"Kamu yakin bisa Ibu tinggal, Nak?" Artanti kembali mengajukan pertanyaan yang sama untuk kesekian kalinya. Sudah lebih dari tiga hari beliau tidak pulang ke rumah dan membiarkan sang suami tinggal sendirian. Sementara Genta baru akan tiba nanti malam.
Artanti akhirnya meminta izin untuk pulang sebentar, sekalian mengambil pakaian-pakaian Binar di rumah. Namun, wanita itu mengkhawatirkan sang putri yang akan ditinggal sendirian di rumah sakit.
"Yakin, Bu, aku hanya akan tidur selama Ibu tidak ada. Jadi, ibu tidak perlu khawatir," ucap Binar.
"Baiklah, Ibu pergi dulu ya? Telepon Ibu bila kamu membutuhkan sesuatu dan jangan lupa untuk meminta tolong nurse. Ibu akan menitipkanmu sebentar pada mereka," ujar Artanti.
"Kau bukan anak kecil lagi, Bu," keluh Binar sembari memajukan bibirnya beberapa milimeter.
Artanti tersenyum simpul. "Ibu tahu Sayang," katanya seraya menjawil pelan hidung mungil Binar. Wanita itu kemudian pergi meninggalkan ruangan.
Selagi menunggu sang ibu, Binar memilih menonton televisi demi menghilangkan bosan.
...**********...
Artanti bergegas mengepak seluruh pakaian bersih Binar setelah menitipkan cucian kotor di laundry langganan mereka. Demi meringankan beban pekerjaan rumah, wanita itu sengaja menggunakan jasa laundry untuk mencuci dan menyeterika pakaian. Sementara tugas berbenah rumah ia membagi waktu dengan sang suami.
"Bu, Ayah ikut ya?" ujar Endra saat Artanti turun dari lantai dua sembari membawa koper milik Binar.
"Memangnya Ayah sudah enakan badannya?" tanya sang istri dengan raut khawatir. Sudah dua hari ini Endra memang mengeluh tak enak badan karena tidur di rumah sakit untuk menjaga Binar.
Endra memang tipe orang yang tidak kerasan tidur di tempat lain selain di rumah. Alhasil keesokan harinya pria itu masuk angin dan sakit kepala. Biasanya Endra memang tidak pernah menginap di rumah sakit, tetapi waktu itu ia merasa tidak enak hati pada istrinya yang nyaris dua puluh empat jam menemani putri bungsu mereka.
"Ayah sudah enakan. Lagi pula nanti sore ayah bisa kembali pulang bersama Genta. Genta akan langsung ke rumah sakit katanya," jawab Endra.
"Baiklah, tapi jangan memaksakan diri ya, Yah. Tidak perlu bawa mobil, kita bisa naik taksi saja," ujar sang istri.
Endra mengangukkan kepala. Pria itu lantas mengambil jaket untuk ia pakai dan dompet, sedangkan Artanti mengambil beberapa buki bacaan milik Binar yang tertata rapi di lemari pajangan. Gadis itu memang sangat menyukai buku, terutama novel-novel.
"Ayo!" Endra membantu Artanti membawakan koper Binar, sementara Artanti sendiri membawa lima buku milik Binar. Tak lupa sebuah bantal sofa bergambar kucing dibawanya —pesanan Binar—.
Keduanya pun segera keluar dari rumah dan mengunci pintu serta pagar rumah mereka. Saat mereka hendak berjalan meninggalkan rumah, tiba-tiba sebuah mobil sedan hitam berhenti tepat di hadapan sepasang suami istri tersebut.
Endra dan Artanti yang tidak mengetahui siapa si pemilik mobil saling bertatap-tatapan.
Sedetik kemudian, keduanya tampak sangat syok saat mendapati sesosok pria yang tak pernah mereka harapkan kehadirannya, keluar dari dalam mobil hitam tersebut.
"Bu, Yah," panggil Mada yang kini menatap kedua orang tua Binar dan benda sekeliling mereka dengan raut penuh tanda tanya.
Bagaimana tidak, sepasang suami istri itu hendak pergi keluar rumah dengan membawa barang-barang milik Binar. Ia hafal betul dengan setumpuk buku dan bantal kesayangan gadis itu. Koper berwarna merah muda yang berada di tangan Endra pun terdapat stiker dengan nama Binar.
