertanya balik.

"Kan tante sendiri yang mau dia jadi mandiri,tapi sekarang kenapa malah nyuruh dia kembali ke rumah?" tanya Edi tidak mengerti dengan pemikirannya bu Dian.

"Tante sudah capek menasehati Rahmat,biarkan saja dia mengambil jalan hidupnya sendiri,nanti dia juga yang rugi dan tante juga nggak mau dia jadi benalu di rumah kamu,kamu kerja sedangkan dia cuma numpang hidup doang,tante nggak mau anak tante nyusahin orang lain," ucapan bu Dian membuat Edi tersentuh,apalagi wajah wanita itu saat mengatakannya terlihat begitu putus asa,Rahmat mulai merasa bersalah dengan sikap yang tidak dewasanya itu. Tari biasa aja karena dia sudah tahu bahwa itu semua hanya sandiwara mama saja,bagian kedua dari rencananya.

"Rahmat nggak jadi benalu kok tan,dia nggak nyusahin," jawab Edi memberitahu.

"Dia tinggal di sini juga mau membersihkan rumah,nyuci piring,sampai masak dia nggak nyusahin," lanjut Edi,dia bicara apa adanya.

"Tuh,dengerin ma! Jangan pikir aku enak-enakkan aja di sini." Ucap Rahmat,dia nggak mau mamanya berpikir kalau dirinya itu tidak tahu terimakasih.

"Bagus deh kalau memang kamu tidak semalas yang mama kira."

"Edi,tante nggak bisa berlama-lama di sini,karena tante harus segera pulang,om Willi sudah menunggu di rumah."

"Iya kak,kita pamit dulu ya! Sekalian kak Rahmatnya kita bawa pulang." Ucap Tari tersenyum ramah.

Mereka mulai bangkit berdiri,Edi bersalaman dengan mamanya Rahmat,tiba-tiba aja perasaannya jadi berat gitu,kayak ketiban sesuatu.

"Gue pulang dulu ya,Ed" ucap Rahmat,wajahnya tidak terlihat senang,mungkin karena dia sudah betah tinggal di sana.

"Baju lo Mat gimana,nggak lo ambil?" Edi bertanya.

"Enggak perlu,baju gue masih banyak di rumah,besok-besok kalau gue mau nginap di rumah lo,sudah ada bajunya di sini," jawaban Rahmat membuat Edi terperangah,mungkin ini sebab yang membuat hatinya berat,ternyata si pak de masih akan kembali ke rumahnya. Hehehe...

Setelah kepergian Rahmat suasana rumah Edi jadi sangat sepi,dadanya seperti sesak,dia kayak orang mau menangis.

"Gue kenapa sih?" Edi bingung dengan perasaannya sendiri. "Apa karena jadi sepi ya nggak ada teman." Lirihnya sedih.

Ternyata rasa berat dihatinya tadi bukan karena baju Rahmat yang masih diletakkan di sana,tapi karena sekarang dia kembali tinggal seorang diri di rumah yang besar itu. Saat tengah melamun,ponselnya tiba-tiba berdering,dan itu pesan dari Rahmat ["kalau mau makan,makanannya udah gue siapin dan ada di meja makan."]

"Nyesal gue udah ngebiarin dia pergi,"gumam Edi penuh sesal,dan kembali menyimpan ponselnya. Ternyata keberadaan Rahmat di rumahnya ada manfaat juga ya.

\*\*\*\*

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!