"Ma Mada, kau mau ke mana? Kebetulan sekali kita bertemu." Dengan sedikit tergagap Artanti berusaha menyapa Mada.
"Aku ingin bertemu kalian, Yah, Bu ... tapi, Ayah dan Ibu mau ke mana?" tanya Mada.
"Ada apa ingin bertemu kami, Mada? Sayang sekali kami tidak punya waktu banyak. Lain kali saja ya?" Tak ingin berada di sana terlalu lama, Artanti dan Endra bergegas pergi dari sana. Namun, Mada tidak membiarkannya. Ia dengan cepat menahan koper Binar yang dipegang Endra.
"Ini barang-barang Binar, kan? Apa yang ingin Ayah dan Ibu lakukan pada barang-barang Binar? Bukan kah ia sedang pergi keluar negeri?"
"Iya, Binar memang sedang keluar negeri dan kami ingin mengirim barang-barang Binar. Ia menelepon kami kemarin," jawab Artanti setenang mungkin.
Mendengar hal tersebut, Mada tentu saja tidak percaya. Manusia mana yang mengirimkan paket tanpa dibungkus terlebih dahulu?
"Kenapa tidak di-packing dengan benar?" tanyanya lagi.
"A ah, kami akan mem-packing-nya di tempat ekspedisi saja. Kalau begitu, kami pergi dulu ya, Mada!" Artanti buru-buru meninggalkan tempat, begitu pula dengan Endra yang tampak dingin menatapnya.
Mada sendiri tentu tidak memercayai perkataan mereka begitu saja, dan entah mengapa hatinya menyuruh pria itu untuk membuntuti ke mana orang tua Binar pergi.
Mada menuruti keinginan hatinya. Ia menunggu momen yang pas untuk membuntuti orang tua Binar.
Sementara itu, Artanti dan Endra berhasil masuk ke dalam taksi. Beruntung mereka tak perlu menunggu lama untuk mendapatkan taksi.
"Mada tidak akan curiga, kan, Yah?" tanya Artanti.
"Tidak akan!" jawab Endra dingin.
"Ayah kenapa?" tanya Artanti lagi.
"Tidak apa-apa. Ayah hanya tidak menyukai pria itu. Sebab karena dia lah, putri kecil kita banyak menangis!" jawabnya jujur.
Artanti menghela napasnya lalu mengelus lengan sang suami lembut. "Yah, Ibu yakin bukan hanya Binar yang banyak mengeluarkan air mata, Mada pun pasti merasakan hal yang sama."
Endra terdiam, enggan menanggapi perkataan istrinya. Mereka pun tak lagi saling bicara sampai tiba di lobi rumah sakit.
Keduanya langsung menaiki lift menuju lantai empat, tempat di mana Binar berada.
Binar tampak sedang tertidur ketika keduanya tiba di dalam ruang perawatan. Namun, gadis segera mnuka matanya begitu mendengar suara gaduh yang ditimbulkan mereka.
"Ah, tidurmu terganggu ya, Sayang? Maafkan Ibu ya?" ucap Artanti dengan penuh penyesalan.
"Tidak apa-apa, Bu." Binar kemudian meminta sang ayah untuk memeluk dirinya.
"Ayah sudah baik-baik saja?" tanya Binar.
"Sudah, Nak. Tidurlah lagi, kakakmu akan tiba lebih cepat," kata Endra.
Mendengar nama sang kakak disebut, Binar tersenyum sumringah. Beberapa saat kemudian, suara ketukan pintu terdengar.
"Nurse?" tanya Endra.
"Sepertinya bukan. Nurse tidak akan mungkin mengetuk pintu, Yah," jawab Artanti. "Genta mungkin?" sambungnya.
"Tidak. Pesawatnya baru akan berangkat satu jam lagi." Bantah sang suami. "Buka saja, Bu, siapa tahu saudara kita," titahnya kemudian.
Artanti menganggukkan kepala lalu berjalan menuju pintu.
Wajah wanita itu sontak memucat begitu pintu telah dibuka.
Endra dan Binar turut mengalihkan pandangannya pada pintu. Tubuh mereka (terutama Binar) mematung seketika, tatkala mendapati Mada sedang berdiri di ambang pintu dengan raut wajah syok.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments